Mohon tunggu...
Hidayat Harsudi
Hidayat Harsudi Mohon Tunggu... Akuntan - The Accountant

Tinggal di Kota Makassar - Auditor, Pemain Musik, dan Penikmat Film

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sandiwara di Ruang Kelas

21 April 2018   22:39 Diperbarui: 21 April 2018   23:32 634
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suatu ketika saat mengajar di satu kelas XI tingkat SMA. Kelas berjalan seperti biasanya. Ada siswa--siswi sibuk mendengar materi sembari mencatat, ada siswa dan  siswi yang hanya pura-pura mendengar, dan ada pula kelompok siswa yang sibuk bercerita dengan sesamanya.

Suasana kelas seperti ini sangat sering ditemui. Kondisi di ruang kelas yang terdiri  dari  40 siswa yang tak semuanya punya motivasi mengikuti pelajaran

Tiba-tiba salah seorang siswa yang  sibuk bercerita tadi meminta tugas. Dari yang tadinya ia sibuk  bercerita  dengan temannya tanpa memerhatikan kelas berubah meminta sebuah tugas.

Akhirnya mereka akan berkontrinbusi aktif di kelas, pikir saya waktu itu. Setelah selesai menjelaskan materi, saya kemudian membagikan tugas individu kepada mereka untuk dikerjakan di kelas.

Namun,apa yang  saya pikir ternyata tidak terjadi. Siswa yang tadinya meminta tugas hanya duduk bengong sembari melanjutkan ceritanya bersama teman-temannya. Tugas yang diberikan tidak digubris sedikitpun. Berharap siswa akan bertanya tentang tugas yang diberikan hanyalah keinginan yang tidak akan terwujud saat saya hanya berdiam diri.

Saya hampiri mereka dan kutanya "mengapa tidak mengerjakan tugas?". Alkhirnya mereka menjawab "saya tidak tahu pak".

Saya ulangi lagi penjelasan tentang tugas yang akan mereka kerjakan hingga akhirnya mereka mengangguk pertanda sudah mengerti. Tapi anggukan mereka ternyata palsu. Mereka tak benar-benar mengerti akan tugas yang diberikan, terlebih jawaban dari tugas tersebut.

Kelompok siswa ini hanya menunggu teman mereka yang lain selesai mengerjakan dan menyalinnya. Menyalin agar dapat menyelesaikan tugas dan mendapatkan nilai dari tugasnya itu. Inilah hal yang paling mengganggu dari memberikan sebuah tugas kepada siswa.

Tugas dipandang siswa sebagai instrument untuk mendapat nilai yang baik dengan cara yang mudah. Mereka akan mengerjakan tugas dengan menyontek dari temannya. Setidaknya itulah kontribusi aktif mereka selama belajar. Seorang guru di sekolah itu berkata.

"Siswa-siswi hanya main-main saat saya menjelaskan tapi berubah saat saya memberi mereka tugas". Jadi kesimpulan dari guru tadi adalah memberikan tugas kepada mereka adalah langkah terbaik untuk membuat siswa terlibat aktif.

Para pelajar ini hanya peduli pada nilai yang akan mereka dapatkan dari mengerjakan sebuah tugas. Mereka tak benar-benar peduli kalau mereka sebenarnya tidak paham tugas itu. Terbukti saat mereka menanyakan nilai yang didapat apakah sudah mencapai nilai kriteria ketuntasan minimal atau belum.

Mereka tidak sedikitpun bertanya tentang soal yang tidak bisa ia kerjakan atau jawaban dari soal-soal tersebut. Bagi kelompok siswa ini yang paling penting adalah mendapat nilai kemudian lulus. Pemahaman terhadap materi tidak penting bagi mereka.

Inilah akibat dari sistem pendidikan yang hanya menghargai kemampuan siswa berdasar pada nilai yang mereka dapatkan. Perolehan dari nilai tersebut dikesampingkan. Nilai yang tinggi sangat dijunjung oleh orang tua. Siswa yang mendapat nilai rendah akan dicap bodoh dan siswa yang mendapat nilai tinggi akan dipuja.

Setidaknya itulah model pendidikan di sekolah dasar dimana siswa dituntut untuk mendapat nilai yang tinggi tanpa memerhatikan kemampuan siswa tersebut. Siswa yang tertinggal pada satu materi pelajaran dicap bodoh hingga mereka stress dan memutuskan menyontek kepada temannya agar orang tuanya senang.

Apa yang mereka pelajari waktu sekolah dasar tentang bagaimana cara menyenangkan orang tua dengan mendapat nilai yang tinggi meskipun harus menyontek diteruskan sampai SMA. Kebiasaan yang terus diulang-ulang hingga mereka lupa pentingnya pemahaman materi pelajaran ketimbang nilai yang didapat.

Sudah saatnya kita berbenah, agar sekolah tidak lagi menjadi panggung tempat siswa bersandiwara. Memulai dengan menghargai apapun hasil dari anak kita sembari terus memberi mereka semangat. Memberikan penghargaan saat mereka berhasil mencapai targetnya sendiri tanpa melakukan tindakan kecurangan.

Terakhir, memberi mereka pemahaman bahwa nilai hanya sebuah angka yang tidak mampu menggambarkan kemampuan kita yang sebenarnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun