Indonesia adalah salah satu negara yang menganut sistem pemerintahanan demokrasi, pada dasarnya demokrasi yang menurut asal kata yaitu rakyat berkuasa atau government by the people. Yang asal kata sebenarnya berasal dari bahasa Yunani demokratia, yang diambil dari kata demos berarti rakyat, dan kratos/kratein berarti berkuasa (memerintah). Atau menurut mantan presiden Amerika yang ke-16 (Abraham Lincoln) sendiri menyatakan bahwa demokrasi adalah sebuah sistem pemerintahan yang dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Oleh sebab itu dalam pemerintahan yang berdemokrasi ini rakyatlah yang memiliki peran tertinggi dalam pemerintahan. Oleh sebab demokrasi makna demokrasi adalah pemerintahan tertinggi berada ditangan rakyat, karenanya setiap keputusan atau kebijakan yang keluarkan oleh pemerintah haruslah mengambil dari partisipasi masyarakat. Partisipasi politik dari masyarakat merupakan hal terpenting dari sebuah sistem negara yang demokrasi, sebab hal itulah yang membedakan sistem pemerintahan demokrasi dengan sistem pemerintahan yang lainnya, seperti halnya dalam sistem negara otoritarinisme, monarki dll. Partisipasi politik masyarakat tidak hanya saja selalu berbicara mengenai pemilihan umum (Pemilu). Akan tetapi kritik ataupu masukan yang diberikan masyarakat kepada kebijakan pemerintah juga merupakan salah satu bentuk partisipasi politik yang dilakukan. Undang-Undang No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga mengatur mengenai hak setiap orang untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat untuk maksud damai selain itu, Dalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum (Andrizal, 2016 : 121). Juga merupakan Peraturan Perundang-undangan yang menjamin secara khusus dalam jaminan hak bagi setiap orang untuk bebas mengeluarkan pendapatnya.
      Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Di Indonesia sendiri sudah di bentuk peraturan per undang-udangan yang menjamin dan menjelaskan tentang kebebasan berpendapat dan berekspresi kepada seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali, seperti halnya yang sudah di tulis dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal 28 yang berbunyi : “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang". Dengan adanya konstitusi ini menjelaskan bahwa setiap warga negara Indonesia diberikan haknya untuk menyampaikan aspirasinya di depan umum tanpa adanya intervensi dari pihak manapun.
      Akan tetapi sudah lama ini, kebebasan berpendapat dimungka umum sudah mulai terkikis dengan adanya perundang-undangan baru tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau biasa yang kita kenal dengan UU ITE. Menurut penulis UU ITE ini merupakan salah satu bentuk peraturan hukum yang merusak sistem tatanan dalam bernegara demokrasi. Pada dasarnya UU ITE ini memang merupakan peraturan yang baik untuk kesejahteraan masyarakat banyak jika digunakan dengan baik pula, karena tidak bisa dipungkiri lagi bahwasannya perkembangan teknologi dan informasi kini sangat hebat dan cepat, yangmana dengan perkembangan tersebut segala informasi kini bisa dengan sangat mudah di terima atau diberikan oleh setiap orang. Karena pada dasarnya UU ITE ini tercipta untuk memberikan kepastian hukum di dunia cyber atau maya kepada masyarakat, mengingat bahwasannya dimasa kini hampir semua transaksi-transaksi perdagangan banyak melaui media cyber tanpa perlu repot-repot berpergian, karena hal tersebut sudah sewajarnya pengguna atau konsumen perdagangan diberikan perlindungan hukum, sebab pada masa kini banyak sekali penipuan yang berbasis cyber. Sehingga didalam perkembangannya UU ITE ini juga tidak hanya berfokus pada perdagangan elektronik saja, akan tetapi juga memasuki ranah sosial di masyarakat seperti halnya dalam konteks pelarangan konten yang mengandung usur pornografi, pencemaran nama baik, penghinaan dll.
      Akan tetapi yang menjadi masalah utama dalam undang-undang ini adalah banyaknya penafsiran pemahaman yang berbeda-beda terjadi di dalamnya, seperti halnya didalam salah satu pasal yang seringkali dipermasalahkan dan disebut sebagai "pasal karet" adalah Pasal 27 ayat 3 UU ITE. Adapun isi Pasal 27 ayat 3 dalam UU 11/2018 itu berbunyi "setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik". Dalam memahami pasal ini tentang perlindungan dari pencemaran nama baik sering sekali disalah gunakan oleh pihak-pihak yang tidak ingin dikritik atau diberikan masukan.Â
Karena pada pengertiannya didalam kehidupan sosial perbedaan kritik dan penghinaan sangatlah berbeda tipis, orang yang mungkin maksut hati ingin memberikan kritik kepada seseorang ataupun sebuah pihak seperti halnya instansi pemerintahan, akan tetapi jika pihak tersebut tidak terima dengan kritikan tersebut bisa saja dilaporkan dengan pasal penghinaan dan pencemaran nama baik. Seperti halnya yang dialami oleh salah seorang mantan sekertaris BUMN yaitu Muhammad Said Didu yangmana didalam salah satu content channel akun resmi youtubenya, Said Didu memberikan kritik kepada salah satu mentri yaitu Luhut Binsar Pandjaitan yang menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), yang dia anggap hanya memiliki pikiran uang, uang, dan uang saja [1]. Sebab dengan mudahnya dia membiarkan banyak investor-investor asing masuk ke Indonesia, tanpa memikirkan dampak negatif kedepannya.
      Selain itu jika kita memaknai kejadian tersebut dengan melihat dari sudut pandang teori libertarianisme sangatlah menyimpang jauh. Karena pada dasarnya libertarianisme yang mana teori ini terkait tentang kebebasan serta sudut pandangnya terkait keadilan. Baginya kebebasan individu menjadi sorotan dalam setiap diskusi keadilan. Libertarian melihat hak dan kebebasan dari manusia adalah pemberian tuhan sejak manusia dilahirkan. Dalam hal ini menginisiasi adanya Hak Asasi Manusia. Dalam kaitannya penggunaan kebebasan dalam teori keadilan libertarian adalah dengan adanya kebijakan yang dapat menjamin kebebasan manusia maka, keadilan yang dapat diraih adalah keadilan untuk tiap individu yang mana memiliki kehendak bebas(Arissy Jorgi Sutan, 2020 : 126).
      Dengan melihat kasus tersebut dapat membuktikan bahwasannya undang-undang ITE ini bersebrangan dengan libertarian karena peraturan ini sangatlah membatasi kebebasan individu seperti halnya kebebasan dalam berekspresi dan menyampaikan pendapat di mungka umum, sebab banyak sekali kasus-kasus serupa yang terjadi seperti halnya dilansir dari data National.Kontan.co.id kasus pidana menggunakan Undang-Undang No 19 Tahun 2016 UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) hingga 30 Oktober 2020, mencapai 324 kasus [2]. Seharusnya spirit UU ITE memberikan rasa aman dan kepastian hukum untuk semua orang dalam media cyber, akan tetapi pada implementasiannya UU ITE banyak sekali memakan korban yang tidak berdaya dan tidak memiliki kuasa, memang tidak bisa kita lupakan tentang stigma bahwa hukum di Indonesia itu adalah hukum yang sangat buruk, hukum yang tajam kebawah dan tumpul keatas, yangmana di dalam kasus ini banyak sekali kejadian seorang pelapor yang memiliki power dan kuasa, melaporkan orang yang tidak memiliki kuasa, seperti halnya masyarakat biasa ataupun para aktivis, lalu dengan sangat mudahnya laporan tersebut di tindak lanjuti dengan sigap dan cepat. Akibat dari hal ini banyak sekali masyarakat untuk takut memberikan kritik ataupu komentar terhadap suatu kebijakan ataupun tindakan yang dilakukan oleh pemerintah, karena takut dilaporkan kepada pihak kepolisian, sehingga jumlah partisipasi politik masyarakatpun banyak berkurang bahkan adapun dampak terburuk bagi sebuah sistem demokrasi ini adalah hilangnya rasa kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dan bahkan banyak masyarakat yang mulai apatis terhadap pemasalahan - permasalahan  di negri ini.
Referensi
Andrizal, 2016, Demonstrasi Mahasiswa Di Kota Pekanbaru Berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum, Jurnal Hukum Respublica, Vol. 16, No. 1 : 120 – 134.
Arissy Jorgi Sutan, Ridho Al-Hamdi, 2020, Keadilan Semi-Libertarianisme Pada Sistem Kesehatan Di Indonesia: Analisis Komparatif Pemikiran Benthham Dan Kant Terhadap Implementasi Konsep Keadilan Pada Kebijakan Bpjs – Kesehatan, Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia : JKKI, Vol. 09, No. 03.
[1] CNN. (Diakses pada 21 April 2021)
[2] Kontan. (Diakses pada 21 April 2021)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H