Mengapa untuk menjadi guru, seseorang cuma diharuskan menempuh pendidikan untuk mendapatkan S.Pd tanpa perlu ada proses panjang seperti halnya menjadi dokter?Â
Saya tidak tahu! Pikiran liar saya mengembara dan menemukan salah satu jawaban yang masuk akal, yaitu profesi guru tidak ada (mungkin lebih baik menggunakan istilah 'jauh sekali') dari resiko kematian siswa, selama guru tersebut tidak memukul atau menyakiti siswanya. Memang, beberapa program pencetak S.Pd mengharuskan mahasiswanya untuk praktek menajdi guru seperti koas yang dilakukan oleh calon penyandang S.Ked.
Saya tidak akan meneruskan tulisan ini dengan membandingkan ketidakadilan antara profesi guru dan dokter. Fokus tulisan ini adalah pada guru sebagai ujung tombak pendidikan yang berimbas pada kemajuan bangsa. Jadi, mari kita lihat dampak-dampak yang bisa timbul karena proses yang bisa dibilang singkat tersebut.
Saya tidak yakin bahwa kurikulum di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) benar-benar menyiapkan seseorang menjadi guru yang berkualitas. Semuanya itu hanya faktor pendukung untuk memahami proses pembelajaran sehingga (semoga) seseorang bisa menjadi guru. Program koas bagi guru menurut pengamatan saya lebih ke arah formalitas, mohon maaf.
Jika seorang guru salah dalam mengajar, resikonya memang bukan kematian siswa, tetapi kematian sebuah bangsa di masa depan! Apakah resiko ini masih terlalu kecil?
Usulan solusi
Bagaimana jika program pendidikan di FKU diadopsi oleh FKIP? Jadi, selain menyelesaikan 4 tahun masa studi normal, calon S.Pd diharuskan koas selama 1 tahun, lalu mengikuti ujian sebelum menyandang S.Pd dan dilanjutkan dengan program penempatan untuk berhak menjadi guru.
Wah, koq jadi panjang? Mungkin Anda bertanya, bagaimana jika sedikit peminatnya sehingga sehingga rasio 1:17 di atas menjadi lebih buruk? Di sinilah diperlukan peran serta masyarakat untuk membuka wawasan putra terbaik bangsa untuk mau menjadi guru.
Guru identik dengan volume kerja yang tinggi dengan gaji yang minim. Masyarakat ingin mendapatkan pendidikan yang murah tetapi berkualitas sehingga penghargaan terhadap guru juga rendah.Â
Di sini saya melihat betapa prinsip ekonomi, dengan modal sekecil mungkin ingin mendapatkan untuk sebesar mungkin, telah salah diterapkan. Saya tidak menyalahkan prinsip ekonomi tersebut, tetapi bukankah logika ini tidak bisa diterapkan pada pendidikan?
Pendidikan anak adalah sebuah investasi yang akan kembali dalam waktu yang cukup lama dan belum tentu dalam bentuk materi. Jika semua diukur dengan materi, maka pendidikan tidak pernah bisa benar-benar memuaskan prinsip investasi. Perubahan mental dan pola pikir sebagai luaran hasil belajar, bagaimana bisa dikonversi ke nilai uang?