Hukum Lingkungan memiliki peran krusial dalam upaya menanggulangi kerusakan lingkungan hidup. Tidak hanya melibatkan regulasi hukum, tetapi penegakan hukum lingkungan juga merupakan bagian integral dalam menyediakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan yang tepat. Istilah "Hukum Lingkungan" merujuk pada beberapa istilah seperti Environmental Law dalam bahasa Inggris, Millieu Recht dalam bahasa Belanda, dan Hukum Alam Seputar dalam bahasa Malaysia.
Hukum Lingkungan dapat diartikan sebagai kerangka hukum yang mengatur tata kelola lingkungan, termasuk peraturan yang menjaga, memelihara, dan melindungi lingkungan di sekitar manusia. Menurut Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan memiliki karakteristik khusus sebagai bidang hukum fungsional, menggabungkan unsur-unsur seperti hukum administrasi, hukum pidana, dan hukum perdata.
Dalam perannya, Hukum Lingkungan menetapkan beberapa prinsip sebagai landasan, termasuk Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development). Pembangunan berkelanjutan mengacu pada upaya untuk memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Prinsip keadilan antargenerasi dan keadilan intragenerasi juga menjadi bagian integral dari Hukum Lingkungan, menekankan hak untuk memanfaatkan lingkungan tanpa merugikan generasi sekarang atau yang akan datang.
Prinsip Pencemar Membayar menegaskan bahwa pencemar harus bertanggung jawab untuk menghilangkan dampak pencemarannya. Prinsip Pencegahan Dini mewajibkan tindakan pencegahan sejak dini untuk mengendalikan pencemaran, sedangkan Prinsip Pencegahan Dini menekankan bahwa tindakan pencegahan harus dilakukan tanpa menunggu bukti ilmiah yang pasti.
Prinsip Kedaulatan dan Tanggung Jawab Lingkungan mencakup hak kedaulatan negara dalam mengelola sumber daya alam, tetapi juga memberikan tanggung jawab untuk mencegah kerusakan lingkungan yang dapat merugikan negara lain. Prinsip Akses Informasi Lingkungan, Partisipasi Masyarakat dalam Keputusan Lingkungan, dan Kesetaraan Akses serta Tanpa Diskriminasi menjadi prinsip penting lainnya, memberikan hak masyarakat untuk terlibat dalam pengambilan keputusan dan mendapatkan informasi lingkungan.
Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia melibatkan aspek administratif, pidana, dan perdata. Sanksi yang diberikan bertujuan untuk melindungi lingkungan, menanggulangi pencemaran, memulihkan kualitas lingkungan, dan memberikan efek jera. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 menjadi landasan hukum yang mengatur perlindungan dan pengelolaan lingkungan di Indonesia dengan sanksi yang terstruktur.
Di dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, terdapat asas hukum lingkungan yang dijelaskan dalam Pasal 2 sebagai berikut: "Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan asas tanggung jawab negara." Asas ini diartikan sebagai negara yang menjamin agar sumber daya alam memberikan manfaat sebesar-besarnya untuk kesejahteraan dan mutu hidup rakyat, baik saat ini maupun di masa depan.
Selain itu, negara juga menjamin hak setiap warganegara terhadap lingkungan hidup yang baik dan sehat. Negara memiliki kewajiban untuk mencegah kegiatan pemanfaatan sumber daya alam yang dapat menimbulkan pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup. Beberapa asas hukum lingkungan yang terkandung dalam pasal tersebut antara lain:
1. Asas Kelestarian dan Keberlanjutan: Warganegara memiliki kewajiban dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang serta sesama dalam satu generasi dengan melakukan upaya pelestarian ekosistem.
2. Asas Keserasian dan Keseimbangan: Dalam pemanfaatan lingkungan hidup, perlu memperhatikan berbagai aspek seperti kepentingan ekonomi, sosial, budaya, serta perlindungan dan pelestarian ekosistem.
3. Asas Keterpaduan: Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilakukan dengan cara menggabungkan unsur-unsur yang saling berhubungan.
4. Asas Manfaat: Setiap kegiatan pembangunan harus disesuaikan dengan potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
5. Asas Keadilan: Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus mencerminkan keadilan proporsional bagi semua warganegara.
6. Asas Kehati-hatian: Ketidakpastian mengenai dampak suatu usaha atau kegiatan tidak boleh dijadikan alasan untuk menunda langkah pencegahan terhadap ancaman terhadap lingkungan hidup.
7. Asas Ekoregion: Perlindungan dan pengelolaan lingkungan harus memperhatikan karakteristik sumber daya alam, ekosistem, kondisi geografis, budaya masyarakat, serta kearifan lokal.
8. Asas Keanekaragaman Hayati: Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus mempertahankan keberlanjutan sumber daya alam hayati, termasuk sumber daya alam nabati dan hewani.
9. Asas Pencemar Membayar: Setiap penanggung jawab usaha atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran atau kerusakan lingkungan wajib menanggung biaya pemulihan lingkungan hidup.
10. Asas Partisipatif: Masyarakat berhak berperan aktif dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
11. Asas Kearifan Lokal: Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan nilai-nilai yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat.
12. Asas Tata Kelola Pemerintahan yang Baik: Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus didasarkan pada prinsip partisipatif, keterbukaan, akuntabilitas, efisiensi, dan keadilan oleh pemerintah.
13. Asas Otonomi Daerah: Pemerintah dan pemerintah daerah berhak mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dalam bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah dalam bingkai NKRI.
Perlakuan merusak lingkungan yang terjadi tidak langsung oleh pemerintah akibat kebijakan yang kurang dianalisis secara mendalam, pada akhirnya menyulitkan hidup masyarakat dan merugikan ekosistem. Proyek strategis nasional yang mengambil alih tanah untuk kepentingan nasional menciptakan konflik, mirip dengan situasi pada masa orde baru yang terkait dengan perampasan lahan untuk keperluan infrastruktur. Istilah proyek strategis nasional muncul tanpa adanya diskusi dengan masyarakat untuk menentukan kebutuhan wilayah mereka terhadap proyek tersebut. Meskipun pemerintah daerah seharusnya bertanggung jawab menyampaikannya kepada masyarakat, sayangnya tidak ada partisipasi masyarakat dalam proyek tersebut. Ini menimbulkan pertanyaan apakah proyek tersebut diinginkan oleh masyarakat atau tidak, dan keputusan proyek diambil tanpa melibatkan mereka, seperti yang diungkapkan oleh Rakhma Mary, Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan YLBHI, dalam sebuah diskusi online.
Dari berbagai kasus yang disebutkan, terdapat kelalaian dalam melibatkan masyarakat dalam partisipasi dan penyediaan informasi, seperti pelanggaran akses partisipasi dan informasi dalam penyusunan Perda RT/RW tanpa melibatkan masyarakat, penetapan lokasi proyek tanpa konsultasi dengan masyarakat yang terkena dampak, penyusunan dokumen lingkungan tanpa partisipasi masyarakat, dan tidak ada penegakan hukum terhadap perusak lingkungan.
Ditekankan bahwa ketika proyek sudah beroperasi dan menimbulkan dampak lingkungan, tidak ada penegakan hukum terhadap pelanggaran tersebut. Proyek dilindungi dan diizinkan berlanjut seolah-olah tidak ada masalah, sementara protes masyarakat hanya direspons sekenanya. Beberapa kasus, seperti Wadas, menunjukkan tindakan represif dan kriminalisasi terhadap warga yang memprotes.
Masyarakat diabaikan dalam proses pembangunan, dan banyak wilayah bahkan tidak diizinkan menentukan nasibnya sendiri, terutama terkait dengan perampasan tanah dan ruang hidup. Dinyatakan bahwa pemerintah telah melakukan tindakan "hit and run" tanpa pertanggungjawaban, hanya menyebabkan penderitaan berkelanjutan bagi masyarakat tanpa adanya mekanisme pemulihan.
Dampak dari perusakan lingkungan secara tidak langsung merampas ruang hidup masyarakat. Harusnya hak-hak tersebut dikembalikan jika pemerintah menyadari apa hak yang telah hilang dan segera memenuhi kembali oleh negara. Namun, kenyataannya negara telah melanggar hak atas pemulihan.
Hukum Lingkungan memiliki peran krusial dalam upaya menanggulangi kerusakan lingkungan hidup. Selain melibatkan peraturan hukum, penegakan Hukum Lingkungan juga merupakan bagian integral dalam memberikan perlindungan dan pengelolaan lingkungan yang efektif. Hukum Lingkungan dapat diartikan sebagai sistem hukum yang mengatur tata kelola lingkungan, menjaga, serta melindungi lingkungan di sekitar manusia. Dalam upaya mengelola lingkungan hidup dan sumber daya alam yang terdapat di dalamnya, setiap negara diharapkan untuk menerapkan pendekatan terpadu dalam perencanaan dan pembangunan sesuai dengan kebutuhan untuk melindungi lingkungan hidup dan memberikan manfaat bagi penduduk sekitar. Pengelolaan sumber daya alam juga harus dilakukan secara wajar (reasonable use), menghindari penyalahgunaan hak eksploitasi (abuse of rights), dan memastikan penggunaan sumber daya bersama (shared resources) secara seimbang (equity and equitable utilization).
Penegakan Hukum Lingkungan merupakan usaha untuk mencapai kepatuhan terhadap peraturan dan persyaratan yang tercantum dalam ketentuan hukum lingkungan, baik secara umum maupun individual, melalui pengawasan dan penerapan sanksi. Tujuan dari penegakan hukum lingkungan tidak hanya untuk memberikan hukuman atau sanksi kepada pelaku yang merusak lingkungan hidup, tetapi juga untuk mencegah terjadinya tindakan yang dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan. Oleh karena itu, penegakan hukum lingkungan tidak hanya bersifat represif tetapi juga bersifat preventif. Pendekatan represif bertujuan untuk mengatasi kerusakan atau pencemaran lingkungan melalui pemberian sanksi pidana, perdata, atau administrasi kepada pelaku. Sementara pendekatan preventif bertujuan untuk mencegah kerusakan atau pencemaran lingkungan.
Meskipun Hukum Lingkungan memiliki peran vital dalam melindungi lingkungan, implementasinya tidak selalu optimal, terutama dalam hal penegakan hukum. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) merupakan langkah konkret dalam penegakan hukum lingkungan. Tujuan utama UU ini adalah menjaga kelestarian lingkungan hidup untuk mencapai keseimbangan dalam ekosistem. Namun, kendala muncul dalam penegakan hukum terkait dengan kurangnya ketegasan dan kecenderungan untuk mengabaikan pelanggaran, serta sanksi yang mungkin tidak sebanding dengan dampak yang ditimbulkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H