Menurut saya, entrepreneurship lebih banyak memerlukan mental yang kuat. Ilmu tetap diperlukan, tetapi kesiapan mental jauh lebih besar. Apakah ini sudah dimasukkan dalam kurikulum pendidikan sekolah yang berorientasi ke entrepreneurship? Sepertinya belum! Kalau saya salah, mohon koreksi ya!
Tanggapan #2
Revolusi industri 4.0 jelas sebuah peluang dan ancaman. Peluang bagi mereka yang siap dan ancaman bagi mereka yang mengabaikannya. Jika demikian, bukankah lebih baik menyiapkan anak-anak untuk menghadapi era tersebut? Hmm….bagaimana jika saat dewasa nanti ternyata tantangannya sudah di 5.0? Saya setuju bahwa wawasan ini harus diberikan kepada anak-anak, tetapi mulai kapan?
Sistem pendidikan di Finlandia memberikan kebebasan bagi anak untuk berkembang, bahkan anak usia 2-6 tahun masih menikmati porsi bermain dengan aktivitas fisik dalam porsi besar. Memperkenalkan anak pada entrepreneurship bukan hal yang salah, tetapi saya ingin mengritisi konsep membawa anak ke dunia entrepreneurship. Bukankah anak sudah tidak memiliki kebebasan eksplorasi seperti yang diterapkan di päiväkoti dan eskari? Kalau demikian, bagaimana tanggung jawab "mencatut" nama Finlandia dalam sistem pendidikan yang diterapkan? Bukankah Finlandia menerapkan Batasan usia yang sangat ketat?
Penutup
Mungkin saya salah karena hanya membaca berita tanpa bertanya langsung kepada pihak yang memberikan klaim tentang penggunakan sistem pendidikan Finlandia dalam sekolah yang didirikan. Namun, mohon maaf… sekolah yang baru akan mulai pasti bisa membuat berbagai macam janji yang belum bisa ditagih (ya, mirip-mirip dengan janji masa kampanye). Jadi saya menuliskan hal-hal ini supaya kita punya catatan, hal-hal apa yang seharusnya dievaluasi setelah sekolah tersebut berjalan sekitar 10 tahun.
Saat ini bukanlah saat yang tepat untuk berdebat tentang penerapan sistem pendidikan Finlandia di sana, karena toh sekolah belum jalan. Buat apa kita membuang energi untuk mendiskusikan sesuatu yang belum dijalankan? Pihak sekolah pasti bisa "berkelit" dari berbagai macam pertanyaan. Nah, setelah berjalan sekitar 10 tahun, baru kita bisa mengevaluasi apakah klaim yang dinyatakan 10 tahun yang lalu itu dapat dibuktikan atau tidak.
Jika klaim sekolah tersebut dapat dibuktikan, bukankah pembaca yang terpengaruh tulisan saya bisa marah karena terlambat memasukkan anaknya ke sekolah itu? Mohon maaf, saya hanya menyampaikan tanggapan yang kemudian saya bagikan. Masalah percaya atau tidak, itu sebuah pilihan. Masing-masing kita bertanggung jawab untuk setiap pilihan yang kita buat, bukan orang lain. Sudah seharusnya pilihan ditetapkan setelah menimbang banyak hal dan bukan tulisan saya ini saja.
Saya sering mendapat pertanyaan apakah benar sekolah di Finlandia tidak mengenal PR seperti video-video yang disebarkan melalui media sosial. Kenyataannya, PR tetap ada! Anak saya sejak kelas 1 SD sudah dapat PR juga, hanya porsinya tidak sebesar yang di Indonesia.
Menggunakan kata kunci FINLANDIA dalam sebuah promosi sekolah memang sangat menggiurkan. Saya hanya merasa bahwa ini adalah bagian dari trik pemasaran.Â
Nama Finlandia memang sangat menjual dalam ruang lingkup pendidikan. Ini bisa membuat orang gelap mata dan percaya begitu saja, apalagi dituliskan bahwa ada orang Finlandia yang ikut urun rembug di sekolah itu. Kombinasi yang mantap bukan!