Karena membaca buku ini perasaan saya diobrak abrik sebegitu rupa oleh penulis dengan bahasannya, keren banget pokoknya ketika mendengar nama Choer Affandi. Pokoknya jadi timbul rasa semakin kagum, dan bangga sama beliau.
Meskipun hidup sebagai keturunan menak, namun tidak serta merta membuat Onong Husnen hidup penuh manja. Bapaknya adalah Raden Mas Abdullah bin Hasan Ruba'i bin Nawawi bin Musadad bin Singawijaya bin Muhammad Alfi Hasan bin Muhammad Zain bin Syarifuddin bin Tirtrapraja bin Raden Anggadipa I atau dikenal Dalem Sawidak atau biasa disebut Raden Tumenggung Wiradadaha III, yang jika ditarik ke atas merupakan keturunan Sultan Mataram. Adapun dari pihak ibu, Â Siti Aminah binti Marhalah trah Syaikh Rahmat Suci Godog Garut. Jadi dalam dirinya mengalir darah bangsawan dan ulama.Â
Novel ini diawali dengan sosok Onong Husnen yang semangat dalam mencari ilmu, hingga digambarkan beliau menjadi santri kelana yang belajar kepada para Ajengan di Jawa Barat, Jakarta hingga Jawa. Onong Husnen belajar kepada KH. Abdul Hamid, KH. Zainal Mushtafa, Ajengan Masluh Legokringgit, KH. Shobir (Pesantern Pani'is), KH. Dimyati (Pesantren Tunagan), KH. Mansur (Pesantren Jembatan Lima Jakarta), KH. Ahmad Sanusi (Pesantren Syamsul Ulum Gunung Puyuh Sukabumi), KH. Dimyati (Pesantren Tipar Sukabumi), KH. Didi Abdul Majid dan masih banyak ajengan-ajengan lainnya. Â Sebagaimana ada sisi kemanusiannya, Kang Fauz Noor mampu menggambarkan sosok Onong Husnen yang senang bermain bola, bahkan berposisi sebagai gelandang dan menyukai pagelaran wayang golek.
Bagian selanjutnya, Fauz Noor menggambarkan sosok Onong Husnen yang menjadi ajengan, dan menjadi tentara serta ikut terlibat dalam perlawanan saat terjadinya agresi militer Belanda. Fauz Noor menggambarkan pula bagaimana terjadinya peristiwa perubahan nama dari Onong Husnen menjadi Choer Affandi, hingga bagaimana Choer Affandi bersama istri, Abdul Fattah harus berjuang ke hutan. Â
Fauz Noor mengemas kisah perjuangan dalam karya fiksi. Dengan gagasan yang menarik memadukan antara Islam, pesantren, priangan, dakwah, dan perjuangan membela negeri khususnya Jawa Barat menjadi semakin menarik untuk dibaca.
Terdapat banyak hal yang tidak mungkin, terjadi pada masa itu, yakni karamah orang shalih seperti peristiwa 20 TII yang sudah didoakan oleh KH. Zaenuddin tokoh sepuh Masyumi di Cikatomas, mereka diamanahi untuk pergi ke Tanjung Priuk untuk mengambil senjata bantuan  dari Pakistan. Saat itu mereka melakukan perjalanan dari Tasikmalaya ke Tanjung Priuk, jarak yang biasanya ditempuh beberapa hari dengan jalan kaki, namun saat itu mampu ditempuh hanya dalam waktu setengah hari. Di sisi lain, bagaimana  Choer Affandi juga diperlihatkan hal-hal yang mustahil manusia biasa merasakannya.
Sementara itu, tidak lengkap kalau sebuah buku fiksi tidak melibatkan cerita kisah kasih di dalamnya. Saya sebagai pecinta roman tentu menyukai hal ini. Namun dalam novel ini, penulis belum berani menampilkan bagaimana kisah roman Choer Affandi masa mudanya, inilah salah satu yang dirasa kurang dalam novel ini. Mungkin penulis memosisikan dirinya sebagai santri, inilah salah satu kelebihan santri dalam menulis, dalam menulis pun tetap tidak meninggalkan identitasnya sebagai santri untuk menjaga adab-adab kepada gurunya, apalagi ketika mau menulis yang berhubungan dengan hal-hal pribadi.
Melalui buku ini, saya mendapat informasi baru terkait teka-teki perubahan nama baru Onong Husnen menjadi Choer Affandi, ternyata ada kaitannya dengan Kekhalifahan Turki.
Saat itu Onong Husnen sedang duduk di puncak gunung, ia pun sekarang merasa dikerubungi oleh cahaya. Ini pengalaman pertama. Belum pernah ia menyaksikan cahaya yang terus mendekat dan menggumpal dalam satu ruang yang penuh. Tiba-tibah, ya tiba-tiba, ia menyaksikan dalam cahaya itu ada sesuatu yang bergerak peran membentuk satu lapadz arab. Alif, fa, nun dan dal. Alif, fa, nun dan dal. Alif, fa, nun dan dal. Empat hurup itu terus menebal dan semakin tebal. Ia berusaha membaca rangkaian hurup itu. Bibirnya bergerak membacanya. Affandi, Affandi, Affandi (Zaman, 2021:131-132).
Dalam bagian yang lain, Ajengan Bunyamin menanyakan tentang perubahan nama tersebut.
"Kang, saya mendengar nama akang sekarang menjadi Choer Affandi?" tanya ajengan Bunyamin, seseorang yang usianya tak jauh berbeda dengan putra Raden Mas Abdullah.