Mohon tunggu...
Hany Ferdinando
Hany Ferdinando Mohon Tunggu... Ilmuwan - Penikmat buku dan musik yang suka tentang teknologi, psikologi, pendidikan, flora dan fauna, kebudayaan, dan hubungan antar manusia.

Belajar menulis dengan membaca, belajar kritis dengan menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menimbang Kebutuhan dan Keinginan, Bagaimana Menyikapinya?

4 Januari 2020   16:10 Diperbarui: 4 Januari 2020   16:19 613
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dimodifikasi dari https://www.flickr.com/photos/wolfgangkuhnle/4635904427

Seorang ibu curhat tentang permintaan anaknya yang duduk di bangku SMA. Si anak perlu komputer (laptop) dan ibunya bersedia membelikan. Sampai di sini tidak ada masalah. Konflik mulai muncul tatlaka bicara mengenai angka. Si anak minta laptop dengan spesifikasi yang cukup tinggi sehingga berbanding lurus dengan harganya. Pertanyaannya adalah salahkah permintaan si anak?

Seorang teman mengeluh karena ibunya minta dibelikan HP yang baru karena smartphone yang dipakai saat ini lambat. Menurut ibunya, HP lambat karena memorinya kurang besar. Selain itu, sang ibu juga berkata bahwa HP-nya sudah agak ketinggalan jaman. Selidik punya selidik, ternyata HP tersebut keluaran tahun lalu, jadi maksimal usianya 2 tahun. Ada yang salahkah?

Tetangga bercerita kalau ia butuh uang untuk membeli ban untuk mobil pick up yang dipakai untuk bekerja. Alasannya, uang yang dialokasikan telah digunakan untuk membeli HP baru untuk anaknya. Setahu saya, HP anaknya masih cukup baik. Walaupun ada sedikit pecah layarnya, tetapi secara fungsi masih OK. Bahkan HP tersebut sudah menggunakan teknologi 4G. Si anak berjanji untuk memberikan HP lamanya ke ayahnya, tetapi setelah mendapat HP yang baru, niat tadi dibatalkannya.

Saya punya teman SMA dari keluarga berada, tetapi ketika ulangan selalu ribut untuk meminjam kalkulator dari teman di kelas lain. Bahkan saat mengerjakan soal di kelas pun, dia sibuk mencari pinjaman yang oleh pemiliknya juga sedang digunakan. Suatu saat saya iseng bertanya, mengapa dia tidak membeli saja kalkulator untuk dirinya sendiri. Jawabannya singkat, padat, dan membingungkan! "Ayahku bilang, nanti tunggu edisi yang lebih bagus dari sekarang", demikian jawabnya.

Hati manusia diciptakan lebih besar dari dunia ini

Saya teringat guru agama Kristen di SMA yang berkata bahwa hati manusia diciptakan lebih besar dari dunia ini. Artinya, walaupun dia sudah mendapatkan semuanya, maka hatinya masih belum puas. Hmmm... bener juga, saya pikir. 

Manusia punya keinginan dan itu wajar. Keinginan yang ada dalam diri manusia itu akan memberikan motivasi untuk meraih sesuatu. Motivasi ini yang membuat manusia terus berpikir, berjuang, tidak mudah menyerah, dkk. Memang, motivasi tidak hanya muncul karena keinginan, tetapi saya mau mengatakan bahwa keinginan bisa dipakai untuk memotivasi orang lain dan diri sendiri.

Lalu, bagaimana mengisi kekosongan dalam hati manusia? Sederhana! Mereka yang percaya bahwa Tuhan berdaulat dan berotoritas akan merasa cukup dengan apa yang dimilikinya. Orang yang bersyukur dengan apa yang dimilikinya, tidak akan mengomel dengan apa yang tidak dimilikinya.

Berkaca dari kasus-kasus di atas, maka keinginan yang ada dalam hati itu bisa memberikan motivasi untuk mengerjakan sesuatu, entah benar, entah salah. Misalnya, orang memutushkan untuk menabung hasil kerjanya untuk membeli apa yang diinginkannya. Ini sebuah keputusan yang baik. Namun, ketika orang memutuskan untuk mencuri supaya keingiannya terpenuhi, maka Anda bisa menilai sendiri.

Keinginan vs. kebutuhan

Sebenarnya, inti permasalahan kasus di atas terletak di antara keinginan dan kebutuhan. Keinginan manusia tidak terbatas dan ini cocok dengan apa yang diucapkan guru SMA saya di atas. Seorang anak SD pun, ketika ditanya smartphone apa yang diinginkannya, pasti menyebutkan model terakhir yang harganya melebihi harga laptop kelas menengah.

Masih segar dalam ingatan saya tatkala Indonesia dilanda demam Blackberry. Hampir semua orang memegang perangkat canggih tersebut dan saling bertukar PIN untuk bisa saling kontak melalui layanan chat. Saya tidak pernah memiliki perangkat tersebut. Seorang teman pernah berujar, bahwa HP saya sudah ketinggalan jaman karena saat itu saya masih menggenggam Nokia 3510 (bukan 3510i). Saya tertawa... HP ini masih OK koq buat saya, demikian saya menjawabnya. Apakah saya tidak punya uang? Punya! Tetapi saya memutuskan untuk tidak membeli Blackberry. Catatan, HP tersebut adalah HP kedua saya setelah Nokia 5110 yang legendaris, yang telah menemani saya lebih dari 6 tahun. Akhirnya tibalah hari ketika saya harus ganti HP karena terjatuh dan fungsi tombolnya tidak berfungsi dengan baik. Apakah saya membeli Blackberry? Tidak! Saya belum membutuhkannya...

