Sadarkah Anda bahwa kita sudah membuat pilihan ketika bangun di pagi hari? Kita dihadapkan pada pilihan antara bangkit dari tempat tidur atau tetap berbaring. Itu pun masih akan dilanjutkan dengan berapa lama akan terus berbaring.Â
Setelah bangung pun, kita masih harus memilih aktivitas yang akan dilakukan, entah itu ke kamar mandi, ke dapur, membaca pesan di HP, dll. Pendek kata, hidup kita ini penuh dengan pilihan. Dengan demikian, memilih bukanlah hal yang asing untuk kita lakukan.
Namun, sering kali tidak mudah dalam memilih. Bahkan, sepertinya kita tidak pernah dihadapkan pada pilihan. Alih-alih bisa memilih, kita menghadapi situasi yang sepertinya mau tidak mau harus mengambil apa yang ada di depan mata. Benarkah demikian? Saya akan memberikan beberapa contoh supaya Anda bisa memahami maksud saya.
Marah vs. menahan diri
Setujukah Anda bahwa marah dan menahan diri adalah sebuah pilihan? Secara umum kita sadar akan hal ini, tetapi dalam kenyataannya tidak demikian. Banyk orang menyadari bahwa kita bisa memilih di antara keduanya, tetapi sedikit yang bisa melakukannya di situasi yang nyata.
Saya pikir, marah adalah reaksi yang normal, tetapi apakah kemarahan Anda akan segera reda atau akan terus 'dipleihara'? Saya sering menemui orang yang marah kepada pengguna jalan lain dan mengejarnya.Â
Saya tidak tahu apa yang akan dilakukannya ketika sudah terkejar karena memang saya tidak berniat untuk mengikutinya. Namun, dari apa yang pernah saya dengar dari pertengkaran di pinggir jalan, rupanya orang yang mengejar tadi ingin melampiaskan kemarahannya dengan kata-kata yang kasar. Apakah itu sesuatu yang bermanfaat?
Menerima telepon sekarang juga atau nanti
Saya punya seorang teman yang saat kami sedang menikmati makan malam menegur saya untuk segera menerima telepon. Kala itu, kami makan ikan goreng, dan Anda tentu tahu bahwa makan ikan goreng lebih nikmat pakai tangan langsung. Jadi, saya berkata kepadanya bahwa saya masih sibuk makan dan telepon bisa ditunda.
 Selain itu, saya punya prinsip sederhana, ketika seseorang menelpon saya dan tidak saya terima, maka yang bersangkutan akan kembali menelpon jika ada sesuatu yang penting. Apalagi, saya bisa tahu siapa yang menelpon saya atau paling tidak tahu nomor mana yang baru saja melakukan panggilan.
Beda ceritanya kalau sudah ada janjian atau nomor yang sama terus menerus menelpon. Itu pun akan saya minta untuk menelpon ulang jika hal yang akan dibicarakan tidak terlalu penting. Egois? Mungkin! Namun, orang juga harus belajar menghargai apa yang sedang kita lakukan.
Berangkat sekarang atau nanti
Tinggal di Jakarta bukanlah sesuatu yang pernah muncul di benak saya. Sudah tidak terhitung mereka yang mengajak saya untuk tinggal di Jakarta. Bahkan ada yang menjanjikan pekerjaan segala lho! Namun, saya memang tidak pernah tertarik tinggal di Jakarta.Â
Kota ini terlalu padat dan segala sesuatu sepertinya berlalu dengan begitu cepat. Orang tinggal di jalan dan sepertinya tidak punya waktu dengan keluarga.
Saya melihat sendiri bagaimana kerabat saya harus meninggalkan rumah jam 5 pagi untuk berangkat kerja dan baru tiba di rumah lagi jam 11 malam. Ketika dia berangkat, anaknya masih tertidur dan anaknya itu sudah tertidur ketika dia pulang. Bukankah masih ada akhir pekan untuk berjumpa? Benar! Namun, ini bukanlah kehidupan yang saya inginkan.
Pilihan yang tidak mudah dan dampaknya
Ketika seseorang memperlakukan kita dengan tidak baik, maka marah merupakan reaksi yang wajar. Hanya saja, apakah kemarahan itu akan terus bertahan atau bisa segera dikuasai? Apakah kemarahan akan menyelesaikan segala sesuatu?
Mengapa saya menekankan contoh ini daripada yang lain? Ada banyak hal yang bisa terjadi tatkala seseorang bisa menguasai emosinya. Emosi yang tidak dikuasai akan menjadi bumerang dan itu merugikan diri sendiri.
Ketika pasangan marah kepada Anda, apa yang akan dilakukan? Kebanyakan orang langsung membalasnya dengan kemarahan. Apakah ini tindakan yang bijaksana? Mana yang paling mungkin terjadi, kemarahan itu menjadi reda atau malah menjadi-jadi?
Satu hal yang kita tahu tetapi lupa ketika marah adalah ketidakmampuan menguasai diri. Satu hal nyata adalah ketidakmampuan menguasai kata-kata yang diucapkan!Â
Alih-alih memikirkan kata-kata yang bijak, orang yang sedang dikuasai emosi tidak akan pernah memikirkannya sama sekali. Bisa jadi dia akan mengumpat dan mengeluarkan kata-kata yang kotor dan tidak beradab. Kemungkinan lain, dia akan mengucapkan sumpah serapah yang tidak perlu.
Asumsi sosial di Indonesia mengatakan bahwa siapa yang bersuara lebih keras akan menjadi pemenang, walaupun dia bisa jadi pihak yang salah. Sepertinya konstruksi sosial seperti ini haruslah kita ubah. Kebenaran bukan ditentukan berdasarkan sia/terrorist-terror-happiness-positpa yang bersuara paling lantang. Jika demikian, maka mereka yang jumlahnya sedikit pasti akan selalu kalah.
Selain itu, ada juga asumsi bahwa pihak yang membalas paling akhir adalah pihak yang menang. Akibatnya, makian akan dibalas dengan makian; siklus ini tidak akan pernah berhenti karena setiap orang ingin menjadi yang terakhir memaki pihak lain.
Penutup
Pernahkah Anda membayangkan, berapa banyak konflik yang bisa dihindari dengan mengedepankan pilihan yang bijak? Berapa banyak pertengkaran yang tidak perlu bisa dikurangi tatkala kita bisa memilih sikap yang tepat?
Anak-anak belajar memilih dengan baik saat mereka memperhatikan orang dewasa di sekitarnya melakukan dengan bijak. Dampaknya? Luar biasa! Kita bisa menghasilkan generasi masa depan yang mampu membuat pilihan yang berdampak! Mengapa tidak? Mari kita mulai dari sekarang!
Salam kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H