Mohon tunggu...
Achmad Nur Hidayat
Achmad Nur Hidayat Mohon Tunggu... Konsultan - Pakar Kebijakan Publik

Achmad Nur Hidayat (Born in Jakarta) previously earned Master Public Policy on Economic Policies from Lee Kuan Yew School of Public Policy National University of Singapore (NUS) and from Tsinghua University, Beijing China in 2009. He had an executive education from Harvard Kennedy School of Government, Boston-USA in 2012. He is currently assisting and providing recommendation for both the Supervisory Board of Central Bank of Indonesia and Government of Indonesia in the effort to increase sustainable economic growth, maintain the financial system stability and reinvent human resources capacities in line with technological disruption. He was Chairman of Student Boards (Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia) University of Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Postur RAPBN 2022 Perlu Penyempurnaan

21 Agustus 2021   11:35 Diperbarui: 21 Agustus 2021   11:41 466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kompas Pidato Presiden Tentang RAPBN 2022

Sahabat Kompasina, Saya ingin share catatan saya dalam memandu jalannya diskusi Zoominari Kebijakan Publik yang berjudul "Postur RAPBN 2022 Kredibel Kah?

Postur RAPBN 2022 sudah disampaikan Presiden Jokowi dalam Pidato Kenegaraan dalam rangka HUT RI lalu. Pemerintah menyampaikan enam fokus utama dalam kebijakan APBN 2022 mulai dari pengendalian COVID19 sampai antisipasi kondisi ketidakpastian dengan target pertumbuhan ekonomi yang pada kisaran 5,0% sampai 5,5%. Inflasi ditargetkan akan tetap terjaga pada tingkat 3%. Apakah postur RAPBN 2022 tersebut realistis dan kredibel? 

Berikut catatan saya sebagai host.

Pakar Ekonomi: Postur RAPBN 2022 Perlu Penyempurnaan

Ekonom Muhammad Faisal, Direktur Eksekutif CORE dan Tauhid Ahmad Direktur Eksekutif Indef menyatakan RAPBN 2022 belum sempurna. Hal tersebut disampaikan dalam Zoominari Kebijakan Publik yang dipandu oleh Pakar Kebijakan Publik dan Co-founder Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat.

Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal, menegaskan bahwa anggaran kesehatan yang tidak digenjot di 2022 akan mengancam ekonomi anjlok kembali di tahun depan.

"Saya rasa tak ada yang bisa menjamin 2022 tak ada lonjakan (COVID). Kita semua tentu tidak ingin karena berdampak ke masyarakat, ke perekonomian. Tapi tidak lantas menutup kemungkinan di 2022 tidak akan terjadi lonjakan," kata Faisal saat webinar di Narasi Institute, Jumat (20/8).

Faisal berkaca pada  APBN 2021 kemarin dimana sama bahwa RAPBN 2022 sudah antisipatif namun belum pre-emptive sehingga akan terulang kembali dimana kejadian lonjakan varian delta di 2021 membuat pemerintah harus mengalokasikan anggaran lagi untuk penanganannya sehingga berdampak ke perekonomian termasuk kalau terjadi lonjakan di 2022.

"Sampai Semester 1 2021, COVID-19 di Indonesia sempat mengalami penurunan. Namun tiba-tiba ada lonjakan atau gelombang kedua pertengahan Juni 2021. Adanya lonjakan di 2021 membuat pemerintah harus mengalokasikan anggaran lagi untuk penanganannya. Sehingga berdampak ke perekonomian termasuk kalau terjadi lonjakan di 2022. Artinya tidak ada yang bisa memprediksi dan ketika itu terjadi ini dampaknya tekanannya ke ekonomi, terhadap juga APBN karena pemerintah harus menambah lagi biaya untuk perlindungan sosial, kesehatan dan lain-lain," ujar Faisal.

Faisal mempertanyakan kenapa anggaran PEN 2022 malah menurun khususnya untuk kesehatan dan perlindungan sosial. Ia menegaskan kalau anggaran diturunkan bakal menjadi permasalahan baru kalau terjadi lonjakan COVID-19 di 2022.

"Untuk hindari lonjakan COVID19 di 2022 seharusnya Vaksinasi harus terus didorong, bahkan kalau bisa dengan jenis vaksin lebih bagus kalau ingin mencegah kejadian lonjakan pandemi yang ber-impact ke ekonomi. Secara keseluruhan sektor kesehatan dianggarkan Rp 255,3 triliun. Angka tersebut masih lebih rendah dibanding untuk infrastruktur yaitu Rp 384,8 triliun" Ujar Faisal.

Zoominari Kebijakan Publik Narasi Insitute
Zoominari Kebijakan Publik Narasi Insitute
Target Kemiskinan Pemerintah 2022 Dianggap Tak Realistis

Dalam RAPBN 2022, Pemerintah menargetkan tingkat kemiskinan dalam RAPBN 2022 turun ke level 8,5% hingga 9%. Namun, Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal menilai target tersebut tidak realistis, karena berada di bawah kondisi sebelum pandemi.

"Saya susah mencerna target penurunan kemiskinan ini karena ditargetkannya 8,5% sampai 9%. Bahkan sebelum pandemi pun kita tidak pernah serendah itu," kata Faisal dalam sebuah diskusi Narasi Institute, Jumat (20/8).

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat kemiskinan terendah tercatat pada periode September 2019 sebesar 9,22%. Angka ini masih lebih tinggi dari target pemerintah dalam RABPBN 2022. Bahkan sepanjang 1996 hingga 2017, tingkat kemiskinan tidak pernah berada di bawah 10% sekalipun trennya terus menunjukkan penurunan sejak 2006.

Target tersebut kata Faisal semakin tidak realistis pasalnya pemerintah justru menurunkan anggaran perlindungan sosial (Perlinsos) pada program pemulihan ekonomi nasional (PEN) tahun depan. Menurutnya, berbagai bantuan sosial (bansos) pada program perlinsos jadi salah satu pilihan darurat untuk menahan lonjakan angka kemiskinan.

"Dalam kondisi resesi seperti ini, mau tidak mau bansos adalah bagian dari tangga darurat untuk menciptakan penyelamatan, karena tidak mungkin menciptakan lapangan pekerjaan dalam kondisi dimana ekonomi sedang tertekan," ujarnya.

Pemerintah dalam RAPBN 2022 mengalokasi anggaran PEN tahun depan sebesar Rp 321,2 triliun, yang diambil dari belanja pemerintah pusat. Dua klaster yang masih menjadi prioritas yakni anggaran kesehatan Rp 148,1 triliun dan perlinsos Rp 153,7 triliun.

Anggaran dua klaster tersebut dipangkas, perlinsos tahun depan dikurangi Rp 32,94 triliun dari pagu tahun ini Rp 186,64 triliun, sementara kesehatan pemangkasanya lebih besar lagi hingga Rp 66,85 triliun dari pagu Rp 214,95 tahun ini.

Pada indikator kesejahteraan lainnya, Faisal menyebut target penurunan pengangguran pemerintah tahun depan masih lebih realistis. Presiden Jokowi juga menargetkan tingkat pengangguran terendah (TPT) bisa turun ke 5,5% hingga 6,3% tahun depan.

"Berarti kurang lebih tidak akan terlalu jauh jika dibandingkan posisi peningkatan tertinggi pada pandemi 2020, bahkan masih lebih tinggi targetnya dibandingkan kondisi sebelum pandemi." ujarnya.

Kondisi pengangguran menurutnya masih berpeluang turun, dengan syarat kondisi mobilitas mulai melonggar beberapa bulan mendatang. Relaksasi PPKM Level 1-4 akan menggerakkan kembali ekonomi dan mendorong penciptaan lapangan kerja baru. Hal ini kata dia terlihat pada laporan pengangguran periode Februari 2021, TPT tercatat 6,26%, turun dari periode Agustus 2020 7,07%.

Ia menyarankan agar pemerintah bisa lebih mendorong program padat karya, terutama di sektor yang membutuhkan kemampuan tidak terlalu susah. Hal ini untuk menyesuaikan dengan kapasitas masyarakat. Beberapa contoh sektor yang bisa diupayakan yakni sektor pertanian dan perkebunan, kemampuan yang dibutuhkan tidak serumit pekerja untuk sektor teknologi.

The Fed Berencana Akan Tapering Off, Ekonomi RI pasti akan terdampak

Direktur Eksekutif INDEF, Tauhid Ahmad, meminta pemerintah Indonesia sudah menyiapkan antisipasi kemungkinan Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) mengurangi stimulus atau tapering off. Hal tersebut disampaikan dalam Zoominari Kebijakan Publik

Tauhid menilai kebijakan moneter Amerika Serikat tersebut memang harus dilakukan, karena kalau tidak akan berdampak ke internal. Ia merasa pengaruh tapering off AS akan berdampak besar ke Indonesia.

"Ini kan soal momentum kapan, tentu saja ini pengaruhnya ke kita ke suku bunga, inflasi, pengangguran, dan lain-lain saya kira cukup besar," kata Tauhid saat webinar yang digelar Narasi Institute, Jumat (20/8).

Tauhid mengungkapkan risiko secara langsung dari adanya tapering off adalah nilai tukar rupiah ke dolar AS yang cenderung melemah. Selain itu, arus modal asing juga bakal terdampak.

"Pergerakan arus modal asing keluar masuk itu sulit terkontrol. Saya kira memang risiko ini sudah di depan mata, nyata," ujar Tauhid. Tauhid merasa peran Bank Indonesia (BI) dalam mengatasi kondisi tersebut sangat penting. Menurutnya, BI tidak bergantung dengan menaikkan suku bunga tetapi harus ada intervensi lainnya karena berkaitan dengan inflasi juga.

"Kekhawatiran kita nanti akhirnya pemerintah akan kesulitan karena dukungan BI melemah karena situasi ini otomatis dukungan ke APBN juga menjadi kurang. Situasi terburuk pasti akan terjadi efisiensi dan sebagainya," tutur Tauhid.

Tauhid Ahmad juga menyampaikan bahwa vaksinasi akan menentukan pertumbuhan ekonomi.

"Vaksinasi akan sangat menentukan pertumbuhan ekonomi. vaksin pertama lebih lambat dibanding vaksin yang kedua. Soal pandemi pandemi menjadi endemi menjadikan ketidakpastian di banyak sektor seperti pariwisata, hotel, restoran. Sebelum covid belum pernah terjadi ketidakpastian anggaran sampai 2025. Pada dasarnya pemerintah sangat tidak yakin dengan perumusan anggaran. Ketika penerimaan pajak tinggi, ekonomi pun bergerak dengan baik sehingga angka angka yang ada saat ini tidak kredibel. Implikasi dari struktur yang fleksibel. Kemampuan pemerintah saat ini menciptakan pendapatan negara  sangat diragukan ditengah kondisi pandemi dan resesi ini. Ditambah Reformasi perpajakan masih belum maksimal. Penerimaan Migas juga trendnya justru menurun. TKDD terhadap pusat trendnya pun menurun sehingga akan mengakibatkan dapat ditarik ke pusat lagi. Pembayaran Bunga hutang kita pun semakin tinggi pada RAPBN 2022. Ada peningkatan anggaran di pertahanan dan Polri mengalami peningkatan alokasi anggaran. Yang di khawatirkan jika dana perbankan yang mestinya kredit untuk masyarakat kemudian ditarik menutup defisit tersebut." Papar Tauhid

Tauhid Ahmad ingatkan bahwa Pengetatan kebijakan moneter di US akan berdampak juga ke kita ke suku bunga, inflasi, pengangguran. Resiko langsung ke nilai tukar rupiah akan melemah, arus masuk modal asing akan sulit dikontrol, BI mesti melakukan intervensi, kekhawatiran terbesar pembelian SBN di pasar sekunder menjadi problem. Situasi terburuk akan terjadi inefisiensi.

Perlunya Test PCR Gratis

Kedua Ekonom sepakat bahwa dengan menggratiskan PCR dengan alokasi anggaran negara, maka akan dapat mempercepat penanganan covid dan perbaikan ekonomi.


Testing PCR di India sangat murah sehingga berdampak pada penurunan Delta di India. Cadangan devisa BI saat jni cukup besar, sehingga tidak dengan menaikkan suku bunga. Masalah pembayaran utang yang jatuh tempo pada 2022 meningkat pembengkakan pembayaran hutang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun