Sungkem Tlompak merupakan salah satu tradisi yang masih dijaga keberlangsungannya oleh masyarakat Jawa. Sungkem Tlompak dilakukan sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur yang telah meninggalkan dunia ini.
Sungkem Tlompak biasanya dilakukan di tempat-tempat yang dianggap sakral, seperti makam atau tempat ziarah. Salah satu lokasi yang menjadi tempat pelaksanaan Sungkem Tlompak adalah di Tlompak, Gejayan, Magelang, Jawa Tengah. Di tempat tersebut terdapat makam Raden Pandji Sosro Wijoyo, seorang tokoh spiritual yang dihormati oleh masyarakat setempat.
Proses Sungkem Tlompak sendiri dilakukan dengan cara mengucapkan doa dan mantra khusus sambil membungkuk tiga kali. Setelah itu, dilakukan ritual dengan cara melempar uang receh ke udara sebagai bentuk persembahan kepada leluhur. Uang receh yang dilempar biasanya dikumpulkan dan digunakan untuk membantu kegiatan sosial di lingkungan sekitar.
Dari tempat tersebut mereka kemudian berjalan kaki menuju mata air Tlompak. Arak-arakan dipimpin juru kunci mata air Tlompak, diikuti warga, tokoh masyarakat, pembawa sesaji hasil bumi serta tumpeng, dan rombongan penari keprajuritan.
Di area sumber air, mereka memanjatkan doa. Setelah itu, warga berebut tumpeng dan beramai-ramai mengambil air dari sembilan sumber air Tlompak yang dipercaya memiliki banyak khasiat.
Selain melakukan ritual sungkem yang secara budaya ada keharusan melaksanakan sungkeman pada saat syawal warga Keditan juga menggelar halalbihalal dengan warga Gejayan. Tradisi tersebut sudah berlangsung turun-temurun dan warga terus mempertahankannya.Tradisi Sungkem Tlompak juga tak lepas dari cerita yang berkembang turun-temurun. Konon, Dusun Keditan pernah dilanda paceklik hebat yang mengakibatkan gagal panen. Masyarakat setempat yang mayoritas sebagai petani akhirnya mengalami kehidupan serbasulit. Makanan mahal serta susah didapat. Air sebagai sumber kehidupan juga tidak ada. Warga pun banyak yang sakit.
Beberapa sesepuh dusun kemudian berziarah ke mata air Tlompak di Desa Gejayan. Mereka bertirakat hingga akhirnya bertemu 'penunggu' mata air yang oleh masyarakat setempat dipercaya sebagai Prabu Singobarong. Dari pertemuan itu, muncul kesepakatan bahwa Dusun Keditan akan kembali subur dan makmur dengan satu syarat, yakni warga wajib menggelar pentas kesenian keprajuritan di Dusun Gejayan setiap 5 Syawal sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur.
Karena itu, setiap 5 Syawal, warga tak hanya menggelar pentas kesenian, akan tetapi warga juga berdoa di mata air  Tlompak. Mereka memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar diberi keselamatan, rezeki yang cukup, dan kesehatan. Sebelum prosesi digelar, warga juga melakukan bersih-bersih di sekitar mata air. Meski demikian, tak ada satu pun pohon yang ditebang. Itu sebagai wujud warga dalam menghormati dan merawat keseimbangan alam.
Tlompak. Bagi saya, ritual yang rutin dilaksanakan sejak 1932 tersebut tak cuma unik, tapi juga memiliki makna dan pesan yang luar biasa. Karena dilakukan pada Syawal, ada keharusan secara budaya untuk mengadakan sungkeman. Secara luas, lewat ritual tersebut, masyarakat berdoa kepada Tuhan untuk memohon keselamatan, rezeki yang cukup, dan kesehatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H