Miskoordinasi dan inkonsistensi yang ditunjukkan oleh pejabat publik tentunya membuat publik bingung, jauh lebih bingung dibandingkan dengan istilah-istilah yang digunakan oleh pemerintah.Â
Para pembuat kebijakan yang mendapatkan kepercayaan untuk menanggulangi krisis ini seolah-olah tidak serius dan tidak mau saling bekerja sama untuk mencapai kebaikan bersama. Hal ini yang kemudian membuat publik menjadi bingung dan cenderung tidak percaya terhadap pernyataan pemerintah.
Refleksi terbaik dari hal ini adalah dua kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah, yaitu Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan kebijakan new normal atau adaptasi kebiasaan baru. Ketika implementasi dari kebijakan new normal tidak sesuai dengan ekspektasi, pemerintah boleh menganggap hal ini disebabkan oleh kesulitan masyarakat dalam menyerap bahasa asing.Â
Namun, pemerintah tidak dapat mengelak bahwa penerapan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Indonesia juga tidak berjalan maksimal. Masih sangat banyak kendaraan yang diperbolehkan berlalu lalang di berbagai kota maupun pinggiran kota. Ketika kebijakan PSBB diberlakukan justru kasus positif COVID-19 di Indonesia bukannya menurun namun malah kian menggunung.
Hal ini seharusnya dapat menjadi evaluasi oleh pemerintah bahwa faktor utama buruknya penilaian atas komunikasi publik yang mereka lakukan bukan hanya terbatas pada penggunaan istilah. Penggunaan istilah memang berpengaruh dalam beberapa tingkatan, tapi substansi dan esensi dari pesan yang disampaikan jauh lebih vital.Â
Maka dari itu, penulis berpendapat bahwa pemerintah hendaknya lebih fokus dalam membenahi komunikasi antar lembaga yang berada di bawah koordinasinya, daripada menghabiskan waktu dan tenaga untuk memperbaiki, meneliti dan melakukan sosialisasi ulang terhadap istilah-istilah yang digunakan.
Referensi:
Arni, M. (2005). Komunikasi organisasi. Jakarta: Bumi Aksara.