Mohon tunggu...
Achmad Nur Hidayat
Achmad Nur Hidayat Mohon Tunggu... Konsultan - Pakar Kebijakan Publik

Achmad Nur Hidayat (Born in Jakarta) previously earned Master Public Policy on Economic Policies from Lee Kuan Yew School of Public Policy National University of Singapore (NUS) and from Tsinghua University, Beijing China in 2009. He had an executive education from Harvard Kennedy School of Government, Boston-USA in 2012. He is currently assisting and providing recommendation for both the Supervisory Board of Central Bank of Indonesia and Government of Indonesia in the effort to increase sustainable economic growth, maintain the financial system stability and reinvent human resources capacities in line with technological disruption. He was Chairman of Student Boards (Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia) University of Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Perlu Kewaspadaan Ekonomi di 76 Tahun Indonesia Merdeka

25 Agustus 2021   10:20 Diperbarui: 25 Agustus 2021   10:29 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Kompas  | Ilustrasi Ekonomi dan Pertumbuhan (Toto Sihono)

Saya akan share catatan kaki saya tentang refleksi Indonesia Merdeka 76 tahun. Catatan kaki tersebut saya sarikan dari notulensi zoominari kebijakan publik Narasi Institute beberapa waktu yang lalu dimana saya menjadi memandu diskusi.

Ada tiga (3) poin penting dalam zoominari tersebut diantaranya adalah

Tantangan 76 Tahun Kemerdekaan adalah Ketimpangan, Indonesia Perlu Konsolidasi Atau Potensi Pergelokan Sosial Membesar.

Kompas Com
Kompas Com

Prof Didin S Damanhuri, Guru Besar Ekonomi IPB mengatakan bahwa 76 Tahun refleksi kemerdekaan sudah banyak kemajuan namun sudah 2 tahun situasi pendemi menyebabkan banyak kemunduran baik ekonomi, demokrasi dan kebebasan, elit perlu konsolidasi jika tidak potensi pergelokan sosial tinggi.

"Tahun 2021 ini adalah tahun ke-2 Indonesia merayakan kemerdekaan dalam situasi pandemi dan belum tahu sampai kapan waktunya pandemi ini akan berakhir. Tahun 2020 kita masuk ke Negara berpendapatan menengah bawah. Dalam Demokrasi dan kebebasan mengemukakan pendapat kita mengalami kemunduran juga dalam ekonomi. Cita cita kemerdekaan terlihat makin jauh" Ujar Didin S Damanhuri dalam zoominari kebijakan publik Narasi Institute "Memaknai Kemerdekaan Di tengah tantangan pandemi" Jumat 13/8.

Didin S Damanhuri melihat secara PDB, Indonesia yang terus meningkat dari awal proklamasi merupakan hal yang patut disyukuri selain Indonesia sebagai negara yang sangat heterogen tidak terjadi balkanisasi karena kontribusi ormas diantaranya NU dan Muhammadiyah, namun ketimpangan desa dan kota semakin besar. Hal tersebut, menurut Guru Besar Ekonomi IPB tersebu, dapat memicu masalah serius terutama akibat makin kaya kelompok minoritas dan semakin miskinnya kelompok mayoritas.

"Secara GDP kita terus meningkat dari awal proklamasi. Ini adalah hal yang patut kita syukuri. Sebagai negara yang sangat heterogen tidak terjadi balkanisasi di negeri ini. Kota sangat berkembang tapi desa belum di bangun secara baik. Padahal sumber daya nya disedot ke kota tapi tidak kembali ke desa. Lokal ekonomi desa ini penting sebagai balanced perkotaan. Adanya civil society yang kuat seperti NU dan Muhammadiyah ikut berperan mempererat persatuan bangsa." Ujar Didin.

Didin mengingatkan bahwa tantangan terbesar saat ini adalah ketimpangan terutama kelompok penikmat terbesar pembangunan adalah kelompok etnis tertentu minoritas yang memunculkan ketimpangan yang ekstrem.

"Tantangan terbesar kita adalah ketimpangan. Ketimpangan ini sangat berbahaya sekali ini merupakan bom waktu apalagi kelompok yang super kaya ini dari kelompok etnis tertentu. Ketimpangan yang ekstrem. Ketergantungan Indonesia terhadap berbagai hal di antaranya teknologi, finansial dan utang menyebabkan ruang gerak bangsa semakin terbatas" Ujar Didin S Damanhuri.

Didin menyarankan perlu kolektif konsensus elit untuk membangun agenda ekonomi jangka panjang yang berkeadilan mengurangi gap ketimpangan ekstrem ekonomi dan sosial.

"Tantangan kemerdekaan ekonomi ini sangat berat saat ini oleh karena itu perlu transformasi yang bersifat struktural dari para elite negara yang didukung oleh para civil society, bisa Reform from the Top atau bahkan bisa revolusi sosial yang mestinya dihindari karena yang paling dirugikan itu rakyat. Elite-elite harus membangun kolektif konsensus untuk membangun agenda ekonomi jangka panjang yang berkeadilan bila mau menghindari revolusi sosial" Ujar Didin.

Achmad Nur Hidayat, Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute memandang revolusi sosial harusnya dihindari karena biayanya terlalu besar dan resikonya sulit diukur oleh karena itu konsolidasi para petinggi elit, pengusaha dan tokoh bangsa perlu segera dilakukan untuk mengatasi ketimpangan ektrim yang dapat menjadi ledakan sosial.

"Pergolakan sosial harusnya dihindari karena tidak dapat diprediksi outcomenya, diperlukan jiwa besar para pemimpin bangsa untuk saling komunikasi menentukan arah bangsa yang lebih merangkul kelompok mayoritas, terutama dibidang keadilan ekonomi, Ini elit jangan memperebutkan kue kekuasaan untuk kelompoknya saja, ingat anda dipilih oleh kelompok mayoritas. Ujar Achmad Nur Hidayat yang juga mantan ketua BEM UI.

Poin penting kedua berikutnya adalah:
Jangan Ada Benturan Islam dan Negara, Soal Kontroversi Lomba BPIP


Sumber: kompas
Sumber: kompas
Fadli Zon, Anggota DPR RI dari Gerindra mengingatkan dalam memperingati kemerdekaan RI 76 tahun, BPIP seharusnya tidak memancing benturan antara agama dan negara. BPIP menyelenggarakan lomba dengan dua tema yaitu tema pertama adalah 'Hormat Bendera Menurut Hukum Islam' dan kedua, 'Menyanyikan Lagu Kebangsaan Menurut Hukum Islam'.
"Kedua tema lomba tersebut sengaja untuk memecah belah bangsa. BPIP sengaja membenturkan Islam dan nasionalisme dengan mengangkat dua tema tersebut, Jangan lagi suasana politik 1950an orde lama diangkat kembali", Ujar Fadli Zon dalam zoominari kebijakan publik Narasi Institute "Memaknai Kemerdekaan Di tengah tantangan pandemi" Jumat 13/8.

Fadli Zon ingatkan bahwa tujuan Indonesia bernegara menurut founding father Muhammad Hatta masih jauh dari kenyataan.

"Kalau kita berbicara memaknai kemerdekaan kita mesti melihat fakta sejarah, saat itu kita merdeka dari penjajahan, sekarang apa tujuan kita merdeka, menurut bung Hatta tujuan kemerdekaan untuk kebahagiaan masyarakat, untuk kesejahteraan rakyat ada kehadiran negara, adanya kebebasan berekspresi, ada keamanan dan kedamaian kita hidup di Indonesia. Itu semua masih lemah dewasa ini. Ujar Fadli Zon

Fadli Zon melihat pemimpin akhir-akhir ini mengalami pendangkalan pemahaman terkait tujuan bernegara sehingga kita sedang menuju negara police state.

"Saat ini ada kedangkalan tokoh-tokoh kita yang membenturkan antara Islam dan Pancasila. Bangsa kita sangat rawan akan bubar kalau pemimpin Indonesia lemah dan tidak faham sejarah. Saat ini banyak akrobat yang terjadi di bidang politik dan hukum ini berpotensi memunculkan distrust. Masyarakat masih jauh dari kesejahteraan, akebahagiaan, kebebasan dan kedamaian. Kita perlahan menuju negara Police state" ujar Fadli Zon

Fadli Zon merefleksikan 76 tahun merdeka dengan bertanya apakah kita semakin bahagia, semakin sejahtera dan semakin bebas berekpresi dan makin damai saat ini. Menurutnya Indonesia masih jauh dari cita-cita kemerdekaan.

"Saat ini apakah masyarakat kita semakin bahagia, apakah masyarakat semakin sejahtera, apakah masyarakat bebas ekspresi dan kedamaian, yang ada saat ini kita semakin jauh dari cita cita kemerdekaan" Ujar Fadli Zon

Fadli Zon mengatakan bahwa dalam beberapa indikator kesejahteraan kita mengalami penurunan. Ekonomi turun, demokrasi turun, hukum tidak tegak dan kebahagiaan, kebebasan dan kedamaian terusik, perlahan Indonesia menuju negara police state.

"Baik secara ekonomi dan demokrasi ranking kita menurun di dunia. Kita banyak pembangunan di Indonesia daripada membangun Indonesia. Indonesia dari hari ke hari semakin besar gapnya. Hukum diperlakukan sesuai selera, ini fenomena yang saat ini terjadi. Jangan sampai ada pemimpin negeri ini yang merasa negeri ini milik bapaknya, milik kakeknya.

Fadli Zon melihat Elit terlihat gagap selama masa pandemi COVID19 berlangsung, sehingga terjadi banyak salahnya daripada beresnya dalam menangani pandemi COVID19.

Poin ketiga catatan saya adalah 

Seputar memaknai kemerdekaan Tahun 2021 bahwa Pendidikan dan Core Intelligence Bangsa Indonesia Sedang Menurun

Kompas.com
Kompas.com

Abdul Malik, Pakar Pendidikan Tinggi Narasi Insitute mengatakan Indonesia memerlukan politik pendidikan dan strategi kebudayaan yang jelas. Saat ini diakui rendahnya capaian pendidikan bangsa disebabkan perjalanan sektor pendidikan tidak memiliki panduan dan arah besar.

"Harus diakui, selama 76 tahun Indonesia merdeka pendidikan lebih baik dibandingkan era kolonialisme, namun bila dibandingkan dengan turki yang PDB tidak jauh dengan Indonesia, pendidikan turki jauh lebih berkembang dibandingkan Indonesia" Ujar Abdul Malik.

Abdul Malik memandang pendidikan kita memiliki persoalan laten dimana disparitas akses pendidikan antara 5% kelas miskin terbawa dan 5% kelas kaya teratas terjadi ketimpangan yang sangat besar.

"Potensi disparitas akses pendidikan kita antara kelas miskin dan kaya juga sangat terjadi gapnya. PR pendidikan kita semakin banyak sejak terjadi pandemi. Kita tidak ada politik pendidikan yang jelas, kita tidak punya tujuan kebudayaan yang jelas. Kita mengalami middle income trap yang cukup lama selama 15 tahun. Reformasi yang kita bayar mahal hasilnya hanya seperti ini (sangat rendah) terutama dalam bidang pendidikan" Ujar Abdul Malik

Abdul Malik merasa revolusi sosial mungkin terjadi bila ketimpangan tidak diatasi secara serius.

"Saya dari dulu tidak percaya di Indonesia akan terjadi revolusi sosial, tapi sekarang saya melihat potensi itu ada, potensi disparitas itu mesti dijembatani baik secara ekonomi, sumber daya manusia harus secara serius difikirkan. Para elite politik yang jumlahnya tidak lebih dari 10 harus duduk bersama untuk menyelamatkan Bangsa Indonesia bila mau hindari revolusi sosial." Ujar Abdul Malik.

Taufik Bahaudin, Kepada Center Pengembangan Talenta dan Brainware UI mengatakan bahwa karena cara berfikir pemimpin salah maka manajemen pengelolaan negara tidak termanage dengan baik.

"Belum ada manajemen yang baik dalam pengelolaan negara saat ini karena cara berfikir para pemimpinnya salah. Dalam penanganan covid sudah diberi anggaran yang besar tetapi tidak termanage dengan baik. Seorang pimpinan seharusnya menjadi seorang pemimpin yang cerdas, mesti memiliki mentalitas seorang pemimpin jujur, amanah, punya ketrampilan, punya ilmu yang mumpuni. Leader melihat dari sudut pandang yang berbeda dari orang kebanyakan. Leader mampu memilih stafing yang baik untuk menjalankan agenda nya. Contoh KPK, membuat TWK yang bermasalah, ini sudah bermasalah dari pimpinannya. Kalau bangsa ini bergerak ke sisi yang negatif maka pemimpin nya yang telah membawa bangsa ini ke arah yang negatif." Ujar Taufik Bahaudin.

Taufik Bahudin ingin pemimpin kedepan adalah pemimpin yang kompenten dengan solusi yang out of the box untuk mengatasi krisis bangsa akibat pandemi COVID19 saat ini.

"Kedepan,  pemimpin kita harus  kompeten, orang dengan IQnya jongkok sangat susah disadarkan bahwa dirinya tidak kompeten. untuk melakukan perubahan bahkan kita perlu untuk melakukan usaha rakyat bersama (power) untuk mengingatkan tentang situasi yang terjadi. Banyak PR yang saat ini kita miliki tapi itu tidak membuat kita untuk menyerah, dan itu semua bisa kita lakukan jika kita memperbaiki kualitas SDM kita. Perlu Konsolidasi para elite untuk memperbaiki kondisi bangsa Kita saat ini. Semoga hal tesebut terjadi." Ujar Taufik Bahudin yang juga senior Aktivis Universitas Indonesia.

Demikian catatan kaki saya. diskusi webinar tersebut dihadiri oleh Prof Didin S Damanhuri, Guru Besar Ekonomi IPB (Refleksi Kemerdekaan dan Kemandirian Ekonomi), Fadli Zon, Anggota DPR RI (Refleksi Kemerdekaan dan Politik), Abdul Malik, Pengamat  Pendidikan (Refleksi Kemerdekaan dan Pendidikan  Sumber Daya Manusia), Taufik Bahaudin, Center Pengembangan Talenta dan Brainware UI (Refleksi Kemerdekaan dan talenta bangsa) pada pertengahan Agustus 2021 lalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun