Desa Ngadas adalah sebuah desa adat yang terletak di wilayah Poncokusumo, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Desa Ngadas adalah salah satu dari 44 desa suku Tengger yang tersebar di empat kabupaten/kota yang terletak di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Desa yang berada di ketinggian 2175 mdpl ini memiliki mayoritas penduduk beragama Buddha hingga mencapai 50 persen.Â
Desa dengan mayoritas penduduk petani ini kaya akan keberagaman. Dari 576 kepala keluarga dengan total 1.736 jiwa, ada tiga pemelul agama/keyakinan lain selain Buddha, yakni pemeluk agama Islam sebanyak 40 persen, Hindu 10 persen, dan satu keluarga kristen. Dengan adanya keberagaman agama di desa Ngadas, desa Ngadas memfasilitasi warganya dengan tiga jenis rumah ibadah untuk melaksanakan kegiatan keagamannya, yaitu vihara, masjid, dan pura.
Meski begitu, dapat dikatakan desa Ngadas adalah desa murni yang belum tersentuh gaya hidup modern. Sebagai desa adat, tentu kegiatan-kegiatan warga di desa Ngadas tidak lepas dari peraturan-peraturat adat. Keindahan alam di desa Ngadas ditambah masyarakat adat yang hidup berdampingan dengan tenang menjadi ciri khas dan keunikan tersendiri bagi desa Ngadas. Inilah alasan mengapa desa Ngadas tidak boleh lewat dari wishlist kediaman masa tua kamu.
Cara berpakaian masyarakat di desa Ngadas masih diikat oleh adat. Umumnya warga desa Ngadas menggunakan udeng atau ikat kepala, sarung, dan pakaian hitam. Namun, pakaian masyarakat desa Ngadas bukan tidak memiliki arti, loh. Misalnya udeng atau ikat kepala hanya dipakai saat rapat atau upacara adat. Tata cara penggunaan udeng dengan diikat pun memiliki filosofi tersendiri. Masyarakat Ngadas tidak lengkap rasanya jika tidak memakai sarung. Disamping fungsinya untuk memberikan kehangatan, sarung juga diyakini sebagai kendali masyarakat supaya tidak nyasar dan ndulurung atau tahu mana yang baik dan buruk. Tidak hanya itu, penggunaan sarung bagi perempuan juga berbeda antara perempuan yang sudah dan belum menikah. Jika ujung sarung berada bahu, maka pemakainya berarti belum menikah, sedangkan jika ujung sarung berada tengah menandakan perempuan yang sudah menikah.
Selain pakaian, desa Ngadas juga kaya akan upacara-upacara adat. Di antaranga ada upacara Karo yang dilaksanakan setiap tanggal 1 dengan menyapu atau membersihkan desa, upacara Perbekan atau upacara sedekah bumi, upacara Pujan atau Pujian yang dilakukan 4 kali dalam setahun di rumah dukun Ngadas, upacara Unan-unan yang diadakan 5 tahun sekali, upcara Barian yang dilakukan setelah adanya gempa dan gerhana, dan lain-lain. Selain itu, ada pula acara yang dilakukan per orang, seperti Potong Kucuk untuk anak perempuan, Potong Kobak untuk anak laki-laki, dan Walagara atau pernikahan adat.Â
Desa Ngadas juga sangat menjaga dan melindungi masyarakat usia anak dan remajanya dari pergaulan bebas. Karena itu desa Ngadas melestarikan budaya Patean yang dilakukan pada remaja putri dan janda selama 3 bulan sekali. Jika ditemukan remaja putri dan janda yang hamil di luar nikah, maka akan dilakukan Walagara sepuluh hari setelah diketahui adanya kehamilan. Walagara penting dilakukan karena kehamilan di luar nikah, biasanya, memberikan dampak seperti wabah kepada warg Ngadas. Hal ini ditandai dengan bunyi kokok ayam di waktu yang tidak seharusnya atau masuknya hewan buas ke dalam desa.
Aturan adat dalam desa Ngadas bukanlah sesuatu yang buruk dan mengekang. Justru, adat akan menjadi kendali kehidupan masyarakat Ngadas untuk hidup berdampingan dengan tenang dan tentram. Dengan lingkungan alami yang belum tercemar, pemandangan Bromo Tengger Semeru yang memukau, dan masyarakat adat, tidak salah jika desa Ngadas akan jadi kediaman masa tua yang menyenangkan.
Desa Ngadas, Mei 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H