Kamu tahu bahwasnya mandi ada hadistnya. Kamu tahu bahwasanya bertemu ada hadistnya. Belajar ada hadistnya. Azan ada hadistnya. Shalat ada hadistnya. Kenapa tidak engkau dayakan untuk menghapalkan? Mengapa selalu engkau koarkan: aku mempunyai akal tumpul untuk menghapal? Padahal engkau enggan menerima ilmu islam. engkau enggan menerima ilmu islam meresap dalam dirimu. Kalaulah engkau benar-benar menerima ilmu-islam, tentu, engkau akan sibuk dengan belajar tentang ilmu islam, dan aktifitas selain itu, adalah efek-efek belaka terhadap ilmu islam. Segeralah buka kembali kitab-kitabmu.
Hapal dan laksakanlah dalil-dalilnya. Kalau tidak, maka mengapa engkau terus-menerus mengaji, kenalilah, semakin lama engkau dalam naungan mengaji, maka kelak engkau dituntut untuk mengulang pengjian, kalau tidak, sungguh mengajimu sangat dipertanyakan. Karena engkau tidak mampu mengulangnya.
Mengapa engkau tidak mampu mengulang pengajianmu? Padahal engkau telah mengaji! Berarti ada yang salah dengan dirimu. Maka perbaikilah. Perbaikilah.”
Begitulah, suara yang ganas menyerbu diriku. Kalimat-kalimatnya ganas, dan saya tidak bisa membantahnya, karena itu berada di dalam diriku. Saya berusaha mengusir, malah semakin menjadi dan semakin kasar. Katanya,
“Masih mending kalau aku mengatakan kepadamu: bodoh. Bagaimana kalau ada anak kecil bertanya kepadamu dalilnya. Sementara banyak orang tua yang menyaksikan kamu bersama anak-kecil. Dan gelegat orang-tua yang banyak itu, benar-benar mengharapkan jawabanmu, karena pertanyaan anak-kecil tersebut pertanyaan yang dibutuhkan oleh mereka. Gelegat orang tua itu, memandangmu, sangat mengharapkan keluaran kata-katamu. Bagaimana kalau kau menjawab tidak tahu? Memang tidak ada yang salah, kalau kau jujur mengatakan apa yang kau tidak tahu: tapi kenalilah, ia bertanya tentang agama. Harusnya engkau mengetahui itu, terlebih lagi, engkau berstatus pelajar. Engkau berstatus hari-harimu adalah belajar. Sangat jarang waktumu kecuali belajar. engkau katakan dengan mudah: saya tidak tahu, dengan dalil, ilmu agama itu luas, ilmu agama itu banyak, ilmu agama itu banyak cabangnya, manalah mungkin saya bisa menjawab apa yang anak-kecil itu tanyakan, itu bukan keahlian saya. Itu bukan bidang saya.
Alasan yang masuk akal. Namun, kalaulah anak-kecil yang bertanya, harusnya engkau tahu, karena kualitas anak-kecil bukanlah pertanyaan yang nyecer dan menunggu jawaban yang hebat-hebat. harusnya memang kamu hafal garis besar tentang pengetahuan islam. harusnya begitu. Kalau tidak begitu. Mengapa engkau tidak begitukan pengetahuanmu? Engkau cecer dirimu untuk belajar dan belajar: karena engkau mengetahui kelemahanmu, maka engkau harus menguatkan.”
Begitulah, suara itu. Suara yang menyerang diriku. Dan aku tidak bisa menghelak.
Dan kedatanganku kepadamu adalah pengabaran diri, tentang sesuatu yang sulit diungkapkan lewat kata-kata atau suara. Sebab, seringkali aku dipatahkan oleh kalimat ringkasmu dan aku terdiam sambil berkata: oh memang begitu, lalu pulang saya mendapatkan sesuatu yang baru. Sesuatu yang lebih seram dari sebelumnya. Seperti yang telah kusebutkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H