Mohon tunggu...
Tatang  Hidayat
Tatang Hidayat Mohon Tunggu... Dosen - Pegiat Student Rihlah Indonesia

Tatang Hidayat, bergiat di Student Rihlah Indonesia. Ia mulai menulis sejak SD, ketika masa SMK ia diamanahi menjadi pimpinan redaksi buletin yang ada di sekolahnya. Sejak masuk kuliah, ia mulai serius mendalami dunia tulis menulis. Beberapa tulisannya di muat diberbagai jurnal terakreditasi dan terindeks internasional, buku, media cetak maupun online. Ia telah menerbitkan buku solo, buku antologi dan bertindak sebagai editor buku dan Handling Editor Islamic Research: The International Journal of Islamic Civilization Studies. Selain menulis, ia aktif melakukan jelajah heritage ke daerah-daerah di Indonesia, saat ini ia telah mengunjungi sekurang-kurangnya 120 kab/kota di Indonesia. Di sisi lain, ia pun telah melakukan jelajah heritage ke Singapura, Malaysia dan Thailand. Penulis bisa di hubungi melalui E-mail tatangmushabhidayat31@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Book

Ceramah Al-'Alim Al-'Allamah Choer Affandi Al-Jawi di Musyawarah Ulama Dunia

5 Agustus 2022   08:57 Diperbarui: 5 Agustus 2022   09:02 905
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover Novel Biografi KH. Choer Affandi Jilid 3 (Sumber Gambar : Dokumentasi Pribadi)

Sebelum Uwa Ajengan mukim, ia diperintahkan KH. Didi Abdul Madjid untuk menemui Syekh Jalaluddin Sayuti di Gerenggeum Kebumen Jawa Tengah. Disinilah penulis dengan apik menarasikan bagaimana proses lahirnya kalimat thayyibah yang sering dibacakan Uwa Ajengan nanti ketika mau memulai pengajiannya.

Pesantren Miftahul Huda didirikan pada 7 Agustus 1967 bertepatan dengan 2 Rabi'ul Akhir 1387 H oleh Uwa Ajengan, nama Miftahul Huda adalah nama yang ia dapatkan setelah laku spiritual yang tidak mudah. Penulis tidak menjelaskan lebih detail kenapa Miftahul Huda didirikan 7 Agustus, padahal tanggal pendirian Pesantren Miftahul Huda memiliki kesamaan dengan Proklamasi DI/TII 7 Agustus 1949. Ini sebenarnya memiliki pesan tersirat dan simbol peralihan perjuangan Uwa Ajengan dari jihad mengangkat senjata menjadi jihad dengan pemikiran melalui jalan dakwah dan tarbiyah.

Saya sangat salut dengan Fauz Noor yang mampu menggambarkan dan mengolaborasikan data-data sejarah dengan gaya fiksi dan tentunya itu tidak mudah. Ketika Uwa Ajengan melaksanakan ibadah haji pada 1974, Fauz Noor mampu menarasikan bagaimana perjumpaan Uwa Ajengan dengan 2 tokoh ulama kebanggaan Indonesia, yakni Buya Hamka dan M. Natsir. Dalam memaparkannya pun penulis mampu mengaitkan dengan berbagai peristiwa nasional yang terjadi, sehingga novel ini semakin hidup dan kaya akan literasi sejarah.

Fauz Noor mampu menarasikan bagaimana karomah Uwa Ajengan ketika terjadi perdebatan dengan Askar Masjidil Haram. Saat itu Uwa Ajengan hendak memasuki pintu Babus Salam, pintu yang biasa dilalui Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam jika memasuki Masjidil Haram, dan melalui pintu itu juga Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam memasuki masjidil Haram ketika Fathul Makkah. Namun tiba-tiba seorang Askar berkata bahwa pintu yang biasa dilaluinya bersama para jamaah bukan Babus Salam sehingga terjadi perdebatan dan askar sedikit mengusirnya dan menunjukkan pintu Babus Salam yang diyakini askar.

