Mohon tunggu...
Hany Ferdinando
Hany Ferdinando Mohon Tunggu... Ilmuwan - Penikmat buku dan musik yang suka tentang teknologi, psikologi, pendidikan, flora dan fauna, kebudayaan, dan hubungan antar manusia.

Belajar menulis dengan membaca, belajar kritis dengan menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Predikat Sekolah Terbaik, Masih Relevankah?

31 Desember 2019   18:34 Diperbarui: 1 Januari 2020   11:24 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selain itu, soal ujian pada saat REMIDI dibuat sendiri, sehingga sekolah juga punya peluang untuk "mengatur" kondisi pencapaian SKM. Jujur saja, REMIDI adalah proses yang melelahkan.

Mengapa sekolah memberlakukan REMIDI? Walaupun ada yang mengatakan bahwa itu sudah diatur dalam UU Sisdiknas, sebenarnya sekolah juga diuntungkan! REMIDI bisa mengangkat rata-rata SKM sekolah. Itu berarti predikat sebagai sekolah "berkualitas" makin dekat. 

REMIDI bukan hak siswa, ini pendapat saya! Setiap guru seharusnya tahu kemampuan siswa di kelasnya. Paling tidak itu yang saya alami sendiri. Siswa yang bermalas-malasan di kelas, tentu punya peluang kecil untuk menyelesaikan ujiannya. 

Apakah mereka berhak mendapatkan REMIDI? Seharusnya tidak! REMIDI seharusnya diberikan kepada mereka yang mau belajar tetapi gagal dalam ujiannya.

Masih relevankah predikat sekolah "berkualitas"?
Predikat sekolah "berkualitas" memunculkan label sekolah "tidak berkualitas" dan ini tidak bisa dipungkiri lagi. Oleh karena sekolah "berkualitas" meraih predikat tersebut karena bisa memilih siswa dan proses REMIDI (yang menurut saya salah kaprah), maka istilah ini perlu ditinjau ulang.

Kualitas sekolah seharusnya dilihat dari proses belajar mengajarnya, bukan hasil belajarnya. Selama ini, sekolah telah terjebak pada orientasi hasil sehingga mengabaikan proses pencapaiannya.

Siswa bukan diajar untuk memahami konsep, tetapi diajar untuk bisa menyelesaikan persoalan dengan cepat dan tepat. Oleh karena itu, bejibun rumus harus dihafalkan karena itu jembatan untuk menghitung dengan cepat dan tepat. 

Akibatnya, ketika rumus hanya sekedar dihafalkan, siswa tidak pernah belajar konsep dengan baik. Bahkan, siswa menganggap konsep tidak penting. 

Permasalahannya adalah belum ada instrumen yang tepat untuk menilai proses belajar mengajar di sekolah. Borang akreditasi yang dibuat menjelang proses akreditasi juga sebenarnya hanya angka dan ulasan tanpa bisa menggambarkan situasi yang sebenarnya. 

Akibatnya, sekolah "berkualitas" biasanya akan tetap mendapatkan nilai A saat akreditasi, walaupun kemungkinan besar proses belajar mengajarnya perlu dipertanyakan.

Istilah "berkualitas" dan "tidak berkualitas" sebenarnya menyiratkan adanya perbedaan antar sekolah. Pemerintah belum mampu menyediakan sistem pendidikan yang merata kualitasnya di seluruh Indonesia. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun