Si Bahadur baru tahu, tantang anaknya Pak Kadiman yang ternyata cantiknya setengah dari Aisyah Radiyallahuanha (istri muda nabi Muhammad SAW). Lewat coretan-coretannya, yang mengenal Bahadur pastilah paham, dia sosok pemalu untuk mendekati cewek, bukan karena kurang tampan, tetapi sebabnya karena Bahadur punya penyakit panu di sekujur tangannya yang tak kunjung sembuh-sembuh.Â
Hati Bahadur ada keinginan untuk memilikinya, tapi apalah daya jika harus terhalangi oleh sesuatu yang membuatnya kalah mental untuk mendapatkan pujaan hatinya. Kepada Pak Kadiman, Bahadur selalu menegaskan perasaannya, tetapi Pak Kadiman telah menjadi pengikut ideologi kebo nuruti gudel (keputusan bapak ikut anak), dan tidak ingin memaksakan kehendak tentang kepada siapa cinta anaknya mencintai seorang pria.
" Tak pernah terbayang bunga disana menebar wangi sejuknya, inikah tentang cinta? Yah, begitulah perasaanku padanya. Aku ingin melukai sedikit saja gunung semeru biar tidak tinggi lagi, biar saja alam berubah, aku memang dangkal, sampai mana kulihat semua rata dengan perasaanku. " celetuk Bahadur kepada Pak Kadiman.
" Husss ngawur kamu dur, Â jangan seperti itulah, cinta memang butuh pengorbanan, tapi tidak dengan mengorbankan kepentingan umum." Sontak Pak Kadiman.
" Lalu apa dayamu menghalangiku Pak, mengatasi anakmu saja kamu tak mampu, ayolah tunangkan aku dengan anakmu, aku jatuh cinta padanya ketika pertama bertemu." Rayu Bahadur.
" Dur, aku bukannya tidak ingin membantumu, tapi jika cinta anakku kupaksakan padamu, apakah itu tidak dosa? Sebab aku khawatir dia takut padaku, sementara yang wajib kita takuti di semesta ini hanya Allah SWT, aku khawatir dia jadi syirik. " Jawab tegas Pak Kadiman.
" Tidaklah pak, Allah SWT pastilah tahu dia takut padamu sebab kamu bapaknya, sedangkan Takutnya dia kepada Allah SWT sebab taqwanya kepada penciptanya. Kapan hari lalu aku telah rembukkan dengan Majelis Ulama Senduro; sama-sama takut akan memiliki banyak sudut pandang, sebab takut bukanlah kata kerja, tetapi kata perasaan." Sahut Bahadur.
" Mengalir saja dur, cinta itu laksana mata air ranu regulo, jalani saja sebab cinta tidak akan ragu-ragu datang kepada hamba yang terus berusaha." Jawab Pak Kadiman.
Pembicaraan pun berakhir, dengan wajah kecewa Bahadur kepada harapan calon mertuanya itu. Bahadur memang salah, sebab ketakutan untuk mengungkapkan perasaannya, tetapi ia ingin banyak toleransi sebagai sama-sama umat nabi adam kepada Pak Kadiman.Â
Tak peduli apa pun, yang jelas Bahadur terlalu kekanak-kanakan memahami arti cinta yang sebenarnya. Sekitar setahun kemudian, ternyata Pak Kadiman telah memiliki calon mantu pilihan anaknya sendiri, namanya Wijoyo. Seorang buruh tani yang berlatar agama berbeda dengan keluarga Pak Kadiman. Untuk Bahadur lewat sepucuk surat Pak Kadiman menyelipkan tulisannya di dalam undangan pernikahan anaknya.
" Kuatkanlah hatimu Bahadur..
Anakku akhirnya memiliki pujaan hatinya sendiri. Itu ternyata bukan kamu, tetapi bukan maksud anakku untuk tidak menganggap status sosial apapun dirimu di hatinya. Kamu bisa berteman baik dengannya, seperti dahulu ketika kamu belum terlalu masuk kedalam perasaanmu sendiri untuk mengkultuskan cintamu kepada anakku. Kini saatnya kamu belajar banyak kepada suami anakku, mengapa dia sampai mengikuti agama istrinya?
kini dia muslim. Begitukah arti dari toleransi cinta?. Aku pikir akan banyak pelajaran berarti dari Wijoyo kepadamu. Tentang memaknai pengorbanan untuk cinta." Tulis isi surat Pak Kadiman.
Bahadur yang mendapatkan surat + undangan pernikahan pujaan hatinya seperti mendapatkan bom nuklir di rumahnya. Perasaannya langsung njelongop ke dasar inti bumi. Ditambah lagi, tersiar gosip bahwa Pak Kadiman mengundangnya juga sebagai sinoman ketika putrinya akan menikah nanti. Tetapi Bahadur menyimpan rasa penasaran siapa sosok Wijoyo, calon menantu Pak Kadiman itu.Â
Maka dari itu dia akan datang sebagai sinoman juga tamu undangan pernikahan pujaan hatinya. Tiba ketika waktu memek/manggulan, Bahadur pun datang di acara pernikahannya. Kepada Wijoyo, Bahadur bersalaman, dengan memegang tangannya, Bahadur melontarkan pertanyaan kepada Wijoyo.
" Ajarkan aku tentang arti cinta, pengorbanan, dan toleransi? " tanya Bahadur.
" kamu tahu siapa yang ada di dalamnya, apakah cinta ada di dalam agama, atau agama ada di dalam cinta?. Kamu tahu siapa yang ada di dalam hatimu, atau adakah dirimu di dalam hatimu sendiri?. Itulah mengapa aku mengikuti agama istriku, sebab tiada lagi yang ada di dalam hatiku selain dirinya, sementara di dalam hati istriku tidak pernah ada diriku, dia hanya mencintai Tuhannya.Â
Lalu, apakah aku masih meragukan akan sosok Tuhan yang maha sempurna atas diri istriku yang kuanggap sempurna itu?. Aku tidak ingin kehilangan cara memahami cinta yang sebenarnya, dari rasa cintaku yang tulus kepada istiku. Jika ini kamu artikan toleransi, aku pikir cinta sudah lumrah dengan kata toleransi, sebab toleransi selalu ada atas diri kita yang termisbah sebagai umat nabi adam sejak dulu. Cinta akan melintasi atas nama agama mana pun." Jawab Wijoyo kepada Bahadur.
Bahadur pun memahami dengan seksama pelajaran dari Wijoyo, dia pun menjadi sadar akan arti cinta. Sebab selama ini memang sangat sulit memiliki seorang Guru Cinta. Sampai harus bertapa pun, kata cinta masih terlalu tinggi untuk dipelajari oleh manusia biasa. Bertemu Wijoyo, kini Bahadur memiliki sudut pandang yang lebih luas lagi akan filosofi cinta. Mereka pun hidup rukun, sebagai dua tokoh pemuda kecamatan Senduro. Tamat.
Semoga bermanfaat
Salam hangat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H