Raka, seorang pemuda dari desa kecil, sedang duduk di bawah pohon besar di halaman masjid. Angin sore yang sejuk menyentuh wajahnya, namun pikirannya terperangkap pada satu kalimat yang sering ia dengar "Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina", kata Ustadz Rahman dalam ceramah pekanannya. Kalimat ini sering kali membuat banyak orang merasa terinspirasi, seolah ada semangat yang membara untuk mengejar ilmu sejauh mungkin.
Namun, kali ini, kalimat itu mengusik hati Raka. Benarkah hadis ini sahih? Ia sering mendengar pepatah itu diulang-ulang oleh orang-orang disekitarnya, tetapi ketika ia mencarinya di berbagai kitab hadis, ia tidak menemukannya. Kalimat tersebut terasa seperti sebuah motivasi yang menarik, namun apakah itu benar-benar berasal dari Nabi Muhammad SAW?
Raka memutuskan untuk mencari tahu lebih lanjut. Setelah beberapa jam menggali berbagai referensi, akhirnya ia menemukan jawabannya. Ternyata, hadis yang berbunyi "Tuntulah ilmu sampai ke negeri Cina" tidak ditemukan dalam kitab hadis yang sahih. Beberapa ulama menganggapnya sebagai hadis lemah, yang tidak dapat dijadikan pegangan dalam beragama.
" " kalimat itu, yang sering ia dengar selama ini, tenyata tidak tercatat dalam hadis-hadis sahih. Raka merasa cemas. Ia bertanya-tanya, apakah selama ini ia dan banyak orang telah keliru dalam memahami pesan tersebut?
Namun, setelah merenung, ia menyadari bahwa meskipun hadis itu mungkin tidak sahih, pesan yang terkandung dalam kalimat tersebut tetap memiliki nilai yang sangat penting. "Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina" kata-kata itu bukan berarti harus pergi ke Cina secara fisik. Baginya, kalimat itu mengandung makna yang lebih dalam. Ilmu tidak terikat pada tempat atau jarak. Ilmu adalah sesuatu yang universal, yang bisa dicari di mana saja. Mencari ilmu itu adalah perjalanan yang tidak terbatas oleh waktu atau tempat.
Raka teringat pada kisah ulama besar, Imam Al-Ghazali, yang menuntut ilmu sepanjang hidupnya. Al-Ghazali tidak hanya belajar dari satu tempat, tetapi ia menjelajahi berbagai kota dan negara untuk mendapatkan pengetahuan yang bermanfaat. Baginya, ilmu adalah harta yang tak ternilai, dan ia tidak pernah merasa puas dengan apa yang telah ia pelajari.
Keesokan harinya, Raka bertemu dengan seorang pedagang tua yang sering datang ke masjid, untuk beristirahat setelah berkeliling desa. Pedagang itu bercerita tentang berbagai cara berdagang yang lebih efisien dan menguntungkan. Raka yang mendengarkan dengan penuh perhatian, merasa bahwa ini adalah ilmu yang sangat berharga, meskipun tidak didapatkan dari ruang kelas. Meskipun tidak berhubungan langsung dengan apa yang dipelajari di sekolah, pengalamn hidup pedagang itu memberikan wawasan baru tentang bagaimana menerapkan ilmu dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan semangat yang baru, Raka memutuskan untuk tidak terjebak dalam pemahaman yang sempit. Ia menyadari bahwa ilmu itu luas dan bisa didapatkan dari berbagai sumber. Tidak perlu menunggu pergi ke Cina atau tempat jauh lainnya. Ilmu bisa ditemukan disekitar kita, dalam buku, diskusi, pengalaman hidup, atau bahkan dalam kehidupan sehari-hari.
"Ilmu itu seperti udara, tak terbatas oleh jarak" pikir Raka. Ia pun mulai lebih giat belajar, tidak hanya melalui pendidikan formal, tetapi juga dengan mengembangkan diri melalui berbagai peluang yang ada di sekitarnya. Ia belajar dari para guru, membaca lebih banyak buku, dan berdiskusi dengan teman-temannya.
Seiring berjalannya watu, Raka merasa semakin dekat dengan tujuan hidupnya. Ia tidak merasa terbatas oleh tempat atau jarak, karena ilmu adalah jalan yang terus terbuka lebar bagi siapa saja yang berusaha mencapainya. Pesan yang terkandung dalam pepatah "Tuntulah ilmu sampai ke negeri Cina" kini dipahami Raka sebagai sebuah dorongan untuk tidak pernah berhenti mencari ilmu, baik dalam konteks fisik maupun spiritual.
Raka duduk di meja belajarnya, memandangi buku-buku yang tergeletak disekelilingnya. Ia tersenyum kecil, mengingat kembali perjalanan panjang pencarian ilmunya. Meskipun ia tidak pernah pergi ke Cina, ia merasa ilmunya telah mencapai lebih dari yang ia bayangkan. Kini, ia tahu bahwa perjalanan menuntut ilmu tidak memiliki batas.