Mohon tunggu...
Hany Ferdinando
Hany Ferdinando Mohon Tunggu... Ilmuwan - Penikmat buku dan musik yang suka tentang teknologi, psikologi, pendidikan, flora dan fauna, kebudayaan, dan hubungan antar manusia.

Belajar menulis dengan membaca, belajar kritis dengan menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menimbang Kebutuhan dan Keinginan, Bagaimana Menyikapinya?

4 Januari 2020   16:10 Diperbarui: 4 Januari 2020   16:19 613
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masih segar dalam ingatan saya tatkala Indonesia dilanda demam Blackberry. Hampir semua orang memegang perangkat canggih tersebut dan saling bertukar PIN untuk bisa saling kontak melalui layanan chat. Saya tidak pernah memiliki perangkat tersebut. Seorang teman pernah berujar, bahwa HP saya sudah ketinggalan jaman karena saat itu saya masih menggenggam Nokia 3510 (bukan 3510i). Saya tertawa... HP ini masih OK koq buat saya, demikian saya menjawabnya. Apakah saya tidak punya uang? Punya! Tetapi saya memutuskan untuk tidak membeli Blackberry. Catatan, HP tersebut adalah HP kedua saya setelah Nokia 5110 yang legendaris, yang telah menemani saya lebih dari 6 tahun. Akhirnya tibalah hari ketika saya harus ganti HP karena terjatuh dan fungsi tombolnya tidak berfungsi dengan baik. Apakah saya membeli Blackberry? Tidak! Saya belum membutuhkannya...

Wikimedia.org
Wikimedia.org

Sekarang saya menggunakan smartphone, bukan karena tren tetapi disesuaikan dengan kebutuhan. Mau tahu HP saya Galaxy J5 2016! Mengapa tidak membeli tipe lain yang lebih 'canggih'? Sederhana, tipe ini sudah cukup memenuhi kebutuhan saya. 

Ketika anak saya minta dibelikan smartphone, saya menyetujuinya. Kala itu ia berusia 15 tahun dan kalau menuruti keinginannya, batasnya adalah langit! Saya sengaja memancing dengan bertanya tipe apa yang kira-kira cocok. Oooo ternyata dia telah siap dengan jawabannya. Tipe yang dimauinya itu termasuk kelas high-end dengan harga yang cukup tinggi. Saya hanya tersenyum dan berkata kepadanya untuk memikirkan kebutuhannya menggunakan HP, bukan keinginannya, karena keduanya berbeda. Saya memberikan batas harga maksimum. Awaknya dia protes tetapi saya memintanya untuk memikirkannya dengan serius.

Singkat ceritanya, kami pergi ke toko HP dan membeli smartphone yang sesuai dengan kebutuhannya. Harga sesuai dengan batas yang telah saya tentukan. Saya tahu, dia masih belum bisa menerima hal itu, tetapi lambat laun dia bisa mengerti, bahwa memang tidak mudah memisahkan kebutuhan dan keinginan.

Produk elektronik dengan fitur yang banyak tentu akan diikuti oleh harga yang sesuai. Pertanyaannya adalah apakah kita memerlukan semua fitur tersebut? Belum tentu! Orang bisa berdalih bahwa saat ini belum, tetapi mungkin nanti perlu. OK, kita bisa koq melakukan prediksi kalau mau. 

Pemborosan

Ketika saya memutuskan untuk tidak menggunakan Blackberry, saya melihat bahwa saya tidak membutuhkan layanan chat yang dianggap canggih itu. Bagi saya, itu sebuah pengeluaran yang tidak perlu, artinya pemborosan. Namun, ketika ada orang lain yang memerlukan untuk keperluan bisnisnya, itu sah-sah saja! Saya tidak menentangnya... 

yandex.ru
yandex.ru

Ketika saya membeli produk tertentu karena keinginan untuk menjadi sama dengan orang lain, maka saya sedang melakukan pemborosan; dan semua pemborosan adalah hal yang sia-sia. Tidak semua fitur yang ada di situ adalah fitur yang saya perlukan. Namun, buat seseorang dengan mobilitas tinggi dan harus terhubung dengan jaringan untuk pekerjaannya, membeli HP jenis 'jadul' malah pemborosan. Bukankah dia masih harus membeli modem, sebagai perangkat tambahan dan juga laptop atau tablet untuk mengelola pekerjaannya?

Manusia memang mudah dimanipulasi oleh iklan dan orang di sekitarnya. Pandangan bahwa menggunakana produk lama adalah ketinggalan jaman telah mengacaukan kehidupan banyak orang. Pikiran kita setiap hari dibombardir dengan berbagai produk yang ditawarkan untuk dimiliki sebagai bagian dari prestise atau kebutuhan semu. Contoh, iklan kosmetik di Indonesia sebagian besar mengedepankan masalah kulit cerah, karena kulit sebagian besar orang Indonesia itu coklat. Iklan sejenis tidak ditemukan di benua biru Eropa karena kulitnya sudah cenderung cerah. Maka produsen kosmetik menggunakan pendekatan yang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun