Perjuangan sebelum keberangkatan ke negeri jiran itu diwarnai dengan beberapa pengorbanan, bagaimana tidak, mulai dari membuat paspor saya harus bulak balik Bandung - Tasikmalaya dan harus menempuh perjalanan kurang lebih 150 KM. Mengapa bisa seperti itu ? dikarenakan Imigrasi Kota Bandung saat itu kuota antrinya sudah penuh.
Saat wawancara pembuatan paspor pun ternyata ada salah satu persyaratan yang belum saya penuhi, yakni rekomendasi dari kampus saya, segera saat itu juga saya menghubungi Bapak Endang selaku orang tua saya di kampus, meminta izin untuk dibuatkan surat rekomendasi yang di tandatangani Ketua Prodi IPAI UPI (Dr. KH. Aam Abdussalam, M. Pd.).
Setelah selesai wawancara dan harus mengambil paspor hari Jum'at pekan berikutnya, ternyata paspor saya baru jadi sekitar pukul 15.00 saat hari terakhir saya harus memenuhi persyaratan untuk mengikuti agenda tersebut, dan syarat yang belum saya penuhi adalah paspor, bisa dibayangkan bagaimana jika hari itu paspor saya belum jadi, dapat dipastikan saya kemungkinan gagal berangkat.
Namun, saat waktu pengambilan paspor tersebut tepatnya hari Jum'at, 23 Maret 2018 ternyata saat waktu shubuh di hari itu ibu saya dibawa ke rumah sakit, penyakit beliau kambuh lagi, namun saya belum mengetahuinya.
Pantas saja ketika hari Jum'at saya di hubungi oleh ayah saat menanyakan proses pembuatan paspor, ada yang berbeda dari nada beliau berbicara, sebenarnya saya juga sudah ada firasat yang nggak enak di dalam hati ini, namun saya tetap berhusnuzhon dan malamnya sudah tiba lagi di Bandung.
Benar saja firasat saya kemarin, ketika pagi-pagi membuka handphone, sudah ada 30 lebih panggilan tidak terjawab dari ayah, maklum saja bahwa handphone saya nadanya di silent. Ketika saya angkat panggilan tersebut dan mendengar dari ayah bahwa ibu masuk rumah sakit lagi.
Sontak saja air mata ini mulai menetes membasahi pipi dan mulut tidak bisa berbicara apa-apa, ternyata saat saya mengambil paspor, ternyata ibu sedang berjuang melawan penyakitnya dan tidak mau mengganggu kegiatan untuk mewujudkan cita-cita anaknya.
Saat itu pula saya segera menghubungi guru saya (KH. Athon Sultonniyah "Pengasuh Pondok Pesantren Manarul Huda Bandung) untuk meminta dido'akan untuk kesembuhan ibu, terutama di do'akan oleh para santri. Tibanya di rumah sakit saya langsung mencium tangan beliau dan diiringi dengan tetesan air mata, saya bertanya kepada orang yang mau mengorbankan nyawanya untuk saya.
Ibu sakit apa ? Kenapa ibu sakit lagi ? Itulah pertanyaan yang keluar dari mulut saya. Namun jawaban yang beliau berikan seolah menutupi kesakitannya, bahwa beliau tidak sakit apa-apa dan sudah sembuh. Mendengar jawaban beliau, melengkapi sudah kesedihan ini, bagaimana tidak, ibu selalu menutupi kesakitannya dihadapan anak-anaknya.
Saya pun menunggu dan menemani beliau di rumah sakit, jangan sampai saya menjadi anak yang tidak bisa masuk surga padahal orang tua saya masih ada, dan khidmatnya saya kepada orang tua mudah-mudahan bisa menjadi wasilah supaya Allah SWT ridho kepada saya.
Tidak berselang lama, duka saya kembali bertambah, ternyata saat sore hari saya mendengar kabar dari seorang kawan, dikabarkan bahwa seorang kawan seperjuangan dalam dunia akademik telah kembali ke rahmatullah.