"Kehidupan setelah pukul lima sore itu penting, Ra," kata ibu kepada Sora setiap kali dia pulang dengan wajah tertekuk.Â
 Setiap kali diberi wejangan begitu, Sora akan menyahut, "seberapa penting sih, Bu? Dari skala satu sampai sepuluh, seberapa pentingnya kehidupan setelah pukul lima sore?"
 "Delapan koma lima," jawab ibunya mantap.
 Biasanya Sora akan memutar bola mata jengah sebelum melanjutkan langkah-langkah beratnya menuju kamar. Mengabaikan perkataan ibu yang memintanya segera mandi---ada Tuhan yang harus mereka temui di pertemuan antara petang dan malam---Sora akan berdiam diri di kamarnya sambil terus memandangi langit-langit kamarnya yang abu.
 Sora terlalu tua untuk pura-pura tidak mengerti bahwa ibu tengah memintanya segera menemukan pria baik hati yang akan jadi "kehidupan setelah pukul lima sore"nya.
 Hanya saja, Sora selalu berkaca dari kedua orang tuanya. Ibu yang super baik sudah lama kehilangan kehidupan setelah pukul lima sorenya. Seorang wanita yang datang entah dari mana telah merebut keidupan setelah pukul lima sore milik ibu. Kabar buruknya, yang kehilangan bukan hanya ibu. Sora juga. Bedanya, kehidupan setelah pukul lima sore milik ibu dipanggil Sora dengan sebutan ayah.Â
 Belakangan keadaan telah berubah. Ibu dengan senyum tuanya yang hangat tidak lagi menyambut Sora pulang. Rumah beraroma vanili---ibu suka sekali membuat kue---yang mereka tinggali berdua kosong. Terseok-seok sambil menahan air matanya, Sora akan meninggalkan rumah mereka yang beraroma vanili menuju rumah sementara ibu, rumah sakit.
 Di rumah sakit, semakin hari Sora melihat raut wajah ibu semakin lelah dan tua. Namun, ibu masih tetap sama. Masih suka sekali mengingatkannya tentang betapa pentingnya kehidupan setelah pukul lima sore. Alhasil Sora tidak lagi bertanya seberapa penting kehidupan yang diiming-imingi ibu itu. Sora hanya akan berkata, "Ibu sudah cukup jadi kehidupan setelah pukul lima sorenya aku."
 "Ibu nggak cukup kuat buat jadi kehidupan kamu, Ra," kata ibu setiap Sora hampir merengek.Â
 "Aku juga nggak kuat kalau disuruh nyari kehidupan yang lain, Bu," tolak Sora suatu hari. "Ibu tahu seberapa bergantungnya aku sama Ibu. Aku nggak bisa nyari kehidupan lain, entah itu kehidupan setelah pukul lima sore atau kapanpun."
 Hari itu ibu mengusap-usap kepalanya yang ditumbuhi rambut sebahu. "Ibu nggak pernah loh, mengajari kamu jadi pembohong."
 "Pembohong apanya? Ibu nggak percaya aku sesayang itu sama Ibu? Walau kadang nggak nurut omongan Ibu, aku lebih sayang Ibu daripada diriku sendiri, tau!"
 "Kamu menjadikan Ibu sebagai alasan, padahal kamu hanya takut melihat kehidupan lain di luar kehidupan yang kamu tahu."
 Kalau sudah begitu, Sora hanya akan menjatuhkan kepalanya ke tempat tidur ibu yang tidak lebih empuk dari tempat tidur ibu di rumah. Matanya memerah, tetapi Sora tidak akan menangis. Katanya, "air mata tidak cocok untuk rasa kesal."Â
 Sepanjang ingatannya, Sora hanya punya ibu. Sora tidak ingat rupa ayah. Menyebalkan jika ibu mengatakan kalau Sora hanya berkilah. Padahal meski bukan anak baik dan penurut, Sora sungguh-sungguh saat mengatakan kehidupan yang dia tahu hanya kehidupan tentang ibu. Toh, buat apa juga Sora melihat kehidupan lain saat dunia seperti layar lebar yang saban hari menunjukkan realitanya?
 Sora tentu pernah jatuh cinta. Sora tentu pernah disuguhi kehidupan lain di luar kehidupan tentang ibu. Sora pernah merasakan manisnya melihat pria yang dia cintai berjalan di kejauhan. Sora juga pernah merasa jantungnya berdebar-debar hebat tiap kali pria yang dia cintai mengajaknya bicara. Hanya saja, memori rasa yang menyenangkan itu mati terbunuh beragam kenyataan bahwa Sora tidak dicintai. Sora yang malang, yang tidak pernah mengingat rupa ayah, tidak layak mendapatkan cinta lain.
 Barangkali itu kali terakhir Sora jatuh cinta. Juga menjadi kemarahan terakhirnya, sebab setelah itu Sora bersumpah untuk tidak menyambut kedatangan cinta siapapun dan merelakan hatinya jatuh kepada siapapun---Sora tidak berencana berhenti.
 Ibu sungguh salah kalau mengira Sora takut. Sora tidak takut. Sora hanya tidak ingin menjadi gadis naif yang mau-mau saja dibutakan perasaan lalu berakhir menangisi nasib.Â
 Meski kesal tiap kali ibu mengingatkannya bahwa ibu tidak sanggup untuk menjadi kehidupannya terus-menerus, Sora tidak berhenti mendatangi ibu ke rumah sakit. Dengan telaten---dengan badan bau keringat sehabis berdesak-desakan di bus pukul lima---Sora akan menyuapi ibu dengan semangkok bubur, mengelap tubuh tuanya dengan kain basah, lalu membaringkan kepala di sebelahnya.Â
 Pernah suatu sore, Sora berkata, "lihat! Ibu masih jadi kehidupan setelah pukul lima sore aku."
 Namun, ibu tidak menggubris perkataannya. Ibu malah bertanya hal menyebalkan apa lagi yang diminta atasannya hari itu, seberapa parah lecet di kakinya akibat sepatu berhak tinggi yang dia kenakan, dan mengapa Sora tidak pernah terlihat pergi bersama teman kerjanya akhir-akhir itu.Â
 Sora enggan menjawab. Bukankah dia sudah bilang bahwa semakin hari dunia sudah seperti layar lebar yang menunjukkan realitanya? Namun, pertanyaan-pertanyaan ibu menyadarkan Sora akan sesuatu; semua orang pergi dan keadaan terus-menerus berubah. Sedangkan Sora masih kesulitan dalam banyak hal. Sora tertegun lama di situ.Â
 Sora sudah bekerja selama enam tahun di satu perusahaan, atasannya sudah berganti dua kali, rekan kerja yang dulu selalu bersamanya kini berjarak dengannya setelah naik jabatan, kepala divisi di perusahaan selalu menagih pekerjaannya bahkan di luar jam kerja, dalam satu bulan bisa dihitung berapa kali Sora kebagian tempat duduk di bus, bahkan Sora terlalu lelah untuk sekadar keluar rumah untuk menghabiskan gajinya.
 Hidupnya begitu-begitu saja. Dan, ibu satu-satunya kehidupan yang serupa udara segar yang Sora miliki.Â
 "Menikah ya, Ra?" pinta ibu lebih pelan, lebih penuh kasih, lebih seperti memohon.Â
 Sora hanya memandangi wajah ibu yang pucat. Hari itu, Sora tak menahan air matanya lagi. Seperti anak kecil yang takut ditinggal ibunya di hari pertama masuk Taman Kanak-Kanak, bibir Sora tercebik dan air tangisnya menderu.
"Kalau Ibu sudah nggak ada, kota ini akan terlalu besar untuk kamu tinggali seorang diri," kata ibu lagi. Tangis Sora pecah dan bersahut-sahut. "Kamu harus punya seseorang yang ngasi plester luka sepulang kerja, seseorang yang bisa kamu ajak belanja di awal bulan, seseorang yang bisa kamu ajak liburan, seseorang yang ngambilin kamu handuk kalau kamu kelupaan, seseorang yang bisa kamu ajak cerita tentang atasanmu yang nyebelin atau menu makan siang di kafetaria kantor yang nggak pernah sesuai dengan selera kamu, dan seseorang yang bisa kamu ajak ziarah ke makam Ibu. Ibu yakin seseorang seperti itu ada, Ra."
"Tapi Sora takut, Bu," rengek Sora. "Sora takut nggak layak punya itu semua. Sora juga nggak yakin ada seseorang seperti itu."
"Itu karena keyakinan yang kamu pegang hanya sebatas keyakinan yang kamu lihat, Ra," kata ibu lembut sembari menghapus bekas air mata di wajah sembab Sora.Â
Kata ibu hari itu, Sora terlalu kerdil untuk meyakini sesuatu yang hanya bisa dia lihat, yang hanya sebatas jangkauan pandangannya. Sedangkan dunia terlalu besar. Sora tidak mungkin sanggup untuk menahannya seorang diri. Karena itu, Sora butuh kehidupan setelah pukul lima sore. Sora butuh seseorang yang bisa menggantikan Ibu memberi plester luka kepadanya sepulang kerja, menemaninya belanja di awal bulan, liburan bersamanya, mengambilkannya handuk saat Sora buru-buru ke kamar mandi, dan mendengarkannya bercerita tentang atasan yang menyebalkan atau menu makan siang di kafetaria kantor yang jarang sekali sesuai dengan selera---barangkali Sora bisa belajar memasak atau mereka bisa menikmati makan malam di luar.
Seseorang seperti itu tidak ada---manusia selalu lebih banyak kurangnya. Mau Sora mencarinya sampai ke ujung dunia, kemungkinan Sora menemukannya itu kecil sekali. Mungkin di bawah minus. Karena itu, kata ibu, Sora butuh Tuhan.Â
"Untuk hidup di dunia, kita butuh Tuhan, Ra. Bukan sekadar punya Tuhan," lanjut ibu.Â
Sejak kecil Sora punya Tuhan---ibu senang sekali mengenalkannya pada TuhanYang Esa yang menggerakkan alam semesta. Namun, sepertinya mereka---Sora dan Tuhan Yang Esa---tidak pernah benar-benar berkomunikasi dengan baik karena Sora menyerahkan hidupnya sepenuhnya pada ibu sebagai kehidupan yang memberinya udara segar---Sora lupa ibu punya Tuhan yang sewaktu-waktu bisa mengambilnya.
 "Hidup kamu ini, Ra, ada yang punya. Jadi serahkan saja ke Yang Punya-nya. Kalau kamu percaya dan berharap dengan baik, Dia akan ngasi yang baik-baik. Dan, kalau kamu sudah percaya dan berharap dengan baik, kamu nggak akan takut pada hal apapun lagi, entah itu kehilangan ibu atau menemukan kehidupan setelah pukul lima sore yang lain," pesan ibu mengakhiri percakapan mereka.
 Itu hari terakhir Sora berbincang cukup lama dengan ibu. Lama sekali. Sampai matahari tidak lagi terlihat. Sampai ibu tidak lagi membuka mata. Maka jadilah hari itu sebagai hari pertama Sora berkomunikasi dengan Tuhan sebagai hamba yang butuh, bukan sekadar hamba yang punya.Â
 ***
 "Dulu ibu tidak percaya cinta. Tapi kata ibu, ayah ini kehidupan ibu setelah pukul lima sore."
 Pria yang berjalan di sebelahnya tertawa. Bocah lelaki usia tiga dalam gendongan pria itu ikut-ikut tertawa. Sora mendelik, tetapi berakhir tersenyum. Pintu rumah dibuka. Namun, Sora tidak buru-buru beranjak menuju kamarnya meski tubuhnya lelah dan bau keringat. Karena meski tidak beroma vanili, rumahnya mengeluarkan udara segar yang lain dari kehidupan setelah pukul lima sore yang dia temukan lima tahun lalu dari sebelah rumahnya.
 Suatu pagi lima tahun yang lalu, seseorang mengetuk pintu rumahnya. Sora memang baru selesai bercakap-cakap dengan Tuhan pagi itu, tetapi Sora tidak meminta apapun. Sora hanya percaya hidupnya berada dalam kendali Tuhan Yang Esa, maka apapun yang datang kepadanya Sora akan berani membukakan pintu.
 Maka, Sora membuka pintu. "Cari siapa?" tanyanya.
 Seorang pria penuh senyum mengulurkan kue beraroma vanili ke hadapannya. "Saya Pra. Saya baru pindah ke sebelah rumah kamu."
 ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H