Mohon tunggu...
Hidayat Harsudi
Hidayat Harsudi Mohon Tunggu... Akuntan - The Accountant

Tinggal di Kota Makassar - Auditor, Pemain Musik, dan Penikmat Film

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Zonasi, Kesetaraan, dan Hilangnya Kompetisi

12 Juli 2017   14:37 Diperbarui: 12 Juli 2017   14:48 1088
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina, sebuah peribahasa yang saya maknai dengan sangat tekstual. Cina adalah sebuah negeri yang sangat jauh dari Indonesia jika harus ditempuh dengan gojek, motor pribadi, bahkan angkutan umum apalagi harus bolak-balik tiap hari. Tak terhitung biaya transportasi yang harus dikeluarkan. Begitulah sistem zonasi dalam penerimaan siswa baru tahun ajaran 2017/2018. Biaya transportasi bisa dikurangi karena sekolah tak lagi jauh dari rumah.

Faktor domisili siswa akan menjadi pertimbangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan prestasinya. Meskipun masih terdapat kuota 5% untuk siswa yang berprestasi, nampaknya hanya sebagian kecil saja siswa yang bisa bersekolah di sekolah favorit. Sekolah favorit?. Salah satu alasan kemendikbud memberlakukan sistem zonasi karena tidak menghendaki lagi adanya sekolah favorit, semuanya sudah setara. sekolah favorit hanya akan menghiasi album pendidikan kita dan disimpan sebagai kenangan yang akan kita buka lagi untuk sekedar bernostalgia.

Penerimaan siswa baru dengan sistem zonasi membuat saya teringat  Afi yang hari ini marak diberitakan melakukan plagiat dan dibully oleh hatersnya. Tulisannya berjudul warisan yang sangat apik ditengah maraknya intoleransi. Saya jadi ingin mengaitkan warisan dengan sistem zonasi. Tak ada seorang anak yang dapat memilih dimana dia dilahirkan. Setelah dilahirkan, agama, status sosial, status ekonomi, bahkan lingkungan langsung melekat. mereka tak bisa memilih lingkungan tempatnya dilahirkan bahkan memilih sekolah yang diinginkan. semua itu adalah warisan.

Zonasi membuat kesetaraan. Tak ada lagi sekolah favorit dan sekolah tidak favorit. Kompetisi masuk sekolah favorit telah tiada dengan adanya intervensi dari pemerintah untuk menentukan dimana sekolah yang terbaik buat kita. Hak kita untuk bersekolah dimana saja kini tiada dan terganti menjadi kewajiban untuk bersekolah di tempat yang telah ditentukan. Sekolah telah menjadi sebuah warisan. Tempat dimana kita lahir tak bisa kita tentukan sendiri begitu pula dengan tempat kita disekolahkan.

Dulu sekolah kurang favorit selalu cemburu dengan sekolah favorit saat penerimaan siswa baru. Pendaftar pada sekolah favorit selalu membludak yang berbanding terbalik. Sekolah favorit terus berkembang dan maju dan meninggalkan sekolah kurang favorit dan menciptakan ketimpangan. sekolah favorit mengatakan keterbelakangan sekolah kurang favorit terjadi akibat kurangnya keterbukaan dan kemauan untuk bekerjasama. Sementara sekolah kurang favorit mengatakan keterbelakangan mereka terjadi akibat monopoli sekolah favorit dalam segala hal. tapi perdebatan mereka harus berakhir. Hari ini pemerintah telah memutuskan tak ada lagi sekolah favorit, tak ada lagi kasta dalam sekolah-sekolah. Sebuah kemenangan sosialisme dan keruntuhan kapitalisme di era informasi.

Nampaknya, pepatah tuntutlah ilmu sampai di negeri Cina yang menjadi petuah favorit guru di sekolah dasar hari ini harus diganti. Karena jangankan sampai negeri Cina yang harus menyeberangi lautan dan melintasi banya negara, bersekolah di kecamatan yang berbeda dengan tempat domisili saja tidak disarankan. Pepatah yang nampaknya cocok dipakai guru-guru sekarang untuk terus memotivasi siswa mereka terus belajar adalah "semua orang adalah guru dan semua tempat adalah sekolah".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun