Berapa banyak rekan dosen yang setelah menyelesaikan studi lanjut malahan diberi jabatan yang sifatnya administratif sehingga tidak punya waktu lagi untuk mengembangkan ilmunya? Bagi PTN, sepertinya tidak terlalu masalah karena jumlah SDM yang besar. Tetapi ini sebuah masalah besar bagi PTS. SDM yang terbatas masih harus berbagi dengan tugas administratif yang menyita waktu dan energi. Bagaimana mungkin mereka bisa mempelajari hal baru untuk menghasilkan sebuah kurikulum yang dinamis dan mengikuti kebutuhan pasar?
Tantangan Dukungan Fasilitas Penunjang
Kurikulum yang dinamis dan menjawab kebutuhan pasar harus didukung dengan fasilitas yang memadai. Keberadaan alat dengan dukungan perangkat keras dan perangkat lunak menjadi sebuah keharusan. Mengajarkan ilmu yang bisa dipakai diaplikasikan harus ditunjang dengan peralatan yang memadai. Bukankah mengikuti perkembangan dunia luar berarti menyediakan dana yang cukup besar? Sekali lagi, ini menjadi beban yang luar biasa besar bagi PTS yang harus mencari sendiri dananya.
Tantangan Perubahan Sistem Pendidikan
Sistem pendidikan kita bisa dibilang sudah kacau balau. SMK dan SMA dibuat untuk menjawab tantangan lulusan dengan jalur kerja yang bisa dikatakan berbeda. Masuk di tingkat perguruan tinggi, ada program S1 (fokus pada akademik) dan D4 (fokus pada vokasi) yang langsung memisahkan jenis pekerjaan keduanya. Kurikulum berbasis kompetensi yang digadang-gadang akan menjawab kebutuhan pasar ternyata disikapi dan dijalankan dengan tidak seimbang.Â
Bisa dibilang, program S1 merambah ke area D4 karena kompetensi yang dimasukkan sedikit sekali yang berhubungan dengan dunia akademik, misalnya penelitian. Beberapa PT yang ingin bermain aman memasukkan kompetensi yang sufatnya umum (bisa di akademik dan vokasi), misalnya, tanggung jawab, komitmen, tidak mudah menyerah, dll. Bukankah ini sebuah kompetensi yang terlalu umum? Apakah seorang mahasiswa bisa lulus dengan kompetensi ini tanpa menguasai ilmunya?
PR besar yang perlu dilakukan pemerintah adalah mengubah pola pikir masyarakat dan ini bisa memakan biaya yang sangat besar. Masyarakat perlu disadarkan bahwa gelar akademik bukan segalanya. Dambaan mendapatkan gelar akademik tetapi tidak ingin bekerja di dunia akademik sudah mengubah dunia pendidikan kita.Â
Program S1 yang diarahkan ke program akademik, lulusannya dinilai tidak mampu untuk terjun di industri atau pekerjaan di luar akademik, akibatnya program S1 berlomba-lomba mengubah kurikulumnya untuk menjawab tantangan yang salah ini. Dengan demikian, lulusan program S1 tidak lagi dipandang sebelah mata.
Penutup
Tidak bisa dipungkiri bahwa komentar singkat Presiden Joko Widodo ini (seharusnya) akan memicu munculnya terobosan di dunia pendidikan kita. Selain itu, biaya yang diserap juga tidak sedikit. Bisa jadi, alokasi 20% APBN untuk pendidikan mengalami defisit dan perlu diperbesar, tetapi integritas pengelolaan dana yang besar ini masih dipertanyakan. Banyak kasus korupsi yang masih merajalela dan ini menjadi PR besar bukan saja bagi pemerintah tetapi juga masyarakat. Â
Selain itu, menuntaskan semua perubahan ini pasti memerlukan waktu yang panjang. Apakah pergantian presiden tidak akan mengganti program yang masif ini?