Uwa Ajengan yang masih sangat kesal menapat tajam ke arah si askar, dan tiba-tiba ia berkata dengan Bahasa Sunda, "Ya Allah, tembongkeun saha anu bener. Lamun kuring salah, kuring pasrah sumerah kana sagala papasteun Anjeun, Yaa Allah, nyanggakeun sadaya-daya." Selepas mengatakan itu Uwa Ajengan mengangkat tangan kanan lalu menggerakkan telunjuknya pada dinding marmer Masjidil Haram. Dan dengan kuasa Allah Ta'ala, dinding marmer itu seketika seperti tanah yang lembek. Telunjuk kanan Uwa Ajengan menulis di dinding marmer itu dengan huruf arab.

Si askar ternganga, seperti tak percaya dengan kejadian di depan mata, dinding marmer bisa rontok hanya oleh telunjuk manusia. Dengan sadar tak sadar, si askar berucap pelan, membaca huruf yang terukir di sana, "AHMAD CHOER AFFANDI"

Melalui buku ini, saya mendapat informasi baru terkait teka-teki kisah yang masyhur di kalangan santri Miftahul Huda, bahwa di salah satu dinding marmer Masjidil Haram ada nama Ahmad Choer Affandi yang ditulis oleh telunjuk Uwa Ajengan. Namun sayangnya, cerita tersebut belum diperkuat dengan bukti dokumentasinya.

Ada momen luar biasa lagi yang dijelaskan penulis ketika Uwa Ajengan melaksanakan ibadah haji, saat itu akan diadakan musyawarah para ulama dunia di Mina, mereka meminta seorang ulama dari Indonesia untuk berceramah, Buya Hamka dan Pak Natsir bersepakat bahwa Ajengan dari Tasikmalaya yang akan menyampaikan ceramah agama tersebut dengan tema kondisi Islam sekarang ini. Tentu saja Uwa Ajengan sedikit kaget, kenapa tidak Buya Hamka dan Pak Natsir.

Sore itu dijadwalkan dua orang penceramah yang akan mengisi acara, satu dari Yaman satu lagi dari Indonesia. Dan tibalah saatnya Uwa Ajengan untuk berceramah, ia dipanggil oleh panitia dengan sebutan 'Alim al-'Allamah Choer Affandi Al-Jawi. Ceramah Uwa Ajengan dalam forum itu menggelegar dan sangat emosional, sampai M. Natsir bergetar dan berbisik semoga tidak terjadi apa-apa terhadap Ajengan Tasikmalaya itu.

Isi ceramah Uwa Ajengan menjelaskan bagaimana Islam telah menjadi kekuatan mengusir penjajah dari negeri-negeri Islam, kekuatan Islamlah yang telah mengusir penindasan Belanda dari tanah Indonesia. Tetapi dan tetapi, setelah Negara-negara terjajah itu merdeka, kekuatan Islam menjadi meuleumpeum, menjadi redup, yang memegang tampuk pemerintahan dan kekuasaan adalah para nasionalis yang kemampuan ilmu agamanya jauh dari para ulama. Semua itu terjadi karena umat Islam belum bisa membangun ukhuwah, belim bisa bersatu padu untuk memperjuangkan hukum-hukum Al-Qur'an dan Sunnah.

Novel ini akan semakin menarik dan mengangkat ketokohan Uwa Ajengan jika penulis bisa menghadirkan interaksi Uwa Ajengan dengan tokoh-tokoh nasional lainnya. Peran dakwah Uwa Ajengan bukan hanya lokal Tasikmalaya dengan menginisiasi berdirinya Rumah Sakit Islam Tasikmalaya, tetapi dalam kancah nasional pun tidak dipungkiri lagi. Uwa Ajengan merupakan salah seorang pendiri Badan Kerjasama Pondok Pesantren (BKsPP) Jawa Barat, kemudian kesininya bergabung Pondok Gontor, Diniyyah Putri Padang Panjang dll sehingga BKsPP yang awalnya lingkup Jawa Barat menjadi lingkup nasional menjadi Badan Kerjasama Pondok Pesantren Indonesia (BKsPPI)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun