Mohon tunggu...
Hany Ferdinando
Hany Ferdinando Mohon Tunggu... Ilmuwan - Penikmat buku dan musik yang suka tentang teknologi, psikologi, pendidikan, flora dan fauna, kebudayaan, dan hubungan antar manusia.

Belajar menulis dengan membaca, belajar kritis dengan menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kampung Adat Takpala, Bagaikan Menyusuri Masa Lalu

9 Maret 2017   03:27 Diperbarui: 10 Maret 2017   02:00 1430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Baju adat di kampung Takpala (dok. pribadi)

Dalam kunjungan saya ke Kabupaten Alor, Desember 2016 lalu, saya berkesempatan untuk mengunjungi sebuah kampung adat yang dinamai Takpala. Berlokasi di desa Lembur, kecamatan Alor Tengah Utara, kampung adat ini bagaikan tempat kita bisa menyusuri masa lalu, saat jaman belum semaju sekarang. Dari kota Kalabahi, ibukota kabupaten Alor, mobil yang kami naiki menembus jalan beraspal menuju ke arah Alor Kecil dan selanjutnya ke arah Kokar. Menyusuri pantai barat pulau Alor dengan deburan ombak yang memecah di tepian karangnya, membuat perjalanan kami tidak terlalu membosankan, kecuali bagi mereka yang memang tidak menyukai pantai.

Di daerah Alor Kecil, kami singgal sebentar untuk menikmati beningnya laut di dekat pulau Kepa yang berada di sebelah barat pulau Alor. Suasana di pantai ini memang rindang dengan beberapa tempat duduk yang dibuat dari bambu. Angin yang bertiup lembut membuat mata ini terasa berat apalagi deburan ombak terdengan lirih saat matahari bersinar dengan terangnya. Setelah beberapa menit di sana, kami segera beranjak menuju desa Kokar sebelum mencapai kampung adat Takpala.

Menikmati beningnya laut di dekat pulau Kepa, kab. Alor (dok. pribadi)
Menikmati beningnya laut di dekat pulau Kepa, kab. Alor (dok. pribadi)
Kampung adat Takpala terletak di daerah bukit. Dengan situasi jalan yang berbatu-batu, maka keahlian mengendalikan si roda empat menjadi sesuatu yang sangat penting. Jalan berliku harus ditembus untuk mencapai kampung adat yang terletak hampir di puncak bukit itu. Hati-hati! Banyak pengunjung yang melewatkan belokan ke kanan karena memang papan penunjuk arahnya tidak terlalu besar. 

Tatkala kami sampai di ujung jalan, pemandangan laut terhampar di hadapan kami. Pohon yang rimbun memberikan kesejukan setiba kami di sana. Suasana yang serba hijau menghiasi alam yang masih alami itu.

Pemandangan laut dari atas bukit di Takpala (dok. pribadi)
Pemandangan laut dari atas bukit di Takpala (dok. pribadi)
Puas menikmati pemandangan laut dari ketinggian bukit, perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki menaiki tangga yang tidak terlalu tinggi. Ternyata jumlah anak tangganya tidak sampai 30 dan kami harus melanjutkan perjalanan melewati jalan mendaki yang berbatu. Memang, di sebelah kiri (saat mendaki bukit) dibuat orang pagar untuk pengaman. Tetapi apalah artinya jika seseorang jatuh terpeleset ke bawah. Saya membayangkan bahwa jalan itu pasti sangat licin saat hujan.

Kampung adat Takpala ini terdiri dari beberapa rumah adat yang masih ditinggali. Rumahnya berupa rumah panggung beratap daun yang terdiri dari beberapa tingkat. Tingkat pertama adalah semacam area untuk menerima tamu. Ini adalah area yang berada di posisi paling bawah (perhatikan rumah paling kiri). Atap rumah yang ditutup dengan daun kering itu menjadi tempat tinggal yang sesungguhnya. Di dalamnya terdapat beberapa tingkat yang dapat diakses dengan menggunakan tangga.

Rumah adat (dok. pribadi)
Rumah adat (dok. pribadi)
Seperti halnya pada kebudayaan di daerah tersebut, setiap suku memiliki sebuah tempat yang digunakan untuk memberikan persembahan kepada dewa yang mereka percaya melindungi daerahnya. Mereka menyebutnya sebagai mesbah dan biasanya terletak di tengah perkampungan. Di Takpala, mesbah itu bentuknya seperti sumur (lihat bagian tengah gambar di atas). Bagaimana penampakan mesbah tersebut dari dekat?

(dok. pribadi)
(dok. pribadi)
Rumah adat ini merupakan rumah panggung yang ditopang oleh empat tiang besar (lihat gambar di bawah). Desain tiang penopang ini diberi sebuah 'atap' sebelum menyentiuh atap yang sesungguhnya. Mengapa demikian? Itu supaya tikus tidak dapat masuk ke dalam rumah. Tikus mungkin masih bisa menaiki area untuk menerima tamu tetapi tidak akan bisa memasuki area yang digunakan sebagai tempat tinggal. Sebuah kearifan lokal yang luar biasa. Jika diperhatikan, atap area tamu ini berupa jalinan batang bambu yang memang harus cukup kuat untuk menopang semua penghuni rumah.

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Saya berkesempatan untuk memasuki tempat dimana penghuni rumah tinggal. Akses masuknya adalah sebuah lobang pada atap yang kita lihat di gambar atas dan penghuni akan menaiki sebuah tangga bambu yang telah disediakan. Seperti apa suasana di dalam rumah itu?

Suasana di dalam rumah (dok. pribadi)
Suasana di dalam rumah (dok. pribadi)
Oleh karena saya berkunjung saat siang hari, maka cahaya matahari bise menembus celah-celah bambu yang menopang tempat penghuni tinggal. Kalau malam, bisa dipastikan bahwa kondisinya pasti gelap gulita. Oleh karena itu, di bagian tengah orang biasanya membakar kayu untuk penerangan dan penghangat karena angin bisa menembus celah-celah batang bambu. Selain itu, asapnya juga bermanfaat untuk mengusir nyamuk. Saya langsung teringat beberapa acara terkait survival di Discovery channel.

(dok. pribadi)
(dok. pribadi)
Sebagai sebuah pengalaman budaya, kampung adat ini juga menyewakan baju adat untuk dipakai dan difoto. Berapa tarifnya? Rp. 25.000 per orang. Jumlah foto yang mau diambil tidak dihitung. Mau foto sampai memory habis juga tidak masalah. Seperti umumnya daerah di timor, baju adat selalu menggunakan kain tenun yang coraknya sesuai dengan suku dan daerahnya.

Baju adat di kampung Takpala (dok. pribadi)
Baju adat di kampung Takpala (dok. pribadi)
Figur pria dimunculkan sebagai figur pelindung dan prajurit perang. Dia bertanggung jawab untuk melindungi kaum wanita dan anak-anak serta mencari makanan berupa hewan buruan. Figur wanita digambarkan sebagai seorang yang suka bekerja dengan tangannya.

Kampung yang ditetapkan sebagai kampung adat berdasarkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan No. 180/C/A/5/93 sebenarnya masih menyimpan banyak kearifan lokal yang menarik untuk digali. Bukan sekedar daerah yang dikonservasikan tetapi juga sebuah area pembelajaran yang sangat kompleks, mulai dari pengaturan posisi rumah adat hingga ritual yang dilakukan, menjadi daya tarik tersendiri bagi penyuka antropologi dan kebudayaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun