Sabtu sejak pukul 19.10 sampai Ahad subuh terjadi kebakaran yang meluluhlantakkan Gedung Kejagung, Minggu sore esok harinya, Jaksa Agung, ST Burhanuddin menyatakan bahwa perangkat kejaksaan akan bekerja di Badan Diklat Kejagung di Ragunan Jakarta Selatan.
Direktur Kriminal Umum Polda Metro Jaya. Kombes Tubagus Ade Hidayat sebagaimana diberitakan media menyatakan bahwa kerusakan gedung cukup parah. Api dilaporkan berasal di lantai 6 kemudian menyebar sampai ke lantai dasar sehingga tidak ada satu lantai pun yang tidak terbakar.
Melihat foto-foto yang beredar di sosial media, Kondisi bangunan akibat kebakaran menjadi gosong (berwarna hitam), seluruh kaca ruangan pecah dan mesin AC di tiap lantai ikut terbakar. Seluruhnya lantai habis terbakar tidak ada yang tersisa selain kerangka beton bangunan.
Gedung tersebut terdiri dari 6 lantai dengan rincian lantai 2 adalah unsur pimpinan, yakni Jaksa Agung ST Burhanuddin dan Wakil Jaksa Agung Setia Untung Arimuladi. Lantai 3 dan lantai 4 adalah bidang intelijen. Lantai 5 dan lantai 6 itu urusan pembinaan.
Jaksa Agung mengatakan bahwa gedung yang terbakar tersebut adalah cagar budaya dimana usianya sudah mencapai 52 tahun. Gedung dibangun tahun 1961 dan diresmikan pada 1968. Gedung kejagung sudah tiga kali mengalami kebakaran yaitu pada tahun 1999, 2003 dan terakhir Sabtu lalu 22 Agustus 2020.
Untungnya saat kebakaran, 25 tahanan Kejaksaan Agung dapat dievakuasi sehingga dilaporkan tidak ada korban jiwa.
Status cagar budaya, menurut UU Cagar Budaya ditetapkan oleh Wali Kota berdasarkan rekomendasi tim ahli.
Melihat apa saja gedung cagar budaya di Kecamatan Kebayoran Baru melalui Website Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tidak tercantum nama Gedung Kejaksaan Agung.Â
Dalam website hanya terdapat tiga gedung saja yaitu Mesjid Agung Al Azhar, Museum Polri dan Rumah Brigjen DI Panjaitan. (terlampir Gambar: Tidak Ada Gedung Kejaksaan Agung sebagai Cagar Budaya di Kecamatan Kebayoran Baru berdasarkan website Kementerian Pendidikan & Kebudayaan).
Kinerja Jaksa Agung
Gedung Kejaksaan Agung menjadi rumah kerjanya Jaksa Agung. Keamanan dan keselamatan jaksa yang bekerja didalamnya adalah tanggung jawab Jaksa Agung. Jaksa Agung adalah pejabat political appointee dipilih oleh Presiden Jokowi yang dipercaya memastikan instansi kejaksaan bekerja sebagaimana mestinya.
Terbakarnya Gedung Kejagung telah mencoreng reputasi Jaksa Agung. Jaksa Agung kehilangan tempat bekerjanya dan harus pindah ke Ragunan Gedung Diklat. Tentu kinerja di tempat baru tidak dapat disamakan sebelumnya.
Jaksa Agung ST Burhanuddin membantah kalau ada sejumlah dokumen atau berkas kasus yang terbakar. Burhanuddin mengaku alat bukti dan barang bukti terkait perkara yang ditangani tidak disimpan di gedung utama namun berdasarkan keterangan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman diketahui bahwa CCTV Jaksa Pinangki Sirna Malasari yang sedang diinvestigasi bidang intelijen kejaksaan ikut terbakar.
CCTV yang merekam kegiatan Pinangki waktu pertemuan dengan pengacara Djoko Tjandra, Anita Kolopaking ikut musnah terbakar api katanya. Keterangan petinggi kejaksaan dan Menkopolhukam harus dianulir sepertinya karena seluruh lantai sudah terbakar habis dan ada bukti CCTV Jaksa Pinangki yang terbakar.
Langkah Presiden Seharusnya
Melihat besarnya, perhatian publik terhadap kasus Djoko Tjandra terutama setelah terbakarnya Gedung Kejagung seharusnya Presiden Joko Widodo langsung mengambil alih penegakan hukum kasus tersebut. Presiden perlu membentuk tim task force kasus Djoko Tjandra yang diisi oleh orang-orang yang memiliki reputasi tinggi dalam penegakan hukum.
Presiden perlu juga segera memerintahkan Kapolri untuk mengusut tuntas dugaan pembakaran gedung penegak hukum itu. Bila ada kaitannya dengan upaya penghilangan bukti kasus besar maka harus dibuka secara transparan.Â
Otak dari pelaku kejahatan tersebut  harus ditangkap dan diungkap agar menjadi jera dihadapan hukum. Presiden Jokowi harus pimpin langsung pemberantasan korupsi dan penyalahgunaan jabatan atau wewenang dalam kasus Djoko Tjandra tersebut.
Bila ternyata kebakaran terjadi karena kelalaian petugas maka Jaksa Agung harus dievaluasi karena gagal menjalankan protokol keselamatan dan kesehatan khususnya diwaktu seperti sekarang yaitu pandemi Covid-19.Â
Evaluasi menyeluruh terhadap penerapan protokol di seluruh kementerian/lembaga perlu juga dilakukan. Bisa jadi kasus kebakaran tersebut adalah fenomena gunung es dari lalainya birokrasi dalam menerapkan protokol keamanan dan kesehatan di kantor pemerintahan.
Jelas sekali bahwa seiring dengan terbakarnya gedung kejagung, reputasi para jaksa di Indonesia sangat merosot. Ketidakmampuan menjaga gedungnya sendiri akan dipersepsikan ketidakmampuan para jaksa menjalankan tugas-tugas yang diembannya. Apalagi kasus jaksa pinangki yang membuktikan oknum petinggi jaksa sudah bermain mata dengan pelaku kejahatan. Sungguh tragis penegakan hukum di Indonesia.
Adalah tugas kepala pemerintahan untuk memastikan bahwa perangkat penegak hukumnya seperti Jaksa Agung  bekerja dengan baik. Bila jaksa agung lalai maka sudah saatnya dievaluasi dan digantikan tanpa menunggu reputasi kejaksaan semakin hancur.
Saatnya pak Presiden bertindak tegas untuk memastikan di masa pandemi Covid19 ini, tidak boleh ada pejabat yang lalai akan tugas-tugas yang diembannya. Tindakan tersebut perlu dilakukan agar para Menteri dan Birokrasi tidak main-main lagi menjalankan protokol keamanan dan kesehatan minimal di lingkungan tempat pejabat tersebut bekerja.
Jangan ada lagi gedung pemerintahan terbakar di masa penerapan PSBB Covid19 ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H