Wikimedia.org
Wikimedia.org

Sekarang saya menggunakan smartphone, bukan karena tren tetapi disesuaikan dengan kebutuhan. Mau tahu HP saya Galaxy J5 2016! Mengapa tidak membeli tipe lain yang lebih 'canggih'? Sederhana, tipe ini sudah cukup memenuhi kebutuhan saya. 

Ketika anak saya minta dibelikan smartphone, saya menyetujuinya. Kala itu ia berusia 15 tahun dan kalau menuruti keinginannya, batasnya adalah langit! Saya sengaja memancing dengan bertanya tipe apa yang kira-kira cocok. Oooo ternyata dia telah siap dengan jawabannya. Tipe yang dimauinya itu termasuk kelas high-end dengan harga yang cukup tinggi. Saya hanya tersenyum dan berkata kepadanya untuk memikirkan kebutuhannya menggunakan HP, bukan keinginannya, karena keduanya berbeda. Saya memberikan batas harga maksimum. Awaknya dia protes tetapi saya memintanya untuk memikirkannya dengan serius.

Singkat ceritanya, kami pergi ke toko HP dan membeli smartphone yang sesuai dengan kebutuhannya. Harga sesuai dengan batas yang telah saya tentukan. Saya tahu, dia masih belum bisa menerima hal itu, tetapi lambat laun dia bisa mengerti, bahwa memang tidak mudah memisahkan kebutuhan dan keinginan.

Produk elektronik dengan fitur yang banyak tentu akan diikuti oleh harga yang sesuai. Pertanyaannya adalah apakah kita memerlukan semua fitur tersebut? Belum tentu! Orang bisa berdalih bahwa saat ini belum, tetapi mungkin nanti perlu. OK, kita bisa koq melakukan prediksi kalau mau. 

Pemborosan

Ketika saya memutuskan untuk tidak menggunakan Blackberry, saya melihat bahwa saya tidak membutuhkan layanan chat yang dianggap canggih itu. Bagi saya, itu sebuah pengeluaran yang tidak perlu, artinya pemborosan. Namun, ketika ada orang lain yang memerlukan untuk keperluan bisnisnya, itu sah-sah saja! Saya tidak menentangnya... 

yandex.ru
yandex.ru

Ketika saya membeli produk tertentu karena keinginan untuk menjadi sama dengan orang lain, maka saya sedang melakukan pemborosan; dan semua pemborosan adalah hal yang sia-sia. Tidak semua fitur yang ada di situ adalah fitur yang saya perlukan. Namun, buat seseorang dengan mobilitas tinggi dan harus terhubung dengan jaringan untuk pekerjaannya, membeli HP jenis 'jadul' malah pemborosan. Bukankah dia masih harus membeli modem, sebagai perangkat tambahan dan juga laptop atau tablet untuk mengelola pekerjaannya?

Manusia memang mudah dimanipulasi oleh iklan dan orang di sekitarnya. Pandangan bahwa menggunakana produk lama adalah ketinggalan jaman telah mengacaukan kehidupan banyak orang. Pikiran kita setiap hari dibombardir dengan berbagai produk yang ditawarkan untuk dimiliki sebagai bagian dari prestise atau kebutuhan semu. Contoh, iklan kosmetik di Indonesia sebagian besar mengedepankan masalah kulit cerah, karena kulit sebagian besar orang Indonesia itu coklat. Iklan sejenis tidak ditemukan di benua biru Eropa karena kulitnya sudah cenderung cerah. Maka produsen kosmetik menggunakan pendekatan yang lain.

Ini belum urusan warna rambut... Setahu saya, orang yang mengecat rambutnya dengan warna berbeda hanya mengecat rambut di kepalanya. Padahal seharusnya rambut di bagian alis dan bulu mata juga ikut dicat. Bukankah secara alami rambut seseorang warnanya sama dimana pun lokasinya? Saya sering geli melihat orang berambut pirang tetapi bulu matanya hitam. 

Produsen akan berusaha untuk memasarkan produknya dan cara apa pun akan ditempuh. Konsumen juga harus bijak dalam menanggapi sebuah iklan. Tanpa hikmat dan kebijaksanaan, konsumen akan kehilangan akal untuk menangkis serangan yang bertubi-tubi itu.

Penutup

Mari kita selalu mencoba untuk memisahkan kebutuhan dan keinginan. Hal ini penting terutama bagi generasi muda karena kemampuan untuk memisahkan keduanya akan menolong dalam banyak hal. Saya mengajak para orang tua untuk menjadi contoh bagi anak-anaknya. Masihkah anak-anak menjadikan orang tuanya sebagai model? Saya harap demikian!

Salam kompasiana!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun