Memoar Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid : Pahlawan Nasional Dari Nusa Tenggara Barat
Oleh : Tatang Hidayat (Pegiat Student Rihlah Indonesia
Ahad (30/6/2019) sore menuju senja saya diantarkan panitia Seminar Internasional Ulumuna ke 4 UIN Mataram menuju pelabuhan, saya berhenti di simpang lima, dan dari sana saya harus naik mobil lagi untuk bisa menuju pelabuhan. Senja kala itu sungguh sangat berat saya lalui, karena waktu senja kala itu saya harus berpisah dengan orang-orang hebat dan entah kapan saya bisa satu forum dengan mereka.
Tak lama menunggu, mobil yang akan mengantarkanku ke pelabuhan segera tiba, segera saya bersalaman dan berangkulan untuk mengobati perpisahan saat senja itu. Saya segera menaiki mobil yang akan mengantar ke pelabuhan, tak terasa setelah mobil melaju dan saya menoleh ke belakang, teman-temanku yang menemani perjalanan sudah hilang di pandangan mata.
Sebelum Maghrib tiba, saya sampai di Pelabuhan Lembar Lombok, 3 hari di pulau seribu masjid seolah terasa sangat singkat, tak terasa 3 hari yang lalu baru saja aku sampai di pelabuhan ini, sekarang tak terasa Maghrib itu aku harus segera meninggalkan pelabuhan ini.
Setelah menunggu bongkaran kapal yang sudah dari Bali, saya segera menaiki kapal tersebut, suasana kapal saat itu sangat beda saat saya menaiki kapal dari Surabaya ke Lombok. Suasana kapal menuju Bali tak terlalu padat, hingga saya bisa duduk di salah satu tempat duduk. Di sisi lain, kebanyakan penumpangnya adalah para turis dari luar negeri.
Setelah selesai bongkaran, kapal segera meninggalkan pelabuhan Lombok, tak terasa senja sore itu mulai hilang dan berganti dengan suasana malam. Saya lihat jam di HP sudah masuk menunjukkan waktu adzan Maghrib, saya segera pergi ke mushola kapal dan melaksanakan shalat Maghrib dan shalat Isya jamak takdim secara qashar. Setelah selesai shalat dan memanjatkan do'a do'a terbaik, karena bagiku saat safar merupakan saat-saat waktu ijabahnya do'a maka sangat rugi diriku jika tidak memanjatkan do'a do'a terbaik.
Sepanjang perjalanan menuju Bali malam itu, ketika jasad saya berada di lautan dan terombang ambing oleh ombak dengan suasana badan mulai lelah karena sisa-sisa tenaga, saya merenung dalam lamunan membayangkan bagaimana perjuangan para ulama dahulu dari negeri sebrang nan jauh disana harus mengarungi samudera dalam menyebarkan Islam hingga ke pelosok-pelosok negeri timur jauh, salah satunya cahaya Islam sampai ke Lombok yang dikenal pulau seribu masjid.
Tak lengkap rasanya jika kita berkunjung ke Lombok tak mengetahui ulama pejuang dan kharismatik yang berasal Lombok, meskipun dalam kunjungan pertama ini saya belum bisa berziarah langsung dan napak tilas perjuangan beliau, setidaknya saya sudah mengenal terlebih dahulu sang ulama tersebut.