Mohon tunggu...
Hany Ferdinando
Hany Ferdinando Mohon Tunggu... Ilmuwan - Penikmat buku dan musik yang suka tentang teknologi, psikologi, pendidikan, flora dan fauna, kebudayaan, dan hubungan antar manusia.

Belajar menulis dengan membaca, belajar kritis dengan menulis

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Menilik Regulasi Negara Finlandia dalam Mengurus Izin Penjualan Makanan

2 Januari 2020   23:12 Diperbarui: 3 Januari 2020   10:05 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagaimana diberitakan di kompas.com, 250 warga di Jember keracunan ikan tongkol. Diduga kuat bahwa ikan tersebut disimpan pada suhu yang "terlalu hangat", yaitu di atas 6 derajad (celsius). Oleh karena itu, kandungan histamine dalam ikan meningkat dan itu menjadi racun. Mengapa angka 6? Kan lebih enak menggunakan angka 5 atau 10 yang lebih mudah diingat. 

Kasus lain adalah hal-hal yang telah dilaporkan melalui reportase investigasi yang disiarkan TV swasta beberapa tahun yang lalu. Saya tidak tahu apakah program sejenis masih ada atau tidak.

Namun, program tersebut memberikan edukasi kepada konsumen untuk berhati-hati. Kesimpulannya adalah sebaiknya membuat sendiri saja makanan dan minuman yang ingin dikonsumsi. 

Sebelum ada BJPS
Ketika acara reportase investigasi ditayangkan beberapa tahun yang lalu, Indonesia belum menerapkan BJPS. Kala itu, sakit menjadi risiko warga negara sendiri. Bahkan ada omongan bahwa orang miskin tidak boleh sakit karena biayanya bisa di luar kemampuannya. 

Sumber: www.png-files.com
Sumber: www.png-files.com
Kepedulian negara terhadap kesehatan warganya tercermin dari kehadiran BPOM. Di situlah negara hadir membela warganya dari berbagai serbuan makanan dan obat yang berbahaya. BPOM sudah berulang kali melakukan sidak di supermarket dan toko untuk mengevaluasi makanan dan minuman yang sudah tidak layak jual lagi.

Saya rasa, BPOM juga akan melakukan sidak di depot dan restoran karena alasan yang sama. Masalahnya, BPOM akan kekurangan waktu, tenaga, dan biaya untuk sidak ke para pedagang penjual makanan keliling yang jumlahnya terlalu banyak dan bisa bertambah setiap hari.

Supermarket, toko, depot, dan restoran yang melanggar ketentuan bisa dicabut izin usahanya. Lalu bagaimana dengan pedagang makanan keliling?

Mereka tidak punya izin khusus, sehingga BPOM juga tidak bisa menjerat mereka ketika ditemukan pelanggaran. Membayar denda atau dimasukkan penjara adalah langkah yang mungkin diambil.

Namun, ini pun tidak mudah, apakah sekelompok orang ini saja yang melakukan praktek yang demikian? Belum lagi nanti urusan HAM dibawa-bawa karena dianggap tidak peduli dengan orang kecil yang mengais rejeki untuk hidup.

Oleh karena BPJS belum ada, maka orang itu sendiri yang menanggung biaya sakit gara mengkonsumsi makanan. Jika keracunan itu diketahui dari depot tertentu, mungkin pemilik depot yang harus menanggung biaya sakitnya.

Lalu bagaimana dengan sakit akibat dampak jangka panjang mengkonsumsi makanan yang mengandung zat berbahaya? Ini menjadi urusan pribadi yang bersangkutan.

Setelah ada BPJS
Kehadiran BPJS telah mengubah layanan kesehatan di Indonesia. Omongan "orang miskin tidak boleh sakit", mulai ditinggalkan karena kini semua orang bisa mendapatkan layanan kesehatan.

Beberapa anggota keluarga saya sudah mengalami pertolongan BPJS, mulai dari urusan suntik lutut yang biayanya mencapai 6 juta, hingga operasi karena kanker dan proses kemoterapinya.

Kini, negara hadir dengan lebih jelas untuk layanan kesehatan warganya. Dulu hanya sekadar menghadirkan BPOM tanpa bisa berbuat banyak.

money.kompas.com
money.kompas.com
Namun, BPJS beberapa waktu yang lalu mengalami defisit sehingga harus disuntik dana oleh pemerintah. Memang telah terjadi kesalahan proses perhitungan premi sehingga premi yang dibayarkan terlalu rendah dan akibatnya tidak cukup untuk membayar tagihan layanan kesehatan. 

Selain itu, saya menduga ada kontribusi dari sakit akibat mengkonsumsi makanan yang mengandung zat berbahaya. Dampaknya memang tidak langsung sehingga sulit untuk ditelusuri penyebab sakit tersebut.

Bisa jadi, itu merupakan "kerja sama" antara beberapa penjual makanan (baik yang permanen, semi-permanen, maupun keliling).

BPOM jelas tidak bisa mengendalikan pedagang keliling dan semi-permanen. Untuk urusan depot dan restoran saja mereka sudah kewalahan, apalagi ditambah dengan yang lain dengan jumlah yang jauh lebih besar.

Menertibkan proses perizinan para penjual makanan bukan hal yang mudah. Izin yang ketat dianggap tidak berpihak kepada masyarakat kecil, tetapi izin yang longgar bisa memicu berbagai masalah.

Namun, cepat atau lambat hal ini harus diselesaikan karena kini negara memiliki instrumen BPJS yang mengelola keuangan terkait layanan kesehatan.

Belajar dari Finlandia
Oleh karena saya tinggal di Finlandia, izinkanlah saya berbagi bagaimana negara ini mengurusi penjualan makanan. Negara perlu mengatur karena layanan kesehatan di sini gratis, dalam arti warga hanya membayar biaya pendaftaran dan 60% biaya obat yang dibeli melalui resep. Jadi biaya dokter, obat yang langsung diberikan oleh RS, dan penggunaan alat kesehatan ditanggung negara.

Jika pasien menginap, maka hanya dibebani biaya menginap yang berhubungan dengan makanan dan layanan. Hal ini diberikan bahkan kepada warga asing.

Ada cerita seseorang (bukan warga negara) yang dioperasi karena ada tumor yang diduga ganas. Pihak keluarga sudah pasrah dengan kemungkinan biaya yang dikeluarkan.

Namun, betapa terkejutnya mereka tatkala tagihan rumah sakit hanya sekitar 150 Euro. Mereka berpikir bahwa nanti akan datang tagihan terpisah untuk biaya dokter, tetapi hingga kini tagihan itu tidak datang, demikian diceritakan oleh anggota keluarga tersebut. Wow! Luar biasa!

Pajak menjadi jawaban dari semuanya, pemerintah mengalokasikan sebagian pajak untuk layanan kesehatan. Jadi,tidak ada iuran seperti BPJS yang diterapkan seperti di Indonesia.

Oleh karena negara yang mengelola layanan kesehatan, maka sumber penyakit harus ditangani dengan baik dan salah satunya adalah makanan. 

Negara mengatur bahwa hal-hal yang berhubungan dengan makanan harus melewati izin khusus. Mereka yang bekerja di industri (besar maupun kecil) makanan harus memenuhi syarat tertentu.

Dokumentasi Evira
Dokumentasi Evira
Izin higienitas (Hygiene Pass) dikeluarkan oleh EVIRA, sebuah lembaga yang ditunjuk pemerintah untuk mengeluarkannya. Mereka yang ingin mendapatkannya harus menjawab dengan benar minimum 36 dari 40 soal tes tertulis. Oleh karena itu, ELVIRA juga menyediakan buku panduan untuk belajar.

Dalam buku kecil tersebut, dijelaskan berbagai macam hal terkait dengan proses penyimpanan makanan dan bahannya. Berapa suhu tertinggi yang diizinkan, berapa lama bahan makanan tertentu boleh dibiarkan di suhu ruangan (setiap bahan makanan ada aturan terpisah), kemungkinan kerusakan bahan makanan karena dipanaskan ulang, dll.

Pendek kata, isinya cukup detail, bahkan sampai mengatur suhu makanan yang disajikan dan atribut yang dikenakan penjual makanan supaya tidak mencemari makanan (penggunaan sarung tangan, tutup kepala, dll).

Pendirian usaha depot atau restoran pun ada regulasinya. Mereka yang berjualan semi-permanen hanya diizinkan di luar area tertentu. Bagi pemilik depot permanen, ada hal-hal yang harus dipenuhi seperti tersedianya 1 WC untuk setiap 20 pengunjung, WC yang terpisah antara pekerja dan pengunjung, penggunaan penyedot asap dan panas untuk mereka yang memasak, dan lain sebagainya. 

Setiap tahun akan diadakan pemeriksaan dan pemilik depot harus membayar biaya inspeksi. Hasil inspeksi akan diberikan dalam bentuk selembar kertas A4 yang bisa dipajang di pintu masuk untuk meyakinkan calon pelanggan bahwa depot tersebut AMAN.

Penerapan di Indonesia?
Penerapan kebijakan seperti itu di Indonesia bisa dibilang masih sebatas angan-angan. Ini bagai buah simalakama bagi pemerintah. Penerapannya akan benar-benar melindungi warganya dari berbagai macam penyakit dan membantu pengelolaan BPJS, tetapi bisa mematikan banyak usaha kecil yang dilakoni oleh para pedagang keliling.

Saya tahu bahwa ada pedagang keliling yang jujur dalam berusaha tanpa mau merugikan orang lain. Ini yang patut diapresiasi. Hanya saja, ulah oknum yang tidak bertanggung jawab telah membuat figur pedagang keliling sebagai biang masalah kesehatan jangka panjang.

Sumber: pixabay.com
Sumber: pixabay.com
Sungguh, ini bukan proses yang mudah tetapi Indonesia perlu menerapkan aturan yang ketat supaya dampaknya tidak ke mana-mana. Selain itu, pengelolaan pelayanan kesehatan melalui BPJS juga tidak membuat negara malah tekor. Sampai kapankah hal ini akan terus berlangsung? Ketika berbicara tentang keamanan mengkonsumsi makanan, maka kita sampai pada kesimpulan bahwa memang sebaiknya membuat sendiri makanan tersebut.

Namun, ini pun tidak mudah. Membuat makanan sendiri berarti harus belanja, memasak, dan membersihkan dapur akibat kegiatan tersebut. Lebih praktis membeli, tinggal bayar dan menerima hasil jadinya tanpa perlu repot belanja dan membersihkan dapur.

Penutup
Indonesia yang ramah bagi semua orang adalah cita-cita kita bersama. Ramah, sehingga kita aman mengkonsumsi makanan yang dijual. Ramah, sehingga kita bisa menikmati pelayanan kesehatan yang baik. Mari kita bersama-sama mewujudkannya dengan cara peduli dengan orang di sektiar ktia.

Salam kompasiana!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun