Oleh : Tatang Hidayat*)
Perjalanan malam hari dari negeri Jiran ke negeri gajah putih dilalui dengan tafakur, tidak jarang sesekali saya merenung akan perlakuan dunia saat ini terhadap minoritas muslim yang ada di beberapa negara mayoritas bukan muslim. Tidak terkecuali minoritas muslim yang ada di Asia Tenggara.
Minoritas muslim di seluruh dunia ternyata mengalami nasib yang sama terutama jika di bawah kungkungan negara berkembang. Apa yang terjadi di Mindanao Wilayah Filipina Selatan, etnis Rohingya di Arakan-Myanmar, termasuk wilayah Patani di Thailand Selatan yang mendapat tekanan dari pihak mayoritas.
Rihlah ke negeri gajah putih menjadi pengalaman yang sangat berharga bagi diri saya, terutama bisa bertemu dengan saudara muslim saya yang ternyata ukhuwah Islamiyyah ini tidak mengenal batas-batas negara. Perjalanan ini diawali dari perbatasan negeri jiran, adzan shubuh berkumandang seolah mengawali akan rihlah ini.
Di salah satu masjid yang ada di perbatasan negeri jiran dan negeri gajah putih, saya bersama kawan-kawan menyempatkan untuk singgah melaksanakan shalat shubuh berjama'ah. Nampak masyarakat sekitar mulai berbondong-bondong menuju masjid, baik tua maupun muda.Â
Dari cara berpakaiannya pun hampir sama dengan yang ada di bumi pertiwi, mereka mengenakan baju koko, sarung lengkap dengan peci.
Mayoritas umat Islam di negeri jiran sama dengan yang ada di bumi pertiwi sebagai penganut madzhab syafi'i, itu terlihat saat rakaat kedua shalat shuhuh, setelah i'tidal imam memimpin membaca do'a qunut shubuh yang tentunya sebagaimana pemahaman madzhab Syafi'i.Â
Setelah shalat selesai didirikan, saya sempat berkeliling di masjid tersebut, melihat beberapa kitab yang ada di beberapa rak. Nampak ada kitab al Barjanzi sebagai kitab khas dalam pembacaan shalawat kepada Nabi sebagaimana yang biasa dibacakan di beberapa pesantren di bumi pertiwi.
Tidak berlama-lama di masjid tersebut, kami pun segera berangkat ke negeri gajah putih, sebagaimana biasa kami harus melakukan pengecekan di imigrasi. Namun tentunya tidak selama sebagaimana masuk negeri Singapura.Â
Saat memasuki negeri gajah putih, terlihat ada sedikit perbedaan dengan negeri sebelumnya, itu bisa dilihat dari banyaknya bendera Thailand yang berkibar sepanjang jalan, berikut tulisan dengan menggunakan huruf khas dari negeri gajah putih ,ternyata kami sudah berada di negeri gajah putih beriringan dengan matahari terbit dari timur. Â
Pertama kami diberikan kesempatan berkunjung ke salah satu taman yang ada di negeri tersebut, namun kami tidak berlama-lama di sana, selanjutnya berangkat lagi ke salah satu masjid yang ada di Thailand Selatan. Masjidnya sederhana tidak sebesar masjid Sultan di Singapura, namun kisah dari masjid ini sangat luar biasa dan tidak akan terlupakan.
Pertama menginjakkan kaki di masjid tersebut saya segera mengambil air wudhu untuk menyempatkan shalat sunnah, selesainya sebagaimana biasa saya berdo'a semoga Allah SWT melahirkan para pemuda Islam dari masjid ini (Thailand Selatan) yang akan berjuang dan bergerak dengan penuh kesadaran untuk menghidupkan kembali peradaban Islam.Â
Setelah itu, saya berkeliling di masjid tersebut, namun ada seorang orang tua yang mengumumkan sesuatu lewat pengeras suara di masjid itu, namun sayangnya saya belum memahami apa yang ia sampaikan karena menggunakan bahasa Thailand. Setelah saya keluar, ada juga beberapa kawan lain untuk menyempatkan shalat sunnah di masjid tersebut.
Selanjutnya kami sarapan bersama beberapa kawan di salah satu  ruangan yang ada di samping masjid tersebut untuk menikmati makanan khas dari negeri gajah putih, yang tentunya makanan tersebut halal, terlihat ada sedikit perbedaan rasa dari makanan yang ada di bumi pertiwi. Setelah semua makanan selesai disantap, tidak lama kami harus segera berangkat lagi ke tempat tujuan.Â
Namun sebelum keberangkatan, ada seorang kawan yang bilang kepada saya, katanya di masjid tersebut akan didirikan shalat jenazah, dikarenakan ada seorang muslim yang wafat.
Dari sana saya mulai melihat lagi ke masjid dan ternyata benar sudah banyak beberapa muslim lainnya yang berdatangan, saat melihat peristiwa tersebut mulailah hati ini terpanggil untuk ikut serta menyalatkan jenazah saudara sendiri yang wafat.Â
Namun keberangkatan sudah waktunya, dari sana saya sedikit kecewa dan akhirnya mulai masuk ke dalam bis. Saat saya sudah berada di dalam masjid, Nampak hati ini bergejolak seolah ada pertempuran batin yang ada dalam diri ini.
Namun, saat berada di dalam bis ternyata ada beberapa kawan lain yang sedang membeli minuman khas Thailand, dari sana seolah memberikan kesempatankepada saya untuk turun lagi sekedar ikut menyalatkan.Â
Akhirnya saya memutuskan untuk turun lagi dari bis, dari sana saya sudah tidak memikirkan lagi jika ada orang yang menganggap apapun. Saat berada di bawah ternyata ada kawan saya yang belum naik ke dalam bis, kemudian saya ajak juga dia ikut menyalatkan jenazah, dan akhirnya ia mau.
Tanpa disangka, saat saya turun dan kembali lagi ke dalam masjid ternyata ada beberapa kawan lagi dari 2 bis yang berbeda ikut turun juga kembali ke masjid. Ternyata ada juga beberapa kawan lain yang merasakan perasaan yang sama dengan saya, namun perlu menunggu momentum orang pertama untuk berani turun lagi.
Saat kami berlari menuju tempat wudhu, nampak shalat jenazah akan segera didirkan, tanpa diduga ternyata mereka melihat kepada kami dan akhirnya menunda shalat tersebut sekedar menunggu kami yang sedang berwudhu.Â
Nampak senyum dari wajah mereka seolah merasakan bahagia kami ikut menyalatkan jenzah, meskipun sayang kami harus terkendala bahasa untuk berdiskusi dengan mereka.
Tidak lama setelah kami sudah berada di shaf untuk shalat, dan tidak ada yang ditunggu lagi, akhirnya shalat jenazah didirikan. Setiap kali takbir dikumandangkan dan membaca beberapa do'a dalam shalat, nampak dalam hati ini ada suasana haru yang tak tertahankan, ada suasana kepuasan batin bisa ikut menyalatkan jenazah untuk saudara seiman, yang tentunya ini karena dasar Ukhuwah Islamiyyah yang tidak memandang batas negara.
Setelah selesai, imam-pun memimpin do'a supaya jenazah diberikan ampunan, saat kami berdo'a terdengar suara klakson bis dibunyikan, nampak rombongan akan segera berangkat sedangkan kami masih berdo'a. dari sana saya tidak berfikir apa-apa lagi, biarkan mau dicaci dimaki, karena yang kami lakukan bukan suatu kesia-siaan.
Setelah selesai akhirnya kami pergi dan meninggalkan sebuah jejak yang tidak akan terlupakan, sebuah harapan untuk kebebasan minoritas muslim di Thailand dari kedzaliman dan penindasan. Sebuah harapan muslim Thailand untuk hidup dengan layak dan menjadikan negeri Thailand menjadi negeri yang diberkahi oleh Allah SWT.
Dari sana kami berkunjung ke beberapa tempat perbelanjaan yang menjual berbagai macam makanan, pakaian dan cinderamata. Dari tiga tempat yang saya datangi, saya hanya turun dan melihat setiap barang yang di jual.
Jujur saja, dari tiga tempat tersebut tidak ada barang yang membuat hati ini ingin memilikinya, bagaimana tidak, jika boleh berpendapat dari segi kualitas baju ternyata lebih bagus baju karya anak Bandung, begitupun dari segi makanan  jika dibandingkan dengan yang ada di bumi pertiwi tentunya masih banyak yang lebih enak, begitupun dengan cinderamata berbentuk kerajinan, ternyata dari segi kualitas lebih bagus kerajinan karya masyarakat Rajapolah dan harganya tentu lebih murah.
Dari sana saya berfikir, ternyata anak-anak bangsa memiliki potensi yang besar jika diarahkan kepada jalurnya, bagaimana tidak, semuanya ada di bumi pertiwi, sebuah negeri zamrud khatulistiwa yang apapun ada di dalamnya.Â
Namun pertanyaannya, mengapa bumi pertiwi masih seperti ini ? Bahkan ada yang bilang bahwa SDM yang ada di negeri bumi pertiwi belum siap bersaing, sehingga dijadikan dalih untuk memudahkan tenaga kerja asing masuk ibu pertiwi.
Setelah seharian berkeliling di beberapa tempat, akhirnya kami bisa istirahat di salah satu hotel, dari sana kami mendirikan shalat dzuhur jama' takhir dan shalat asar berjama'ah. Â
Saat sore hari, saya dengan beberapa kawan berkeliling di Kota Hatyai salah sat u kota yang ada di Thailand Selatan. Melihat aktivitas masyarakat Thailand saat di sore hari, dari segi kondisi kota ternyata tidak jauh berbeda dengan kota-kota kecil yang ada di Indonesia.
Dari sana saya berkeliling dan berniat untukmencari masjid, namun ternyata lokasinya cukup jauh dan bisa ditempuh menggunakan tuk-tuk sebutan kendaraan umum yang ada di Thailand.Â
Di tengah perjalanan tanpa diduga kami sedikit kebingungan mencari jalan pulang, dikarenakan beberapa tulisan yang ada di sudut kota tersebut menggunakan tulisan Thailand. Setelah berusaha mencari, akhirnya kami bisa sampai kembali di hotel.
Kami mendirikan shalat maghrib dan shalat isya jama' takdim secara berjama'ah, saat malam hari beberapa kawan ada yang pergi ke pasar asean, sekedar mencari beberapa barang, namun saya memanfaatkan waktu tersebut untuk sekedar istirahat, menyiapkan untuk hari esok supaya bisa bertenaga setelah seharian tenaga terkuras karena berkeliling di Kota Hatyai.Â
Bagaimana catatan dari negeri Thailand dalam membangun Ukhuwah Islamiyyah selengkapnya ? Nantikan dalam catatan selanjutnya.
 *) Peserta International Class, Market Research dan Study Tour Ke Singapura, Malaysia dan Thailand Dalam Kegiatan Study Comparative 2018Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H