Mohon tunggu...
Hany Ferdinando
Hany Ferdinando Mohon Tunggu... Ilmuwan - Penikmat buku dan musik yang suka tentang teknologi, psikologi, pendidikan, flora dan fauna, kebudayaan, dan hubungan antar manusia.

Belajar menulis dengan membaca, belajar kritis dengan menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Marahkah Anda Jika Dipanggil Kera atau Monyet?

2 September 2019   18:14 Diperbarui: 4 September 2019   00:56 870
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Laman berita kompas.com hari ini memuat berita tentang penemuan tengkorak 3,8 juta tahun yang membingungkan ahli tentang asal usul manusia. Saya tidak terkejut karena memang temuan-temuan berikutnya saya yakin akan lebih membingungkan lagi. 

Sebelum saya lanjutkan, perlu saya klarifikasi dulu bahwa saya penganut paham penciptaan dan bukan evolusi.

Secara umum terdapat teori bumi yang tua dan bumi yang muda. Teori pertama adalah konsep yang dipakai oleh para evolusionist (penganut paham evolusi) yang menggunakan angka di kisaran 'juta' untuk menunjukkan usia bumi, sehingga cocok dengan usia fosil yang biasanya diestimasi menggunakan carbon-14. 

Teori kedua muncul berdasarkan penelitian terkait dengan penurunan parameter-parameter yang dipakai di dunia Fisika seperti kecepatan cahaya, kekuatan medan magnet bumi, dll. yang mengalami penurunan secara perlahan. 

tangkapan layar dari sains.kompas.com
tangkapan layar dari sains.kompas.com
Jika nilainya dihitung mundur hingga jutaan tahun, maka hasilnya tidak masuk akal. Misalnya kekuatan medan magnet bumi bisa sangat tinggi. Teori kedua ini biasanya dijadikan acuan penganut penciptaan (creationist). Saya tidak akan membahas kedua teori tersebut.

Manusia berevolusi dari kera?

Salah satu bahan menarik dalam diskusi terkait evolusi adalah kera merupakan nenek moyang manusia. Benarkah demikian? Setidaknya banyak evolusionis yang mencoba membuktikan hal tersebut. 

Berbagai temuan fosil dianalisa untuk membuat teori baru yang mendukung konsep kera merupakan nenek moyang manusia. Belum pernah ada yang bisa membuktikan secara empiris kebenaran teori tersebut. 

Di tengah-tengah kebingungan manusia untuk menjelaskan teori tersebut, dimunculkanlah teori rantai yang hilang (the missing link) atau rantai yang tidak ditemukan.

sumber: pixabay.com
sumber: pixabay.com
Menurut saya, seseorang bisa melakukan klaim tentang missing link jika memang pernah menemukannya lalu hilang.

Contoh, saya mengatakan kepada Anda bahwa saya memiliki sebuah jam tangan mekanik yang sangat bagus, bahkan lebih bagus daripada jam tangan mekanik termahal di dunia sekalipun. 

Anda tentu penasaran dan ingin melihatnya kan! Saya berkata bahwa jam tersebut hilang. Percayakah Anda dengan cerita saya?

Dalam konsep rantai yang hilang atau tidak ditemukan tersebut, para evolusionis berkata bahwa di situlah terletak kunci dari misteri kera merupakan nenek moyang manusia.

Jadi, ada banyak usaha yang dilakukan untuk menemukan potongan rantai yang hilang itu. Missing link seolah menjadi tempat pelarian para evolusionis tatkala klaim yang disampaikan sepertinya saling berlawanan.

Pertanyaannya adalah apakah memang ada rantai yang hilang atau memang rantai tersebut tidak pernah ada? Tidak seorang pun bisa menjawab hal ini.

Tentu saja para creationist berpendapat bahwa memang tidak ada rantai yang hilang sama sekali. Bukankah ledakan cambria (cambria explosion) termasuk salah satu fenomena yang membingungkan para evolutionist? 

Buat pembaca yang belum mengerti, ledakan cambria adalah masa geologis dimana ditemukan variasi mahluk hidup yang jauh lebih banyak daripada zaman geologis yang lain.

Bagaimana ketika Anda dipanggil kera?

Berita yang saya baca tiba-tiba mengingatkan saya dengan salah satu pemicu kerusuhan di Papua. Tanpa bermaksud menguak luka tersebut, saya ingin bertanya, "Marahkah Anda jika dipanggil kera?" Gara-gara sebutan ini, terjadi keributan yang hingga kini belum ditemukan penyelesaiannya.

Saya sendiri akan marah jika dipanggil seperti itu karena saya bukan kera. Selain itu, saya juga bukan hasil evolusi dari kera. Jadi, saya tidak punya 'hubungan batin' dengan kera dan sejenisnya. Sebagai penganut paham penciptaan, saya memiliki alasan yang sangat kuat untuk marah. 

Hal yang lebih penting lagi, saya adalah manusia yang diciptakan segambar dan serupa dengan Allah. Silakan dibaca di Kejadian 1:27, Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya,  menurut gambar Allah  diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. 

Hal ini berimplikasi bahwa memanggil manusia sebagai kera, berarti memanggil Allah (maaf) kera juga. Apakah Allah perlu saya bela? Tidak! Karena Allah sanggup membela diri-Nya sendiri. 

Siapakah saya yang sanggup menjadi pembela-Nya? Jika saya diangkat-Nya menjadi pembela-Nya, itu tentu bukan semata-mata karena kecakapan saya, tetapi karena perkenan-Nya.

Setahu saya, banyak orang akan marah ketika dipanggil kera. Apakah ini termasuk para evolusionist? Saya tidak tahu bagaimana para evolusionist merespon pertanyaan tersebut di atas, tetapi saya lebih tertarik dengan alasan kemarahannya. 

Ketika seorang evolusionist marah karena dipanggil kera, sejatinya telah terjadi paradoks dalam hidupnya. Bukankah dia mengakui bahwa kera adalah nenek moyangnya? Bukankah dia mengakui bahwa dalam darahnya mengalir darah kera juga? Lalu dimana salahnya? 

Mungkinkah seorang evolusionist marah karena menganggap orang yang memanggilnya tersebut sedang melecehkan nenek moyangnya? Mungkin juga lho! Bukankah orang Indonesia diajar untuk menghormati dan menghargai nenek moyangnya? 

Menggunakan sebutan 'kera' bisa berarti menyebut nenek moyangnya dengan sembarangan. Apakah analisis ini masuk akal? Mungkin!

Sementara ini hanya kedua hal tersebut yang bisa saya bayangkan dari seorang evolusionist yang marah ketika dipanggil kera. Mungkin lain kali saya akan menambahkan sesuatu di sini jika ada hal lain yang terlintas di benak saya.

Penutup

Jadi, bagaimana Anda sendiri bereaksi terhadap pertanyaan yang tertulis sebagai judul dari tulisan ini? Setiap reaksi pasti ada alasannya. Saya telah menyatakan secara terbuka alasan kemarahan saya. 

Mungkin Anda cukup memikirkan dan menjawabnya dalam hati. Ingat! Setiap alasan pasti berhubungan dengan paradigma yang kita pegang.

Salam kompasiana!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun