Mohon tunggu...
Hida Al Maida
Hida Al Maida Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Sumatera Utara

Seorang introvert yang menyukai seni, puisi, langit, bintang, hujan, laut, bau buku, dan menulis. Punya kebiasaan aneh berbicara dengan diri sendiri, dan mencoret-coret setiap halaman paling belakang buku pelajarannya karena merasa isi kepalanya terlalu meriah, riuh, dan berisik untuk didiamkan begitu saja. Gemar menulis novel, puisi, serta tertarik tentang banyak hal berkaitan dengan hukum, perempuan, dan pendidikan. Baginya, setiap hal di muka bumi ini adalah keindahan dan makna yang perlu diselami sampai jauh, sampai kita menemukan sesuatu bernama hidup.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: "Bertaut"

20 Oktober 2022   20:49 Diperbarui: 20 Oktober 2022   21:00 1559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            Akhir-akhir ini, Jingga selalu mengatakan kalimat menyakitkan bernada kasar itu padaku. Raut wajahnya senantiasa stres acap kali kuingatkan soal makan, tempat tidur, apa yang mesti dan apa yang tidak boleh dilakukannya. Prama menilaiku mengekang. Namun sejatinya, aku hanya tak ingin Jingga terluka di dunia yang tak selamanya seindah bunga-bunga.

            Sakit, tentu saja! Ibu mana yang tak sakit jika anaknya menolak kemurahan hatinya?

            Sering sekali setelah Jingga mengatakan kata-kata semacam itu, aku menangis diam-diam. Jingga-ku berubah dan itu menyakitiku. Sangat melukaiku perasaanku. Namun, tetap kubuatkan bekalnya untuk makan siang, hingga sarapan esok pagi. Aku juga menyiapkan termos untuk air hangatnya, juga pil maag yang sering dilupakannya. Sebanyak Jingga 'dewasa' sering melukai perasaanku, sebanyak itu pula kasih sayangku tumbuh untuknya.

            "Ibu ikut antar kamu," kataku menjawab pertanyaan Jingga pagi itu. "Tapi cuma sampai stasiun. Ayah yang akan antar kamu ke indekos baru kamu, sesuai keinginan kamu."

            Jingga, seperti kebiasaannya akhir-akhir ini, menyela cepat. "Kosannya kecil, Bu. Aku bawa barang banyak begini, pasti sumpek nanti di sana. Toh, Ibu sama Ayah bisa berkunjung lain kali," katanya sambil lalu, usai mengambil dua susu kotak yang kuyakin akan dihabiskannya bahkan sebelum sampai di stasiun.

            Entah dari mana datangnya Jingga yang kasar, penuh emosi, dan keras kepala ini.

            Pagi itu, kujalankan peranku layaknya sebagai Ibu yang seharusnya. Menyiapkan bekal Jingga, mengingatkannya untuk membawa charger ponselnya, memastikan sepatu putihnya jauh dari debu, atau hanya diam-diam memasukkan sendok ke dalam tasnya---ujung-ujung jarinya kerap lecet dan kering karena kebiasaan mengetik sepanjang hari---adalah panggilan dari dalam diriku yang tidak bisa kutolak. Yang apabila kuabaikan, aku bisa memikirkannya seminggu penuh tanpa henti.

            "Aku pergi, Bu!" seru Jingga saat di stasiun, cenderung cepat dan terburu-buru.

            Lihat! Betapa asing dan berbedanya Jingga. Gadis lain yang kulihat akan mencium Ibu mereka, memeluknya lama, dan menyampaikan pesan-pesan panjang yang menghangatkan hati orang tua manapun di dunia. Namun, pamitan versi Jingga tak pernah lebih dari sekadar mencium punggung tanganku, dan mengatakan kalimat sesederhana "aku pergi, Bu!"

            Selepas keretanya menjauh, aku bersegera pulang. Tak ada yang lebih kubutuhkan dari ruang privasi tempatku untuk berdoa, dan menangis sejadi-jadinya. Sedikitpun tak pergi gusar dari hatiku. Tak lepas basah dari mataku. Andai saja Jingga lebih murah hati dan lembut selayaknya dulu, barangkali aku pun tak akan seterluka ini.

            Tangisku dipaksa reda oleh dering telepon yang meraung-raung di meja makan. Nama Jingga tertera di sana. Cemas, tentu saja. Keretanya belum berjalan seperempat perjalanan, tetapi Jingga sudah menelepon. Tidak seperti biasa. Sayangnya, Jingga hanya mengatakan sebaris kata sederhana sebelum pamit padaku untuk mengakhiri sambungan telepon.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun