Media sosial adalah griya semu yang meringkas realita menjadi satu gambar atau video beralaskan paragraf pendek, dengan tanda suka; bagi; kirim; dan komentar sebagai jamuannya. Di era perkembangan teknologi informasi, hampir setiap kalangan menikmati atau setidaknya pernah mengunjungi laman interaktif media sosial, baik di Instagram, WhatsApp, X, maupun yang lainnya. Dengan kenyamanan bersosialisasi yang disediakan oleh platform ini, orang-orang mulai mengolah hal baru untuk disajikan. Konten hiburan dalam media sosial kemudian berekspansi ke hadapan lebih banyak layar, sehingga muncullah sebuah tren baru yang akrab disapa meme. Meme merupakan cuplikan gambar yang dimodifikasi dengan menambahkan kata-kata atau tulisan-tulisan untuk tujuan melucu dan menghibur. Meme membawa pesan-pesan tersirat maupun tersurat yang dapat memenuhi kebutuhan informasi audiensnya.Â
Apabila berbicara tentang audiens di dunia digital sekarang, kita pasti sudah tak heran lagi dengan karakteristiknya yang bisa beradaptasi dengan akselerasi informasi. Sibuknya dunia membuat pesan-pesan terbaru perlu dirangkum menjadi sebuah berita singkat. Kebutuhan akan komunikasi efektif dan efisien menjadi prioritas di tengah gaya hidup serba cepat. Dengan begitu, informasi terbaru dapat diterima tanpa harus meluangkan waktu untuk membaca media cetak atau artikel panjang. Anggaplah upaya ini sebagai 'sambil menyelam, minum air'.
Seiring berkembangnya popularitas meme, konten tersebut menjadi gaya komunikasi baru di era digital. Meme yang awalnya berfungsi sebagai hiburan, beralih menjadi media informasi tak terduga. Hal ini berawal dari terselipnya kejadian kunci dalam lelucon yang disampaikan dalam meme. Didukung dengan ilustrasi dan caption yang relevan, meme menjadi opsi alternatif audiens digital dalam mencerna dan merespons informasi.
"Kamu sudah dengar berita ini?"
"Ya, aku sudah lihat leluconnya di akun Dagelan"
Kira-kira seperti itu gambarannya.
Meme kemudian menjadi bahan berita yang populer belakangan ini. Keberadaan meme tidak terlepas dari berbagai bidang persuasif. Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa meme memegang andil dalam bidang politik. Melihat ke belakang, pada awal tahun 2024 masyarakat Indonesia dihujani informasi Pemilihan Umum 2024 di berbagai media. Pemilihan umum tentunya bukan peristiwa biasa. Pesta demokrasi ini menggaet partisipasi seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali. Sudah dipastikan bahwa sosialisasi teknis hingga kampanye calon pemimpin bangsa selanjutnya memerlukan media yang relevan. Media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan YouTube telah digunakan secara luas dalam kampanye Pemilu 2024. Para calon pemimpin menggunakan platform ini untuk berinteraksi langsung dengan rakyat, menyampaikan informasi, dan membangun kepercayaan.Â
Penggunaan media erat kaitannya dengan strategi politik masing-masing kandidat. Tujuannya untuk menarik pemilih muda sebagai pemilih yang menggunakan media sosial sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Mengapa menyorot kaum muda? Hasil survei menunjukkan bahwa sekitar 53-55% atau 107 juta pemilih dalam Pemilu 2024 merupakan pemuda berusia 17-40 tahun. Kemampuan engagement media sosial diharapkan akan meningkatkan partisipasi pemilu generasi muda, terlebih lagi pemuda yang baru pertama kali menggunakan hak bersuara-nya. Tak ayal, upaya yang banyak dilakukan oleh kandidat pemimpin banyak berupa pendekatan sosial di dunia maya. Mulai dari sini, sekejap terlintas di pikiran kita cuitan; postingan; atau berita viral tentang masyarakat yang menyangkutpautkan humor kehidupan sehari-hari dengan beberapa kegiatan kampanye Pemilu 2024. Dapat ditebak bahwa serangkaian interaksi di dalamnya pasti terselip belasan atau puluhan meme. Meme cenderung menyampaikan konteks secara to-the-point sehingga para pemilih muda--yang didominasi oleh pengguna teknologi modern--menggantungkan kebutuhan akan informasi dan rekreasinya kepada visual berbalut humor edukatif.
Meskipun demikian, meme bukanlah media kampanye resmi. Bahkan fungsi utamanya lebih mengarah pada gaya kasual. Sementara itu, para calon pemimpin menggunakan kesempatan ini untuk menyampaikan pesan secara efektif. Kita memang bisa melihat betapa menariknya proses kampanye tersebut. Seakan tidak ada batasan antara senda gurau dengan kredibilitas politik negara. Pernahkah bertanya-tanya, apakah penggunaan meme benar-benar mencerminkan image politik yang terlihat represif di mata sebagian orang?
Sebetulnya, meme bukanlah hal yang wajar pada dekade sebelumnya. Tak ayal, keberadaan meme yang membludak menimbulkan isu tersendiri di tengah kampanye Pemilu 2024. Meme telah mempengaruhi cara pandang masyarakat. Dalam konteks pemilihan umum 2024, meme berperan penting dalam membentuk opini publik.
Fenomena ini mengingatkan kita dengan sebuah teori komunikasi massa bernama agenda-setting. Singkatnya, teori agenda-setting menerangkan bahwa sesuatu yang terpampang di layar adalah sesuatu yang kita tunjukkan pada layar pula. Kemudian para kandidat--sebagai pengguna media sosial juga--merangkum hal-hal tersebut sebagai aspirasi. Aspirasi ini dihitung sebagai cara pandang masyarakat terhadap calon pemimpin mereka. Maka dari itu, konten media sosial ini dapat digunakan sebagai alat framing dan propaganda politik. Dengan menggunakan gambar-gambar yang humoris, meme dapat menyampaikan pesan politik dengan cara yang lebih menarik tanpa menghilangkan tujuan utama kampanye, yaitu menggalang partisipasi massa. Sebuah kutipan di Instagram pernah berujar, "If it silly but it works; it ain't silly". Apabila sebuah upaya yang terlihat konyol bekerja dengan baik; itu bukan upaya yang konyol.