Debat Cawapres 17 Maret 2019 lalu menyisakan sesuatu yang mengganjal di pikiran saya terkait dengan pendidikan di Indonesia yang dinilai tidak sesuai dengan kebutuhan dunia kerja. Pengangguran yang tinggi digiring kepada konsep bahwa ada sesuatu yang salah dengan pendidikan kita. Benarkah demikian? Jika benar, di mana letak masalahnya?
Beberapa kali terdengar kata "Link and Match" didengungkan oleh salah satu calon. Apakah ini konsep yang baru? Tidak! Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Wardiman Djojonegoro, beberapa tahun lalu. Jadi, jangan Anda terpukau dengan konsep indah "Link and Match" yang diangkat sebagai isu utama terkait dengan masalah dunia pendidikan. Dicanangkan pertama kali sekitar tahun 1990-an, program Link and Match tidak berjalan sesuai harapan, setidaknya itu pengamatan saya.
Perguruan Tinggi (PT) sebagai salah satu "pemasok" tenaga ahli dianggap tidak menjalankan peran dengan maksimal, karena lulusan PT ternyata dianggap tidak siap kerja. Industri masih harus melakukan berbagai macam training untuk memperlengkapi mereka. Hal ini memicu lahirnya berbagai PT dari dunia industri, misalnya Politeknik Astra, Universitas Telkom, dll.
Link and Match
Saat Link and Match dicanangkan pertama kali, saya cukup kagum dengan ide ini. Waktu itu saya masih berstatus sebagai mahasiswa. Sebuah program yang akan menjembatani dunia pendidikan dengan dunia kerja. Dengan diselaraskannya kedua dunia yang berbeda ini, maka negara "berharap" dapat menurunkan angka pengangguran.
Menurut pengamatan saya, Link and Match lebih diarahkan untuk menampung lulusan PT untuk masuk dunia industri (baca: kerja). Industri ini bukan sekadar pabrik atau industri manufaktur, tetapi termasuk di dalamnya kantor akuntan publik, konsultasi hukum, dll.Â
Seingat saya, tidak ada terobosan besar yang dilakukan dari Link and Match, hingga akhirnya muncul UU sistem pendidikan nasional yang membagi pendidikan menjadi dua bagian besar: pendidikan akademik dan pendidikan vokasi. Pemisahan ini berdampak pada pemberian gelarnya juga. Selesaikah permasalahan? Tidak!
Kasus 1: Dunia industri bergerak lebih cepat dari dunia pendidikan
Tidak dapat dipungkiri bahwa dunia industri bergerak lebih cepat daripada dunia pendidikan. Menurut saya, inilah sumber masalah utama hingga munculnya berbagai macam pelatihan di industri untuk memperlengkapi pegawainya dengan teknologi yang paling mutakhir. Dunia pendidikan dianggap ketinggalan zaman karena masih mengajarkan ilmu kuno yang sudah ketinggalan zaman. Benarkah demikian?
Jika dunia pendidikan dituntut untuk bisa mengajarkan ilmu yang sesuai dengan perkembangan teknologi, maka hasilnya adalah seperti menjaring angin. Untuk bisa mengajar dengan baik, seorang guru/dosen harus menguasai materinya. Tentu saja mereka perlu waktu beberapa tahun untuk menguasainya dan kemudian menuangkan dalam materi pembelajaran. Tatkala materi pembelajaran sudah siap, ternyata teknologi sudah bergeser lagi ke arah yang lain. Siklus ini tidak akan pernah selesai dan pasti akan membuat dunia pendidikan mengalami tekanan yang luar biasa.
Jadi, Link and Match harus didefinisikan dengan jelas! Jika hanya dimunculkan sebagai jargon penyelarasan pendidikan dengan dunia kerja, hasilnya tidak akan pernah ada.Â