Mohon tunggu...
Siti Nur Hidayah
Siti Nur Hidayah Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA

Saya Siti Nur Hidayah mahasiswa SI Sastra Indonesia di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Canduku pada Cerpen Tunggu Aku di Pojok Jalan Itu: Iwan Simatupang

21 Juni 2022   23:42 Diperbarui: 21 Juni 2022   23:47 1051
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika sebuah cerpen telah di terbitkan. Maka, cerpen tersebut telah jadi (siap) dan sudah dicermati secara berulang-ulang demi keutuhan dan tiada kesalahan dalam penulisannya. Seperti pada cerpen karya Iwan Simatupang yang berjudul "Tunggu Aku Dipojok Jalan Itu" yang diterbitkan pada tahun 2021 singkatnya tahun kemarin. Cerpen yang di tulis oleh Iwan Simatupang ini sangat menjiwai, hingga pembaca membayangkan bagaimana gambaran dari cerita yang ada dalam cerpen tersebut. Jika dibayangkan, cerpen tersebut seperti abstrak karena pojok jalan yang dimaksudkan bukanlah pojok jalan penyebrangan, tetapi pojok-pojok kota yang menjadi tempat untuk menunggu suaminya pulang. 

Singkat cerita, cerpen ini menggambarkan tentang kisah seorang laki-laki yang menghilang dari tanggup jawab sebagai seorang kepala rumah tangga.  Sebelum menghilang ia berkata kepada istrinya "tunggu aku dipojok jalan itu" kata suaminya. Karena suaminya ingin membeli rokok di warung ujung jalan sana.  Namun, sampai bertahun-tahun suaminya tak kunjung kembali. Hingga 19 tahun lamanya ia akhirnya kembali dan melihat bahwa istrinya masih sama menunggunya dipojok jalan itu. Akan tetapi, 10 tahun lamanya ia pergi, istrinya berubah menjadi seorang pelacur. Bahkan dengan suaminya sendiri ia meminta tarif untuk 1 malamnya. 

Bagiku cerita ini menarik bagi kalangan remaja yang sedang merantau dikota. Untuk tetap berhati-hati terhadap orang yang baru dikenal. Sebab, kita hidup dikota itu tidak seperti didesa. Ketika kita menolong seseorang tidak mengharapkan imbalan, sedangkan kehidupan dikota itu serba uang atau semua itu tidak gratis harus ada tarifnya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun