Jumlahnya pasti jauh lebih besar daripada biaya penanggulangan banjir yang dihemat, eh, dipangkas maksudnya, sebesar 400M oleh Pemprov DKI pada APBD-P 2018. Oleh karena itu, program penanganan banjir di 2019 kemungkinan besar tidak maksimal.
Bagaimana dengan kerugian immaterial? Ini sulit sekali dihitung. Berapa korban jiwa yang telah terdata? Bagaimana dengan pendidikan anak-anak yang terbengkalai karena banjir? Bagaimana kerugian terkait dengan trauma?Â
Ini belum termasuk matinya geliat ekonomi karena banjir. Pusat perdagangan pasti sepi dan tidak ada perputaran uang di sana. Belum lagi ribuan, bahkan ratusan ribu atau jutaan, pegawai yang tidak bisa masuk kerja karena kantornya dilanda banjir atau jalanan yang tidak dilalui.
Penerbangan yang dibatalkan tentu akan berdampak bagi mereka yang punya urusan penting di luar Jakarta.
Kerugian material bisa diperoleh ketika seseorang memiliki asuransi. Nilainya jelas tergantung dari kontrak awal polis.
Jumlahnya mungkin lebih kecil dari kerugian material yang sesungguhnya, tetapi masih ada yang menanggung. Buat mereka yang tidak memiliki asuransi hanya bisa gigit jari karena pasti Pemprov DKI tidak bersedia menanggungnya.
Perusahaan asuransi pailit gara-gara banjir?
Saya tidak tahu bagaimana perasaan perusahaan asuransi ketika hujan deras mulai mengguyur Jakarta dan persiapan menghadapi banjir juga terlihat seadanya. Apakah mereka mulai mengerahkan pegawainya untuk mulai menghitung potensi klaim yang mungkin akan dimasukkan?
Rasa khawatir itu kian memuncak tatkala beberapa daerah mulai terendam cukup dalam dan jumlahnya terus bertambah.
Ternyata penanganan banjir yang tidak profesional bisa berdampak besar bagi perusahaan asuransi. Ini yang mungkin terlewatkan dari pikiran Pemprov DKI Jakarta.
Apakah perusahaan asuransi bisa berkelit dengan menggunakan klausul Force Majeure? Ini akan menimbulkan perdebatan yang panjang.