Hari Pendidikan Nasional Bukan Sekedar SeremoniÂ
Oleh : Tatang Hidayat*)
Pendidikan merupakan salah satu bidang yang sangat penting untuk menunjang peradaban suatu bangsa. Pasalnya, dengan pendidikan yang baik, akan membuat bangsa tersebut memiliki peradaban yang gemilang. Tetapi dalam realitanya, pendidikan yang ada di negeri ini sungguh sangat ironi. Permasalahan demi permasalahan terus kita alami. Salah satunya, bangsa ini, mengalami krisis sosial, budaya, dan moral.
Tentunya, kita tidak bisa menutup mata akan problematika yang terjadi dalam pendidikan saat ini. Kolonialisasi pendidikan, liberalisasi pendidikan, desakan arus informasi dan komunikasi, rendahnya angka partisipasi pendidikan, pengangguran intelektual, rendahnya anggaran pendidikan, integritas kepribadian yang dialami para pejabat negeri ini merupakan salah satu bagian problematika yang ada dalam dunia pendidikan.
Problematika tersebut berimbas terhadap output pendidikan yang dalam hal ini diwakili oleh kalangan pelajar dan mahasiswa dengan meningkatnya konsumsi minuman keras, narkoba, pornografi, pergaulan bebas, penyakit HIV-AIDS, aborsi, dan tawuran pelajar merupakan problematika generasi muda bangsa ini yang tidak bisa dinafikan.
Adanya problematika dalam dunia pendidikan, tentunya disebabkan beberapa hal. Di antaranya menurut Syahidin selaku Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia dalam karyanya menegaskan, bahwa sistem pendidikan modern saat ini semakin tampak arahnya menggiring masyarakat pada dehumanisasi. Misalnya, eksploitasi kelompok yang kuat terhadap kelompok yang lemah, berpikir materialistis, individualistis, dan berperilaku mekanistik seolah-olah menjadi budak teknologi bahkan mempertuhan iptek.
Bahkan, jika kita melihat pelaksanaan pendidikan di Indonesia ternyata sudah mengalami pergeseran paradigma dari yang seharusnya. Jika merujuk tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam Undang-Undang (UU) Nomor 20 tahun 2003 yakni: Tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab".
Berdasarkan tujuan pendidikan tersebut, seharusnya setiap penyelenggaraan pendidikan tidak melupakan untuk menanamkan keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia sebagai tujuan yang ingin diwujudkan.
Di sisi lain, Toto Suryana selaku Dosen Senior Universitas Pendidikan Indonesia selama diskusi dengan penulis menegaskan, seharusnya penanaman nilai-nilai keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia juga dilakukan oleh guru mata pelajaran yang lain, bukan hanya PAI. Sehingga, semua mata pelajaran seharusnya selaras dengan tujuan pendidikan yang dirumuskan yakni ikut menanamkan nilai-nilai keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia.
Namun dalam praktiknya, penanaman keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia di beberapa sekolah cenderung hanya dipahami kewajiban guru PAI. Padahal, seharusnya itu, dipahami sebagai kewajiban semua guru untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Bagaimana mungkin mata pelajaran PAI mampu mewujudkan tujuan pendidikan nasional secara sendiri sedangkan jam pelajarannya pun sangat terbatas.
Hal yang sederhana saja dalam pelaksanaan evaluasi pendidikan nasional. Mengapa mata pelajaran PAI tidak ada dalam Ujian Nasional (UN)? Lantas mata pelajaran apa yang dijadikan instrumen untuk mengukur keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia? Dalam pandangan Abas Asyafah selaku Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia saat perkuliahan dengan penulis menyampaikan bahwa ini merupakan suatu masalah, ketika mata pelajaran PAI sebagai instrumen untuk mengukur keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia tidak ada dalam UN.