Kerentanan ekonomi tersebut cukup fundamental karena terdapat pada besarnya defisit fiskal, rasio utang pemerintah terhadap PDB tinggi dan utang swasta dan total utang dalam triliun rupiah yang melonjak 2021 dibandingkan 2013.
Utang swasta lebih besar di level USD207.2 miliar di Juni 2021 dibandingkan USD142.5 Miliar di Juni 2013.
Defisit fiskal yang tinggi 5.7 persen dibandingkan 2.3 persen di 2013 akibat digenjot untuk stimulus fiskal menangani dampak kesehatan dan ekonomi dari pandemi COVID-19.
Rasio utang pemerintah terhadap PDB yang besar mencapai 41.63 persen dibandingkan 24.94 persen di 2013.Â
Total utang nasional baik swasta dan pemerintah lebih besar di level Rp6.554 triliun di Juni 2021 dibandingkan Rp2.375 triliun di Juni 2013.
Kerentanan tersebut harus dapat diantisipasi dengan melakukan debt management terhadap SBN,utang Swasata dan utang BUMN dengan lebih baik.
Di saat yang bersamaan, defisit pada neraca transaksi berjalan saat ini dapat dikatakan berada pada level manageable. Defisit neraca transaksi berjalan 2020 sebesar -0.4 persen PDB atau USD4.7 miliar bandingkan sebesar -3.19 persen PDB atau USD29.1 miliar.
Dengan demikian, depresiasi rupiah yang diprediksi sebagai dampak ikutan tapering off 2021 tidak terlalu dalam. Rupiah terdepresiasi diprediksi paling dalam di level Rp15,000 pada saat tapering diumumkan.
Adapun dampak lain seperti meningkatnya imbal hasil surat utang (Yield SUN) akibat tapering off dapat dinormalisasi melalui pembelian SUN oleh Bank Indonesia.
Bank Indonesia melalui SKB III dari Skema Burden Sharing 2021-2022 telah menjadi  standby buyer baik di pasar primer maupun di pasar sekunder sehingga resiko peningkatan Yield SBN dapat diminimalisir.