Mohon tunggu...
Putri Nindi
Putri Nindi Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Seorang penulis

HI Raya Komahi Jaya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Perlukah Gonta-Ganti Istilah dalam Komunikasi Penanganan Pandemi?

27 Juli 2020   12:23 Diperbarui: 27 Juli 2020   12:39 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Parahnya, istilah-istilah penting seperti ODP, PDP dan OTG tersebut diganti dengan istilah-istilah yang lebih ilmiah dan sukar dipahami oleh masyarakat, seperti kontak erat, kasus suspek dan konfirmasi tanpa gejala. 

Istilah-istilah baru ini jauh lebih sulit dipahami, kata orang, dalam dan pengawasan jauh lebih banyak dipahami oleh masyarakat ketimbang kaya kontak. Kata pasien jauh lebih dipahami oleh masyarakat umum daripada kata suspek. Kata orang juga jauh lebih mudah untuk dipahami dibandingkan dengan kata konfirmasi.

Oleh karena itu, penulis melihat inkonsistensi pemerintah dalam upayanya untuk memperbaiki gaya komunikasi publiknya yang telah lama mendapatkan kritik dari berbagai kalangan. 

Pemerintah mengubah istilah yang sulit menjadi lebih mudah, namun di sisi lain pemerintah juga merubah istilah yang mudah dipahami menjadi istilah yang lebih ilmiah dan sukar untuk dipahami masyarakat awam.

Perlukah Gonta Ganti Istilah?

Salah satu motivasi utama pemerintah dalam melakukan berbagai perubahan istilah adalah untuk memperbaiki komunikasi publiknya. Arni Mohammad dalam bukunya Komunikasi Organisasi mendefenisikan komunikasi publik sebagai pertukaran pesan dengan sejumlah orang yang berada dalam sebuah organisasi atau yang di luar organisasi, secara tatap muka ataupun melalui media. Sejak awal pandemi COVID-19 melanda gaya komunikasi publik pemerintah kerap kali mendapatkan kritik dari berbagai kalangan.

Whisnu Tri Wibowo, seorang Dosen Ilmu Komunikasi UI dalam tulisannya yang dimuat di The Conversation menyatakan bahwa pemerintah kurang antisipatif dalam mitigasi COVID-19. "Pemerintah yang kurang tanggap terhadap potensi pandemi, membuat publik tidak memiliki pengetahuan awal terkait bahaya COVID-19. Informasi yang tidak pasti dari media sosial kemudian menjadi panduan utama publik".

Whisnu juga menyoroti miskoordinasi yang kerap kali terjadi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah terkait kebijakan yang diambil. Selain itu, Whisnu berpendapat bahwa penunjukkan juru bicara khusus penanganan COVID-19 belum berjalan efektif.

Didik J Rachbini seorang ekonom senior menganggap komunikasi publik pemerintah kacau. Dilansir dari Detik, Didik menyatakan "Wacana pelonggaran sudah membawa dampak PSBB semakin tidak disiplin dan mengarah kepada ketidaktaatan dalam kebijakan dan peraturan pemerintah. Sebabnya tidak lain adalah komunikasi yang kurang baik bahkan kacau dari pejabat pemerintah mulai dari awal penghindaran dan menolak/denial terhadap COVID-19,".

Selain kritik yang dilontarkan oleh kedua pakar diatas, sebenarnya sangat banyak kritik-kritik lain yang bermunculan terkait dengan  komunikasi publik pemerintah. 

Yang kemudian menarik perhatian adalah, hampir dari seluruh kritik tersebut menyoroti inkonsistensi pernyataan dan miskoordinasi yang seringkali terjadi di antara para pejabat pemerintah. Baik antara Presiden dengan bawahannya, menteri dengan menteri lainnya, atau pejabat pemerintah pusat dengan pejabat pemerintah daerah. 

Miskoordinasi dalam pengambilan keputusan dan inkonsistensi dalam membuat pernyataan inilah yang sebenarnya jauh lebih vital untuk diperbaiki dibandingkan dengan sekadar perubahan istilah,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun