Setahu saya, sekolah dianggap menyandang predikat ini karena prestasi (baik akademik maupun non-akademik) yang diraihnya, rata-rata SKM, dan prosentase lulusannya yang diterima di perguruan tinggi yang juga "berkualitas". Apakah Anda memiliki tambahan kriteria? Silakan menambahkannya di kolom komentar.Â
Sepertinya, kriteria-kriteria di atas masuk akal untuk dijadikan acuan penilaian kualitas sekolah. Benarkah demikian? Sekolah "berkualitas" tidak sembarangan menerima siswa, sehingga bisa dibilang siswanya adalah anak-anak "pilihan".Â
Sekolah punya kebebasan memilih karena jumlah pendaftarnya lebih banyak daripada jumlah kursi yang tersedia.Â
Saya belum pernah mendengar sekolah jenis ini kekurangan siswa. Dengan kondisi ini, maka wajar saja jika dalam berbagai macam lomba sekolah ini akan menjadi jawaranya.Â
Sekolah yang seperti ini ibaratnya menerima 100 siswa padahal yang mendaftar cuma 99. Mohon maaf jika hal ini bisa membuat Anda tersinggung.Â
Namun, saya ingin menunjukkan bahwa sekolah yang dianggap tidak berkualitas ini sepertinya tinggal menunggu ajal jika pemerintah tidak turun tangan.
Dengan dukungan siswa-siswa pilihan, apakah meraih rata-rata SKM yang tinggi sebuah halangan? Tidak! Sekolah yang seperti ini tinggal melaju saja dan rata-rata SKM akan tetap tinggi tanpa perlu bersusah payah. Selain itu, prosentase lulusannya yang diterima di PT "berkualitas" juga tetap tinggi.
Namun, meraih rata-rata SKM yang tinggi belumlah cukup. Memang manusia tidak pernah puas! Tujuan akhirnya adalah meraih rata-rata SKM tertinggi dan bisa mengalahkan sekolah "berkualitas" yang lain. Di sinilah letak permasalahan utamanya.
Apakah para pembaca mengenal istilah REMIDIASI? Yup! Ini istilah yang sangat dikenal, bukan saja di kalangan siswa, tetapi juga orang tua.
Remidiasi
Di kalangan siswa, istilah ini mengalami penyingkatan menjadi "REMIDI". Remidiasi akan memberikan kesempatan kepada siswa untuk ujian ulang ketika ujian pertamanya gagal.Â