Diana Chalil menyarankan untuk mengatasi masalah deforestasi dan penerimaan pasar, perlunya memperjelas definisi dan kawasan hutan, meningkatkan skala pengelolaan, mendorong partisipasi pemangku kepentingan yang lebih tinggi untuk mengurangi biaya dan meningkatkan harga jual.
"Diperlukan usaha agar petani lebih baik diantaranya program untuk meningkatkan kapasitas manajerial dalam organisasi, meningkatkan akses ke input produksi dan dukungan keuangan, mendorong kemitraan jangka panjang untuk mempertahankan GAP dan BMP yang baik, dan meningkatkan keterampilan petani kecil dalam pengelolaan keuangan" Ujar Diana
Dedi Junaedi, Direktur Pengelolaan Perkebunan, Kementerian Pertanian menyatakan bahwa terdapat perkembangan sistem sertifikasi ISPO. Ia menyebutkan total lebih dari 730 sertifikasi telah diterbitkan, dan forum multistakeholder telah menghasilkan 28 program, 92 kegiatan, dan 118 penerbitan keputusan dan peraturan. Dedi menjelaskan ada upaya multipihak untuk mempercepat sertifikasi ISPO bagi petani kecil.
"Upaya percepatan sertifikasi ISPO bagi petani kecial diantaranya percepatan penerbitan Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB) dan Hak Milik (SHM) bagi petani kecil, pemberian bantuan dana sertifikasi ISPO dari BPDPKS, peningkatan kapasitas petani melalui pelatihan sebelum audit ISPO, optimalisasi peran pekebun mandiri, percepatan proses pelepasan lahan kebun sawit milik petani yang berada di dalam kawasan hutan, mengoptimalkan peran mitra, CSO, pemerintah daerah (kabupaten dan provinsi) untuk mendukung sertifikasi ISPO terutama melalui alokasi anggaran dan pendampingan." Ujar Dedi Junaedi.
Mansuteus Darto, Presiden Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) mengatakan sertifikasi ISO sulit diterapkan karena petani rakyat karakteristiknya berbeda-beda.
"Ada empat jenis petani kecil di Indonesia; pekebun skema (yang bermitra dengan perusahaan perkebunan dalam program transmigrasi), pekebun mandiri, pekebun kombinasi dan pekebun mandiri dimana mereka adalah pekebun skema yang juga memiliki kebun swadaya, dan pekebun swadaya (dibantu oleh pemerintah, koperasi, dll. ). Mengingat keragaman petani, ada beberapa faktor yang berkontribusi pada kesejahteraan dan penghidupan petani, yang meliputi harga tandan buah segar (TBS), luas lahan/luas perkebunan, dan apakah petani mengadopsi kebijakan lintas komoditas yaitu, petani mengintegrasikan kelapa sawit dan tanaman pangan lainnya" Ujar darto
Darto menemukan mayoritas petani kecil memiliki lahan kurang dari 4 ha dan produktivitasnya rendah. Sebanyak 83% petani kecil dengan luas kurang dari 8 ha hanya memiliki akses ke tengkulak, yang menempatkan mereka pada posisi tawar yang kurang menguntungkan, mengingat harga jual yang rendah (30% lebih rendah). Selain itu, hanya 30% petani dengan luas lahan kurang dari 4 ha yang membudidayakan tanaman pangan, sehingga sebagian besar petani menggantungkan hidupnya pada perkebunan kelapa sawit. Darto mengusulkan agar petani dapat memiliki lahan 6-8 ha.
"Ada dua skenario dimana petani dapat memenuhi kebutuhan primer dan sekunder mereka (pendidikan anak). Skenario pertama adalah petani harus memiliki lahan 6-8 ha, produktivitas lebih tinggi misalnya produksi 14 ton/ha per tahun, dan harga TBS stabil di atas Rp 1.200/kg, dan memiliki keluarga dengan dua anak. Skenario kedua adalah petani dengan 3-5 ha lahan sawit, produktivitas lebih tinggi yaitu produksi 16 ton/ha per tahun, harga TBS di atas Rp 1.200/kg, dan memiliki lahan 1 ha untuk tanaman pangan." Ujar Darto
Khalil Hegarty, Pemantau Kelapa Sawit (Palm Oil Monitor) mengatakan ada perbedaan defisini petani kecil antara Indonesia dan Uni Eropa. Di Uni Eropa masalah petani kecil muncul dari RED II Delegated Act UE.
"Dalam RED II Delegated Act UE tersebut merevisi definisi petani kecil dengan cakupan yang lebih sempit, yang akan mengakibatkan tersingkirnya banyak petani kecil sehingga terdapat inkoherensi kebijakan dalam kebijakan perdagangan dan pembangunan UE, dan pembaruan peraturan deforestasi baru yang telah terjadi di berbagai negara. Ini termasuk proposal terbaru UE tentang pembatasan impor pertanian melalui peraturan deforestasi, RUU Kongres AS untuk mengurangi deforestasi, dan undang-undang baru Inggris tentang deforestasi ilegal". Ujar Khalil Hegarty dalam Webinar Narasi Insitute yang berjudul Mendorong Sertifikasi Berkelanjutan bagi Petani Sawit: Tantangan dan Peluang pada Selasa (19/10).
Khalil mengingkatkan bahwa perubahan UU di luar negeri tersebut berimplikasi lebih lanjut pada minyak sawit dan komoditas lain seperti kakao, karet, kayu, dan pulp, sehingga dalam perdagangan komoditas tersebut  pentingnya faktor treacablity (ketertelusuran) dan sertifikasi sebagai kunci untuk melanjutkan ekspor komoditas dari Indonesia ke pasar global.
"Tanpa informasi treacability dan sertifikasi, produk pertanian Indonesia tidak akan bisa masuk pasar Internasional." Ujar Khalil