Mohon tunggu...
Hany Ferdinando
Hany Ferdinando Mohon Tunggu... Ilmuwan - Penikmat buku dan musik yang suka tentang teknologi, psikologi, pendidikan, flora dan fauna, kebudayaan, dan hubungan antar manusia.

Belajar menulis dengan membaca, belajar kritis dengan menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Lab Life Menilik Konsep Belajar dari Prof Pitoyo Hartono

22 Juni 2021   18:27 Diperbarui: 22 Juni 2021   18:33 515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://pixabay.com/photos/learn-word-scrabble-letters-wooden-1820039/

Saya banyak menemui mahasiswa yang seperti ini, bahkan ada dosen yang 'memaklumi' situasi ini sehingga meminta saya untuk tidak menuntut lebih tinggi. Maksud saya, mereka, yang meraih nilai tinggi untuk matkul tertentu di semester lalu dan digunakan sebagai pra syarat matkul yang lain, tidak harus ingat semua yang pernah dipelajari, tetapi selentingan kecil akan membuat mereka ingat lagi. Hal ini jelas hanya bisa terjadi jika cara belajarnya benar. 

Masalahnya, mahasiswa banyak belajar dari contoh soal; soal yang diberikan lengkap dengan jawabannya. Cara umum yang dipakai adalah baca soal dan jawabannya, bahan ditutup, lalu dikerjakan ulang. Apa yang terjadi? Alih-alih mengingat teori yang bisa dipakai, mereka berusaha keras untuk mengingat bagaimana si pembuat jawaban mengerjakannya ketika mengalami kebuntuan. 

Terkait dengan otokriitik di atas, seharusnya mahasiswa bertanya kepada dirinya, apakah dia mengerti mengapa si pembuat jawaban menuliskan jawaban yang seperti itu? Jika hal ini dilakukan, maka mahasiswa akan mencari tahu teori mana yang dipakai. Masalahnya, banyak mahasiswa yang meremehkan teori dengan mengatakan teori tidak perlu dan buang-buang waktu.

Sistem pendidikan di Indonesia telah memisahkan antara pendidikan akademk (S1, S2, S3) dan vokasi (Diploma: D1, D2, D3,D4). Stigma yang beredar di masyarakat, orang yang masuk pendidikan akademik pasti lebih pandai daripada mereka yang masuk pendidikan vokasi. Akibatnya. pendidikan akademik membludak dan pendidikan vokasi kekurangan pembelajar. 

Tidak berhenti di situ saja, mahasiswa yang masuk pendidikan akademik ini belum tentu bekerja di bidang akademis (dosen dan peneliti) dan mereka menuntut diberikan matkul dengan porsi praktek yang besar. Bahkan ada yang mengatakan bahwa matematika tidak diperlukan. Hal ini membuat banyak program studi yang mulai membuang beberapa materi matematika karena dianggap tidak penting. Hal ini berdampak pada mahasiswa yang ingin berkarir menjadi peneliti, karena dasar matematikanya sangat kurang. 

Dalam tulisan yang dipublikasi di laman facebook 14 Juni 2021, Prof. Pitoyo memiliki ide untuk mengadakan bootcamp matematika. Hal ini terjadi sebagai respon terkait dengan dasar matematika yang kurang. Bahkan beliau berujar akan menawarkan ke negara lain jika Indonesia menolaknya. Sebenarnya, ini juga bisa dijadikan dasar otokritik terhadap pendidikan kita.

Kampus, terutama PTS dan PTN kecil, bisa dibilang tidak bisa menolak mahasiswa jika masih memiliki kapasitas. Maksud saya, jika kapasitas yang ditetapkan adalah 100 dan jumlah pendaftarnya 110, maka hampir semuanya akan diterima. Akibatnya, kampus semacam ini akan menerima mahasiswa yang sebenarnya tidak sesuai kualifikasi dan bisa memberatkan proses pembelajaran. 

Menolak mereka bukan pilihan yang bijak, karena kampus perlu mahasiswa. Ini menjadi pergumulan tersendiri buat banuyak kampus di Indonesia. Ketika mereka masuk di program studi teknik dan belajar matematika, maka bisa ditebak, betapa berat perjuangan dosen matematika untuk mengajar mereka. Saya bisa memahami situasi ini dari pengalaman sejawat saya yang telah berpulang dan dulunya juga pernah mengajar saya.

https://pixabay.com/photos/waterfowl-mallard-young-young-duck-771680/
https://pixabay.com/photos/waterfowl-mallard-young-young-duck-771680/

Pendekatan yang dipakai Prof. Pitoyo cukup menarik, yaitu meminta mahasiswa untuk menjelaskan dalam bahasanya sendiri terkait dengan materi yang dipelajarinya. Hal ini sejalan dengan temuan di bidang pendidikan, bahwa seseorang belajar dengan lebih baik ketika menjelaskan ke orang lain (Biggs dan Tang, 2011; Teaching for Quality Learning at University). Saya berani mengaminkan apa yang dikatakan beliau karena saya sudah membuktikannya sejak SMP, lebih dari 30 tahun yang lalu.

Sebenarnya pemerintah telah memisahkan pendidikan vokasi dan akademik untuk segmentasi pembelajaran yang lebih efektif. Namunn, hal ini masih menghadapi jalan terjal karena pola pikir masyarakat Indonesia yang belum bisa diubah. Mereka yang masuk pendidikan vokasi seharusnya dihargai sebagai tanggung jawab untuk bisa segera bekerja dan berkontribusi, bukan malah di-bully dan dianggap tidak berkualitas. Mereka yang masuk pendidikan akadmik tidak bisa mengatakan bahwa dirinya adalah orang berkualitas selama belum menghasilkan karya penelitian yang bermanfaat (bukan hanya dalam jangka pendek tetapi juga jangka panjang).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun