Jam sudah menunjukkan pukul 1 dini hari, namun kedua sejoli itu masih saja mengolah rasa ditemani gelas kopi yang sudah nyaris kosong di depan mereka. Obrolan yang sudah mulai jarang terurai dari bibir masing-masing tetapi hati masih enggan berpisah meskipun logika sadar esok hari Senin di mana mereka harus sampai kantor sebelum pukul 8 pagi. Toh mereka tak perduli. Bahkan untuk membunuh rasa kantuk yang sudah meronta di pelupuk mata, dengan sengaja sang perempuan meletakkan kepalanya di bahu sang lelaki. Lelaki itu tak bergeming bahkan tetap fokus dengan sudut pandang matanya yang tengah menatap keluar kaca di depan mereka. Baginya cukup dengan wanita di sampingnya nyaman maka apapun akan ia lakukan. Ia tak mengharapkan apapun darinya sebab bisa bersamanya malam ini sudah lebih dari cukup.
Bendungan Hilir atau Benhil adalah salah satu kelurahan di Jakarta Pusat. Orang menyebutnya surga makanan di mana kamu bisa mendapatkan berbagai macam panganan dengan mudah, mulai dari makanan tradisional ataupun makanan high class. Semua ada. Dan di sinilah mereka. Di salah satu cafe di samping Pizza Hut. Menghabiskan malam dan menikmati kebersamaan yang terasa begitu manis. Di dalam cafe hanya tersisa mereka berdua saja, sementara di smoking area ada beberapa pasangan lain yang tengah menghabiskan malam seperti mereka. Hanya sayangnya pemandangan yang bisa mereka saksikan lewat kaca yang membatasi mereka dengan pengunjung lain itu tampak begitu ganjil bagi mereka berdua.
"Uhm, mereka ketemuan dan duduk di meja yang sama tapi sibuk dengan hape masing-masing. Terus ngapain ketemu?"
Perempuan yang masih asyik menopang kepalanya di bahu kekar laki-laki di sampingnya itu hanya tersenyum kemudian terkekeh sebentar menanggapinya. Ia tahu lelaki ini begitu kritis tentang segala hal. Begitu perasa. Sangat perhatian dan sensitif.
"See! Pasangan yang sebelah sana juga gitu. Asyik maen game tapi ceweknya dicuekin." Ucapnya dengan nada sebal.
"Mas, uda ah. Biarin aja mereka mau ngapain, itu hak mereka."
Lalu pandangan lelaki dengan tinggi badan 173 cm itu beralih ke jam tangannya.
"De, uda jam 1.20 pagi loh. Ga mo pulang? Besok ngantor kan?"
"Uhhmmmm" Perempuan bernama Yuza itu hanya bergumam tanpa merubah posisinya.
"Sepuluh menit lagi, mas. Pleaseeee..."
"Aku sih ga masalah mau nemenin kamu di sini sampe jam berapa pun. Tapi kasian kamunya besok ngantor  pagi loh."
"Yauda, yuk pulang! Mas juga kan besok harus ngantor pagi, belom lagi dari Benhil ke Tanjung Priok jauhnya minta ampun."
Yuza bangun menegakkan kepalanya lalu duduk termangu sesaat. Tak lama Aru sudah berdiri sempurna lalu mengulurkan tangan kanannya ke arah Yuza. Ia tahu perempuan ini masih enggan beranjak. Kemudian setelah memberikan sebuah senyuman tepat ke dalam mata Aru, Yuza meraih tangan itu dan turun dari kursi yang memang agak tinggi. Aru menggenggam tangan itu menuju parkiran motor lalu melepaskannya ketika akan memakaikan helm ke kepala Yuza.
"Nih, pake helm-nya dulu."
"Siap, boss! Lagian cuma 200 meter doang ke kostanku dari sini, mas." Tukasnya meledek.
"Safety is priority, young lady!"
"Well noted, Sir!" Kekeh Yuza sembari tersenyum dan memandangi wajah teduh lelaki di depannya dengan intens sementara ia sibuk menyatukan pengait helm agar terpasang dengan benar.
Jalanan di sekitar pasar Benhil sudah sepi aktivitas, hanya terlihat beberapa pedagang warung tenda  yang sedang membereskan dagangannya. Motor yang dilajukan Aru masuk ke dalam gang di belakang restoran Padang Sederhana, kemudian berhenti di sebuah gerbang bangunan berlantai 4 dengan mesin masih menyala. Serta merta Yuza turun dari boncengan lalu berusaha melepas kait helm yang dipakainya.
"Mas, susaahhh." Keluh Yuza sembari memonyongkan bibirnya beberapa senti.
Sejenak Aru tersenyum gemas melihat kelakuan perempuan di depannya itu, lalu menyingkirkan tangan Yuza dengan lembut sebelum akhirnya kait itu terhempas bersamaan dengan helm yang terlepas dari kepalanya.
"Uhm, mas Aru emang paling bisa diandelin." Â Ucap Yuza dengan wajah berbinar.
"Uda gih sana masuk, gosok gigi trus langsung tidur."
"Yauda mas jalan, biar aku liatin sampe ilang di gang."
"Kamu yang naek ke atas duluan, de. Mana bisa aku pergi sebelum mastiin kamu masuk dengan selamat."
"Iya deh, iya. Aku masuk yah, mas. Makasih uda nemenin aku ngobrol sampe pagi. Kabarin kalo mas uda sampe ya."
"Iya. Buruan masuk!"
Yuza membuka gerbang di depannya lalu menguncinya kembali seraya melambaikan tangan sebelum akhirnya  menghilang di balik pintu kaca kostannya tersebut. Lalu dari jendela kaca di lantai dua sejenak ia menengok ke bawah, tersenyum melihat motor Aru menghilang di balik gedung sebelah sebelum akhirnya ia naik ke lantai tiga kamarnya.
***
"Za, dokumen ini tolong minta tanda tangan boss lo dong. Urgent nih! Sebelom jam makan siang gue ambil ya." Seru Dea sembari meletakkan sebuah map berwarna merah lengkap dengan label sign here-nya.
"Iya, lo taroh meja gue aja. Gue mau ke toilet dulu, cuci muka." Jawab Yuza seraya berdiri.
"Kenapa lo? Baru jam 9 pagi uda cuci muka aja."
"Ngantuk gue, semalem baru tidur jam 3 pagi."
"Etdah busyeett! Ngapain aja lo, Za?"
Tanpa sempat menjawab, Yuza sudah ngeloyor ke toilet gedung yang terletak di bagian pojok kanan unit kantornya. Di depan kaca wastafel, ia basuh wajahnya beberapa kali dengan air sembari sesekali menepuk-nepuk kedua pipinya agak keras berharap rasa kantuk bisa sedikit berkurang.
'Sial! Ga lagi-lagi deh gue begadang kalo besok paginya ngantor.' Umpatnya dalam hati.
***
"Mas di mana?" Seru Yuza via telfon yang lebih mirip teriakan untuk menandingi suara riuh ratusan manusia yang tengah berolahraga dalam moment Car Free Day (CFD) di jalan Sudirman Minggu pagi ini.
"Depan Komdak, de. Kamu di mana?"
"Lah jauh, uda sampe sana. Aku di depan BRI."
"Abis nungguin kamu lama, lari duluan tadi. Yauda tunggu situ aja, mas lari ke sana sekarang."
Tak sampai 5 menit Aru sudah tersenyum simpul menatap Yuza yang tengah asyik selfie di tengah kerumunan orang yang lalu lalang.
"Mau foto atau mau olahraga, eh?"
"Ish mas, bikin kaget aja!"
"Yauda, yuk mulai lari."
"Kita naik ke lingkar Semanggi aja yuk, mas. Di sana banyak spot bagus buat foto." Tukas Yuza sembari memamerkan deretan gigi putih yang berbaris rata.
"Tuh kan, niatnya mau foto bukan olahraga."
"Kan ini judulnya menyelam sambil minum air, mas. Hahaha"
Dengan susah payah Yuza menyeimbangkan langkah Aru yang berlari lebih dulu darinya. Maklum saja, Aru seorang runner yang sudah sering memenangkan lomba lari dan menyabet beberapa mendali, sedangkan Yuza sendiri begitu malas berolahraga. Beruntung ia memiliki badan ideal yang agak susah gemuk.
"Maassss! Jangan cepet-cepet larinya ish! Kaya mau lomba lari aja." Sewotnya sembari berhenti dan mengatur nafas.
Aru menghampirinya, menertawakan kelucuan perempuan di depannya sembari geleng-geleng kepala.
"Sini, ade ikutin mas lari aja. Mas kurangin deh kecepatan larinya."
Serta merta Aru meraih tangan kanan Yuza, menggenggamnya erat lalu mulai berlari pelan menaiki lingkar susun Semanggi yang menjadi salah satu land mark-nya Jakarta itu.
"Nah, di sini bagus buat foto, mas!" Seru Yuza sembari meletakkan jari jempol dan telunjuknya di udara.
"Okay, bentar  mas fotoin."
Aru membuka tas kamera, kemudian mengeluarkan kamera Canon 600D miliknya.
"Eh, terus kameraku dibawa buat apa ini?" Ucap Yuza yang urung mengeluarkan kameranya.
"Pake  punya mas aja, de. Biar mas punya foto kamu."
Yuza sesaat terkesiap mendengar ucapan Aru barusan. Bohong jika ia tidak merasa ada desir aneh dalam hatinya, namun ia tahu ia tak berhak memiliki rasa terhadap Aru.
"De, kok bengong? Katanya tadi minta foto."
"Eh, i-iyaa, mas."
Cekrek cekreek cekreekk
Aru menatap puas ke layar kameranya. Tak terasa sudah puluhan foto yang ia ambil dengan Yuza sebagai modelnya. Tak sulit mendapatkan foto bagus dari perempuan itu karena ia tipe fotogenic yang pandai berpose ditambah spot foto yang mendukung.
"Bagus ga, mas?"
"Bagus dong, siapa dulu yang moto."
"Idih, ge-er!" Cibir Yuza pura-pura sebal.
"Hahaha. Nanti mas masukin ke google drive dulu ya, baru mas kirim ke kamu."
"Okeee. Mas, cari makan yuk! Aku laper nih."
"Loh ade kan belom olahraga, ko uda mau makan aja?"
"Udahan ah, capeee! Tadi kan uda lari sama mas. hehehe"
"Dasaaarr! Ngajak CFD katanya mau olahraga taunya malah foto-foto. Yauda mau cari makan di mana?"
"Ke Grand Indonesia aja yuk, mas?"
"Jauhnya, de. Di deket kostan ade kan banyak tempat makanan."
"Boseeenn."
Akhirnya Aru hanya menuruti permintaan Yuza. Mereka menuju salah satu mall dengan grade A tersebut dengan menggunakan bus Trans Jakarta sebab motor Aru diparkirkan di Dukuh Atas, sedangkan kendaraan tidak ada yang boleh masuk ke jalan Sudirman sebelum jam 10 pagi. Satu-satunya kendaraan yang boleh melaju hanya Trans Jakarta dengan jalur khususnya.
***
Daimaru Prambudi.
Laki-laki berumur 34 tahun yang berasal dari Surabaya, kota terbesar kedua di Indonesia dan sudah hampir 11 tahun ia menetap di Jakarta. Selama 5 tahun terakhir ia berprofesi sebagai salah satu staff ekspor-impor di salah satu perusahaan multinasional di kawasan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Pelabuhan Tanjung Priok sendiri adalah pelabuhan terbesar dan tersibuk di Indonesia yang merupakan akses utama alur ekspor-impor negeri ini dilakukan. Ribuan barang keluar dan masuk lewat pintu pelabuhan ini setiap harinya. Selalu ada ritme aktivitas yang padat di sana.
Aru. Begitu orang-orang biasa memanggilnya. Berkulit sawo matang yang mempertegas gaya maskulinnya dengan gaya berpakaian yang khas yaitu joger pants dipadu kaos oblong dengan sneakers New Balance warna putih kesayangannya. Pakaian itu menyatu sempurna di tubuh proporsionalnya, tak jarang membuat mata kaum hawa menatapnya dengan kagum. Aru adalah seorang yatim-piatu yang telah merasai kerasnya hidup di ibu kota tanpa bantuan siapa pun ketika awal mula merantau. Namun syukur kini ia telah mempunyai rumah sendiri di kawasan Depok yang saat ini masih ia angsur setiap bulannya. Rumah itu sengaja ia kontrakan karena ia belum memiliki istri untuk diajak tinggal di sana, sedangkan ia sendiri memilih tetap tinggal di kostan dekat kantornya.
"Ru, pak Daniel minta lo yang buat annual report-nya. Sebelum Rabu harus uda submit karna bentar lagi masuk akhir tahun."
"Kok gue yang buat? Itu kan tugas lo sebagai accounting."
"Dia maunya elo yang buat, bro. Katanya punya lo lebih rapih dan detail. Dia minta gue belajar sama lo."
"Menang banyak lo!"
"Hahaha. Gue traktir makan siang deh selama seminggu. Gimana? Deal?"
"Kaga usah. Beliin gue kopi aja selama seminggu."
"Okay, deal! Thank you, Ru!"
Ringan tangan. Begitulah salah satu karakter Aru yang membuat siapa pun nyaman di dekatnya, tak terkecuali kaum hawa. Banyak perempuan yang ingin dekat dengannya bahkan tak jarang mereka yang  mendahului untuk mendekatinya. Namun baginya mencintai bukan perkara yang mudah. Dan Yuza? Entah bagaimana ia bisa jatuh hati begitu saja meski ia tahu tak boleh punya perasaan lebih kepadanya. Namun soal hati tidaklah sesederhana ya atau tidak, bukan?
***
Aru tiba di kostan pukul 8 malam, ia beristirahat sejenak lalu mandi. Setelah itu ia merebahkan tubuhnya di atas kasur seraya membuka akun Instagramnya.
Deg!
Pada feed teratas, ia langsung melihat foto Yuza bersama seorang laki-laki tengah berfoto mesra. Ada rasa nyeri yang langsung menghinggapi hatinya, namun ia tak bisa berbuat apapun. Toh dari awal ia tahu bahwa Yuza sudah memiliki seorang kekasih yang sudah berjalan lebih dari 2 tahun lamanya meski sejak ia di Jakarta mereka menjalani LDR. Tetapi ia masih saja ingin selalu dekat dengannya.
Dengan malas ia bangun, mengambil kamera dari dalam dry box lalu membuka foto-foto Yuza yang ia ambil minggu lalu saat CFD. Memandangi beraneka gaya lucu Yuza dalam foto itu membuat Aru tak berhenti tersenyum. Ia tahu ia mencintai wanita yang salah. Tetapi saat ini ia sedang tak ingin perduli dengan itu semua.
Tak lama, sebuah pesan Whatsapp masuk dari Yuza.
Yuza Maharani
[Mas, besok Sabtu malem bisa ketemu?
Aku mau ngomong sama kamu.]
     Daimaru Prambudi
     [Loh kamu bukannya lagi pulang
     kampung ke Bandung ya, de?]
Yuza Maharani
[Iya mas, tapi besok lusa aku uda sampe
Jakarta lagi kok.]
                                                               Daimaru Prambudi
  [Mau mas jemput di stasiun?
  Sampe jam berapa keretanya?]
Yuza Maharani
[Jam 5 sore di stasiun Gambir, mas.]
                                                               Daimaru Prambudi
    [Yauda, besok mas jemput yah.]
***
Sabtu malam membuat hiruk pikuk Jakarta makin menjadi, kebanyakan orang menikmati akhir pekan dengan mengujungi mall entah untuk berbelanja, nonton, makan, karaokean, dan sekedar nongkrong di cafe bersama keluarga atau pasangan.
Tepat pukul 7 malam Aru sudah berada pada barisan pengunjung yang tengah mengantre memesan kopi di Starbucks west mall-nya Grand Indonesia. Ia sengaja langsung memesan sembari menunggu Yuza datang. Biasanya kalau mereka jalan, Aru selalu menjemputnya di kostan tetapi kali ini Yuza keukeuh minta ketemu langsung saja di tempat. Kasian kalau Aru menjemputnya di kostan berarti ia harus bolak-balik, katanya. Lagian jarak antara kostan Yuza dengan GI hanya 10 menit saja menggunakan ojek online.
"Mas, maaf ya aku baru sampe." Ujar Yuza yang langsung mencubit lengan Aru dengan lembut.
Aru tersenyum memandang perempuan di hadapannya, ia raih tangannya lalu mengaitkan jarinya di sela-sela jari milik Yuza.
"Ga papa. Ade cari tempat aja gih, biar mas yang orderin. Minumannya kaya biasa kan? Mau  pastry?"
"Iya kaya biasa aja, mas. Pastry nya ga usah, aku uda kenyang." Jawab Yuza seraya beranjak untuk mencari tempat duduk ternyaman. Dan akhirnya ia memilih duduk di sofa berwarna coklat di sudut ruangan.
"Nih punya ade. Ice vanilla latte size grande with whipped cream."
"Makasih, Â mas." Jawab Yuza seraya meraih minumannya dari tangan Aru.
Sesaat hening melingkupi antara mereka meskipun pengujung lain ramai mengobrol dengan berbagai macam topik.
"Mas?"
"Uhmmm?"
Yuza gusar, bergerak tak nyaman di tempat duduknya. Bingung menyampaikan apa yang harus ia beri tahu kepada Aru.
"Uhmm, sebulan lagi aku tunangan sama Daffa. Aku pengen kita ga usah ketemu lagi, mas. Meski nanti mungkin aku ajak mas ketemuan, tolong ga usah diladenin. Aku ga mau nyakitin mas lagi."
Glek!
Rasanya minuman di tenggorokan Aru tertahan, susah sekali untuk masuk.
Ia sadar suatu saat harus menghadapi ini, melepaskan Yuza untuk lelaki lain. Tapi rasanya ia tak siap jika harus sekarang. Atau bahkan takkan pernah siap. Sesaat ia menarik nafas panjang lalu melepaskannya dengan kasar. Aru tahu perempuan di depannya ini sengaja menunduk dalam untuk menahan tangis atau bahkan ia sudah menangis di sana. Ia mungkin tidak benar-benar tahu apakah Yuza mencintainya atau tidak namun ia sadar tak punya hak untuk mempertanyakan hal itu. Dulu atau sekarang. Tetapi hatinya mampu merasakan perasaan cinta dari Yuza meski jelas tak sebesar miliknya.
'Ah Tuhan, mengapa harus ada hati antara aku dan Yuza? Mengapa harus dengan cara seperti ini kisah kami bersemi?'
"De, mas ga pernah nyesel ketemu kamu meskipun harus berakhir dengan cara begini. Dan kapan pun kamu mau ketemu, mas akan selalu ada. Mendengarkan semua ocehan ade tentang berbagai hal walaupun kadang ga penting, menghabiskan kopi bersama, nonton dan ngobrol sampe pagi."
Lalu isak tertahan dari Yuza mulai terdengar meskipun ia tak merubah posisinya.
"Dan tolong jangan nangis, de. Jangan buat mas terpaksa peluk kamu malem ini."
"Mas, cukup! Aku ga nangis kok." Seru Yuza dengan suara parau.
"Mas bukan lelaki baik, kamu tahu itu. Tetapi kamu berharga buat mas, Za. Dengan kamu, mas cuma berani pegang tangan atau usap kepala kamu. Kamu beda dari perempuan yang pernah mas temui. Mas lakuin itu bukan karena kamu milik orang lain, tetapi karena mas tulus menghargaimu."
Sejurus kemudian, dengan tak sabar Yuza mengaduk tasnya dan mengambil tissu untuk mengelap matanya yang basah. Air matanya semakin deras keluar dan ia mulai kewalahan menahan isaknya. Lalu Aru bangkit, dengan tak sabar ia duduk di samping Yuza. Meraih kepalanya lembut kemudian meletakkannya di dada bidang miliknya. Yuza bergerak menolak pelukan itu.
"Turutin mas, de. Rame orang loh, ga malu dikira kita lagi berantem?"
Yuza mengendurkan ototnya untuk membiarkan dirinya tersembunyi dalam pelukan Aru. Perlahan tangis itu menyeruak kembali bahkan lebih menyiksa dari sebelumnya meski setengah mati Yuza menahannya agar tidak menimbulkan suara.
"Tunangan itu bukan seremeh pacaran, de. Tolong pikirin lagi keputusanmu itu sebelum terlambat nantinya. Tanya hatimu lebih dalam lagi. Mas bilang gini bukan melarang kamu. Mas hanya ga mau kamu salah pilih. Asal kamu bahagia, mas rela mundur dan pergi jauh dari hidupmu. Itu yang harus kamu inget."
Yuza tak menjawab, tetapi tangisnya kian menjadi bahkan bahunya bergetar bersamaan kedua tangannya mencengkram kuat kaos hitam yang dipakai Aru.
Cinta adalah perkara hati yang terkadang terasa begitu kompleks. Sebuah rasa yang tak bisa diprediksi akan menghampiri siapa dengan cara bagaimana. Memabukkan dan terkadang tak mampu melogika. Memang tak harus selalu memiliki namun tetap saja meninggalkan rasa perih di hati jika kehilangan, menyisakan kenangan yang takkan bisa dilupakan hingga berhasil terabaikan suatu hari nanti. Perjalanan seorang manusia untuk berproses menjadi lebih perasa dari sebelumnya atau justru menjadi lebih membatu dari sebelumnya. Begitulah cinta. Entah akhirnya akan bersatu ataupun berpisah, semua akan dan pernah merasakannya.
Lamat-lamat terdengar alunan lagu Fiersa Besari.
.............
Semesta mengirim dirimu untukku
Kita adalah rasa yang tepat
Di waktu yang salah
..............
____________________________________________________
Based on the trus story, 2018 on Benhil
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!