Kalau semua mengaku jujur, bagaimana kita tahu siapa yang bohong?
Karena kurang kerjaan, minggu lalu saya melakukan observasi kecil-kecilan. Mengamati penjual buah di sepanjang jalan perintis kemerdekaan. Tidak hanya menjual buah yang sama dan sama-sama menggunakan mobil pick up, para penjual buah juga memasang papan iklan yang sama. Meski papan itu sebenarnya adalah pemberitahuan tapi saya menyebutnya papan iklan.
Papan iklan ditempatkan tak jauh dari dagangannya dan menghadap ke pengguna jalan. Papan iklan itu bertuliskan "Timbangan Jujur". Konon asal mula papan iklan itu berawal dari adanya temuan dari masyarakat bahwa beberapa pedagang terbukti menggunakan timbangan yang tidak jujur. Saat ditimbang oleh penjual naik 1 kg, pas sampai di rumah ternyata tinggal 800 g.
Kemudian muncul sebuah inisiatif dari seorang pedagang yang mengaku jujur untuk membuat papan iklan. Pedagang itu mengiklankan sebuah kejujuran dan berharap kejujuran akan berbuah manis. Dan terbukti benar. Berkat iklan itu, dagangannya diserbu pembeli. Keuntungan mulai berdatangan bersama dengan kecemburuan. Pedagang lain yang tidak kebagian pembeli cemburu dan mencuri trik dari pedagang pertama. Para pedagang ini memasang iklan serupa dengan tata letak serta tullisan yang sama pula. Kalau semua mengaku jujur, bagaimana kita tahu siapa yang bohong?
Bicara mengenai timbangan, kita tidak bisa lepas dari timbangan yang satu ini. Seperti timbangan pedangang buah yang pernah kedapatan tidak jujur, timbangan ini cukup sering kedapatan curangnya juga. Bedanya, timbangan buah sering menunjukkan hasil yang lebih berat dari timbangan normal sedangkan timbangan ini sering lebih ringan. Sebut saja ini timbangan pedagang kakao, gabah, dan jagung.
timbangan ini lebih kejam dibanding timbangan pura-pura jujur tadi. Pasalnya timbangan ini dipakai untuk mengukur berat kakao, beras, dan jagung petani. Petani yang menghabiskan banyak waktu, keringat, dan pupuk tertipu dengan timbangan ini. Â Alasannya sederhana. Timbangan ini menawarkan harga beli per kilogram yang lebih tinggi. Petani tentu tergiur untuk menjual berasnya pada pedagang yang menawarkan harga 200 rupiah lebih tinggi dari pedagang lain. Meski pedagang ini menggunakan timbangan curang.
Pedagang curang VS Pedagang jujur
Pedagang curang selalu memenangi kompetisi. Mereka selalu menang di harga. Meski hasil timbangan selalu lebih ringan dibanding pedagang jujur, harga yang lebih tinggi menjadi insentif bagi petani. Seperti kata ekonom nyeleneh Steven D Levit, manusia selalu bergerak berdasarkan insentif yang didapat.
Sementara itu pedagang jujur tidak menawarkan insentif apapun selain timbangan jujurnya. Tidak banyak petani yang mau sukarela menguji timbangan dari para pedagang ini. Akhirnya kejujurannya  dari pedagang jujur tidak diketahui dan  kebohongan pedagang tidak jujur tidak diketahui pula. Pada akhirnya pedagang jujur akan  bangkrut dan mencari usaha lain atau mereka mulai beradaptasi.
Betulkah kebohongan akan terungkap dengan sendirinya?. Ya kadang kebohongan itu terungkap. Pedagang tidak jujur cukup sering ketahuan. Tapi itu tidak mengurangi pedagang yang tidak jujur. Kebohongan terkadang tidak tersebar luas dan tidak lama diingat. Begitupun dengan kejujuran. Kadang terekspos tapi tidak tersebar luas dan cepat dilupakan.
 Terakhir, siapa yang memulai kecurangan? Bukankah saat semua orang bersikap kooperatif akan menguntungkan semua pihak. Apakah pedagang tidak jujur terpaksa melakukan ketidakjujurannya demi bertahan  dari sistem yang penuh persaingan?. Atau apakah pedagang jujur  akan selalu tersingkir dari persaingan hingga membuat pedagang tidak jujur mendominasi pasar?. Ataukah  profesi pedagang tidak cocok bagi orang yang jujur dan pemberani?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H