Mohon tunggu...
Hany Ferdinando
Hany Ferdinando Mohon Tunggu... Ilmuwan - Penikmat buku dan musik yang suka tentang teknologi, psikologi, pendidikan, flora dan fauna, kebudayaan, dan hubungan antar manusia.

Belajar menulis dengan membaca, belajar kritis dengan menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Kapitalisme yang Menggerogoti Dunia Pendidikan Kita

15 Januari 2020   19:10 Diperbarui: 16 Januari 2020   18:25 641
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagaimana dengan keinginan seseorang untuk punya 'bisnis' sekolah?

Dengan kondisi di Indonesia saat ini, saya agak ragu dengan tujuan seseorang mendidikan sekolah untuk lahan bisnis. Keberadaan persaingan antar siswa dan sekolah, model ujian yang mengedepankan kecepatan dan ketepatan, dan keinginan mendapatkan nilai tinggi, maka sebenarnya bisnis LBB lebih menjanjikan.

Sekolah harus berhadapan dengan regulasi pemerintah seperti kurikulum, akreditasi, standar kompetensi guru, SKM, dll. Coba bandingkan dengan mengelola LBB. Tidak ada urusan sama sekali dengan pemerintah, kecuali urusan pajak.

Menurut saya, ketika masyarakat tidak menekankan adanya persaingan, model ujian tidak lagi mengedepankan kecepatan dan ketepatan, dan hasrat untuk meraih nilai tertinggi sirna, maka LBB juga akan pudar dengan sendirinya.

Saya justru menduga, hal-hal di atas dipelihara supaya keberadaan LBB menjadi sesuatu yang penting, bahkan lebih penting dari sekolah. Ini dugaan saya lho! Bisa benar, bisa salah...

Keinginan yayasan atau orang pribadi untuk membanggakan sekolahnya sebagai sekola terbaik bisa mengacaukan proses pembelajaran di sekolah.

Proses belajar dikacaukan dengan berbagai aturan yang menguntungkan sekolah, seperti pemberian remediasi untuk mereka yang gagal dalam ujian tanpa melihat alasannya. Nilai yang diperoleh siswa pasti tidak mencerminkan hasil evaluasi yang sesungguhnya.

Selain itu, siswa tidak diajarkan untuk berjuang dan menyiapkan diri dalam ujian karena kalau gagal pasti ada remediasi. Siswa tidak diajarkan arti tanggung jawab yang menjadi salah satu hal penting ketika terjun ke masyarakat. Siswa tidak disadarkan bahwa kesempatan kedua belum tentu selalu ada di dunia nyata.

pixabay.com
pixabay.com
Kedua, orang tua juga merasa sebagai pemilik modal melalui uang sekolah dan pembangunan yang disetorkan. Paradigma ini tidak selamanya benar, tetapi telah begitu mengakar di benak banyak orang tua.

Akibatnya, ketika anaknya mendapatkan nilai di bawah harapannya, orang tua merasa berhak mendatangi sekolah untuk mendapatkan klarifikasi.

Bahkan tidak berhenti sampai di situ, ada beberapa oknum orangtua yang mengancam mengeluarkan anaknya dari sekolah tersebut jika sekolah tidak mampu memberikan nilai sesuai harapannya. Ada sekolah yang menekan guru untuk memberikan nilai yang 'tepat' supaya orangtua tersebut mengurungkan niatnya. Sekolah takut kehilangan siswa dan dukungan orangtua tadi karena ternyata orangtua tersebut juga menjadi donatur besar di sekolah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun