Mohon tunggu...
Tatang  Hidayat
Tatang Hidayat Mohon Tunggu... Dosen - Pegiat Student Rihlah Indonesia

Tatang Hidayat, bergiat di Student Rihlah Indonesia. Ia mulai menulis sejak SD, ketika masa SMK ia diamanahi menjadi pimpinan redaksi buletin yang ada di sekolahnya. Sejak masuk kuliah, ia mulai serius mendalami dunia tulis menulis. Beberapa tulisannya di muat diberbagai jurnal terakreditasi dan terindeks internasional, buku, media cetak maupun online. Ia telah menerbitkan buku solo, buku antologi dan bertindak sebagai editor buku dan Handling Editor Islamic Research: The International Journal of Islamic Civilization Studies. Selain menulis, ia aktif melakukan jelajah heritage ke daerah-daerah di Indonesia, saat ini ia telah mengunjungi sekurang-kurangnya 120 kab/kota di Indonesia. Di sisi lain, ia pun telah melakukan jelajah heritage ke Singapura, Malaysia dan Thailand. Penulis bisa di hubungi melalui E-mail tatangmushabhidayat31@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Book

Ceramah Al-'Alim Al-'Allamah Choer Affandi Al-Jawi di Musyawarah Ulama Dunia

5 Agustus 2022   08:57 Diperbarui: 5 Agustus 2022   09:02 905
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover Novel Biografi KH. Choer Affandi Jilid 3 (Sumber Gambar : Dokumentasi Pribadi)

Oleh : Tatang Hidayat

(Penulis Nilai-Nilai Pemikiran Pendidikan KH. Choer Affandi dalam Jurnal Tadris Vol 14, No. 1 tahun 2019 IAIN Madura)

Fauz Noor Zaman kembali menyapa kita dengan Novel Pembuka Hidayah : Biografi Uwa Ajengan Jilid 3 dan launching dalam Reuni Himpunan Alumni Miftahul Huda (HAMIDA) ke-44. Sebelum menutur pandangan subjektif buku ini, saya terlebih dahulu perlu mengucapkan apresiasi kepada penulis yang konsisten menerbitkan novel biografi para ulama di Tasikmalaya.

Di jilid pertama dan kedua, Fauz Noor banyak memotret perjalanan hidup Uwa Ajengan dari masa kecil, menjadi santri kelana hingga melakukan perjuangan bersama DI/TII sampai tahun 1960-an, hingga Uwa Ajengan turun gunung datang ke Manonjaya. Adapun di jilid ketiga ini Fauz Noor memotret sepak terjang Uwa Ajengan dalam dakwah dan tarbiyah dengan mendirikan Pesantren Miftahul Huda. Di sinilah penulis dengan apik mampu menarasikan bagaimana kejeniusan dan keautentikan Uwa Ajengan begitu sangat nyata di depan mata dengan berhasil mendidik ribuan santri yang tersebar di seantero Indonesia.

Fauz Noor mampu menggambarkan Uwa Ajengan sebagai mubaligh dengan ciri khas dakwah memakai dialek seorang dalang dan tak jarang diselipkan dengan guyonan sehingga membuat ceramahnya tidak membosankan. Selain mengisi ceramah di tengah-tengah masyarakat, Uwa Ajengan tetap tidak meninggalkan mengajar para santrinya.

Kelebihan novel ini ditulis oleh seseorang yang memiliki latar belakang pesantren, sehingga di sini penulis dengan apik menarasikan suasana belajar mengajar di pesantren lebih hidup. Penulis sangat menjiwai ketika menarasikan setiap Uwa Ajengan berinteraksi dengan para santrinya, seolah-olah pembaca akan dibawa merasakan suasana belajar di pesantren.

Sebagai novelis, ia pun piawai mempertahankan menyelipkan dialog-dialog dalam bahasa Sunda, sehingga membaca buku ini akan terasa identitas ulama Sundanya.   Dalam mengawali perjuangan membangun pesantren, Uwa Ajengan mengalami banyak rintangan dari masyarakat sekitar. Sebagai seorang mantan petinggi DI/TII yang oleh Negara disebut "mantan pemberontak" tidak mudah bagi Uwa Ajengan untuk mendapat kepercayaan dari masyarakat sekitar. Di sini penulis mampu menarasikan bagaimana peran guru-guru Uwa Ajengan memberikan dukungan terhadap Uwa Ajengan dalam mendirikan pesantren.

Sewaktu Uwa Ajengan membuka pengajian di Cisitu, di tempat yang biasa Uwa Ajengan ngajar, Ajengan Busthomi memberikan santri jontrot kepadanya sebanyak tak lebih 10 orang. Santri jontrot adalah santri yang biasa diberikan oleh seorang ajengan kepada seorang santri yang hendak membuka pesantren.

Fauz Noor mampu mengisi novel biografi ini bukan hanya sekedar narasi pengetahuan sastra tetapi diisi dengan berbagai pesan yang biasa ada dalam tradisi pesantren, salah satunya bagaimana konsep ta'zhim santri kepada gurunya, ini digambarkan penulis ketika Uwa Ajengan mau mendirikan pesantren, ia meminta pendapat dan do'a restu kepada guru-gurunya diantaranya KH. Raden Didi Abdul Madjid dan Ajengan Busthomi, sehingga buku ini terasa lebih bergizi.  

Uwa Ajengan memiliki kebiasaan luar biasa yang istrinya pun begitu sangat mengaguminya. Jika Uwa Ajengan dapat tanda terima kasih dari umat, jika Uwa Ajengan dapat amplop, ia tak pernah membuka amplop tersebut dan langsung diberikan kepada istrinya. Selepas itu, ia tak pernah bertanya kepada istrinya berapa isi amplop tersebut. Sikap Uwa Ajengan yang tak pernah tahu berapa "isi" amplop yang diterimanya, sudah tentu akan membentuk sikap egaliter dirinya dalam memperlakukan sesama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun