Hakekat Pancasila menurut Notonagoro meliputi unsur-unsur yaitu Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, Keadilan (Daroeso dan Suyahmo, 1989: 39). Pancasila sebagai suatu sistem nilai memiliki susunan atau urutan yang logis menurut keberadaan unsur-unsurnya. Maksudnya, Pancasila disusun berdasarkan luas cakupannya. Kesatuan sila-sila Pancasila pada hakikatnya bukanlah hanya merupakan kesatuan yang bersifat formal logis saja, namun juga meliputi kesatuan dasar ontologis, epistemologis, serta aksiologis dari sila-sila Pancasila.Â
Sebagaimana dijelaskan bahwa kesatuan sila-sila Pancasila bersifat hierarkhis dan mempunyai bentuk piramidal, yang digunakan untuk menggambarkan hubungan hierarkhi sila-sila Pancasila dalam urut-urutan luas (kuantitas), dan dalam pengertian inilah hubungan kesatuan sila-sila Pancasila itu mengandung arti formal-Iogis. Selain kesatuan sila-sila Pancasila itu hierarkhi dalam hal kuantitas, juga dalam hal isi sifatnya menyangkut makna serta hakikat sila-sila Pancasila. Kesatuan yang demikian ini meliputi kesatuan dasar ontologis, epistemologis, serta aksiologis dari sila-sila Pancasila (Notonagoro,1984:61 dan 1975 : 52,57).Â
Kesatuan dasar Pancasila
Menurut Runes, ontologi ialah teori tentang ada, keberadaan atau eksistensi. Dasar ontologis Pancasila pada hakikatnya adalah manusia yang memiliki hakikat mutlak monopluralia. Subjek pendukung pokok sila-sila Pancasila adalah manusia, hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: bahwa yang berketuhanan yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan serta yang berkeadiIan sosiaI pada hakikatnya adalah manusia (Notonagoro, 1975: 23).
Epistemologi, menurut Runes, adalah bidang atau cabang filsafat yang menyelidiki asal,syarat, susunan, metode, dan validitas ilmu pengetahuan. Dasar epistemologis Pancasila pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dengan dasar ontologisnya. Pancasila sebagai suatu ideologi bersumber pada nilai-nilai dasarnya yaitu filsafat Pancasila (Soeryanto, 1991: 50 ). Oleh karena itu, dasar epistemologis Pancasila tidak dapat dipisahkan dengan hakikat manusia jika manusia merupakan basis ontologis Pancasila, maka akan mempunyai implikasi terhadap bangunan epistemologi, yaitu bangunan epistemologi dalam filsafat manusia (Pranarka, 1996 : 32).
Secara aksiologis Pancasila memiliki 3 dimensi nilai. Ketiga dimensi nilai tersebut adalah Nilai dasar yaitu nilai-nilai dasar dari Pancasila yang tidak dapat dibantahkan lagi yang meliputi nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan. Kemudian dimensi nilai kedua adalah Nilai instrumental, yaitu nilai yang berbentuk norma sosial dan norma hukum yang selanjutnya akan terkristalisasi dalam peraturan dan mekanisme lembaga-lembaga negara. Dimensi nilai ketiga adalah Nilai praksis, yaitu nilai yang sesungguhnya kita laksanakan dalam kenyataan, sekaligus sebagai batu ujian apakah nilai dasar dan nilai instrumental itu benar-benar hidup dalam masyarakat.
Urutan susunan sila-sila Pancasila
Memasuki rangkaian urutan sila Pancasila, diawali dengan sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa berada pada urutan pertama karena bangsa Indonesia meyakini keberadaan Tuhan yang Maha Esa dan Maha Kuasa. Dalam filsafat, Tuhan disebut dengan Causa Prima atau sebab pertama, artinya sebab yang tak disebabkan atau ada tanpa penyebab dan tidak dapat dibandingkan dengan apapun. Tuhan memiliki "penyebutan" yang beragam untuk masing-masing agama. Sila pertama diliputi dan dijiwai oleh keempat sila lainnya.
Sila kedua, Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab berada setelah sila ketuhanan. Pada dasarnya prinsip keilmuan adalah bersumber dari Tuhan. Manusia sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna berkewajiban untuk mempelajari segala ilmu-Nya kemudian diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kehidupan, manusia memiliki hubungan vertikal dan horizontal. Artinya, hubungan vertikal adalah hubungan manusia (hamba) dengan Tuhannya yang diwujudkan melalui ibadah. Sedangkan hubungan horizontal, adalah hubungan manusia dengan manusia lain yang diwujudkan melalui kegiatan sosial yang baik supaya tercipta lingkungan kemanusiaan yang beradab dan kondusif. Sila kedua diliputi dan dijiwai oleh sila pertama, kemudian meliputi dan menjiwai sila ketiga, keempat, dan kelima.
Sila ketiga, Persatuan Indonesia. Peran Pancasila sila ketiga dalam keberagaman bangsa adalah mewujudkan Bhinneka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu. Pancasila mempersatukan perbedaan suku, ras, etnis, agama, budaya, dan geografis dalam satu titik (Amalia & Dinie, 2021). Sila ketiga Pancasila dapat memupuk rasa nasionalisme, toleransi, dan mempererat tali persatuan dan kesatuan dari manusia yang berkeadilan dan berkeadaban (rakyat/bangsa Indonesia). Sila ketiga diliputi dan dijiwai oleh sila pertama dan kedua, kemudian meliputi dan menjiwai sila keempat dan kelima.
Sila keempat, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Sistem kerakyatan yang didahului oleh tindakan musyawarah berdasar akal sehat dan mengutamakan persatuan serta kesatuan sehingga mewujudkan keadilan sosial. Ajaran kedaulatan rakyat ada dalam batang tubuh UUD 1945 pasal 1 ayat 2 "Kedaulatan adalah di tangan rakyat". Sila keempat diliputi dan dijiwai oleh sila pertama, kedua, dan ketiga, kemudian meliputi dan menjiwai sila kelima.
Sila kelima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Hakikat keadilan dalam sila kedua adalah keadilan dalam manusia monopluralis; yakni adil terhadap diri sendiri, terhadap sesama, dan terhadap Tuhan atau kausa prima. KeadiIan kemanusiaan monopluralis tersebut menjelma dalam bidang kehidupan bersama, baik dalam lingkup masyarakat, bangsa, negara, dan kehidupan antar bangsa, yang menyangkut sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Dengan demikian, logikanya keadilan sosial didasari dan dijiwai oleh sila kedua yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab ( Notonagoro, 1975:140, 141 ). Keadilan tidak hanya untuk suatu golongan, namun bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa membedakan aspek-aspek tertentu. Sila kelima diliputi dan dijiwai oleh keempat sila lainnya.