Membaca judul dari opini singkat ini, penulis dapat memastikan bahwa reaksi yang dikeluarkan oleh para pembaca beragam. Ada yang sepakat dengan keputusan pemerintah. Sebaliknya, ada juga yang tidak menyepakatinya.Â
Hal ini adalah hal yang lazim, mengingat kebijakan ini dikeluarkan oleh pemerintah pusat yang kerap menjadi sorotan utama di masa pandemi ini. Namun yang jelas, pemerintah telah secara resmi mengakui kesalahannya dan merubah beberapa istilah.
Perubahan Istilah
Istilah yang diubah oleh pemerintah diantaranya adalah new normal yang diubah menjadi adaptasi kebiasaan baru. Pemerintah melalui Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan COVID-19 secara terbuka mengakui kelalaiannya atas penggunaan istilah new normal.Â
Perubahan ini merupakan hasil dari masukan yang diberikan oleh ahli epidemiologi Universitas Indonesia, Pandu Riono. Pandu berpendapat bahwa istilah new normal sukar untuk dipahami masyarakat awam, dan sebaiknya pemerintah menggunakan diksi yang lebih mudah dipahami, seperti '3M', yaitu memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan.
Tak lama setelah itu, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto lewat Peraturan Menteri (Permen) yang dikeluarkannya, melakukan perubahan terhadap berbagai istilah yang selama ini digunakan dalam penanggulangan COVID-19.Â
Istilah tersebut di antaranya adalah ODP (Orang dalam Pengawasan), PDP (Pasien dalam Pengawasan) dan OTG (Orang tanpa Gejala). Istilah ODP diubah menjadi kontak erat, PDP diubah menjadi kasus suspek, dan OTG diubah menjadi konfirmasi tanpa gejala.
Kontradiksi Kebijakan Pemerintah
Dari dua kasus di atas, penulis menemukan sebuah kontradiksi yang sangat kontras. Dalam argumentasinya mengenai perubahan istilah new normal menjadi adaptasi kebiasaan baru, pemerintah menyatakan bahwa hal itu perlu dilakukan untuk meningkatkan pemahaman publik atas informasi yang disampaikan oleh pemerintah.Â
Tak bisa dipungkiri, sejak pertama kali istilah new normal digunakan oleh Presiden Joko Widodo dan kebijakan new normal pertama kali diberlakukan, masyarakat seolah dibuat semakin bingung. Pasalnya, sebelumnya masyarakat telah lebih dulu dibuat bingung oleh penggunaan istilah social distancing dan phyisical distancing yang memang sepenuhnya menggunakan bahasa asing.
Perubahan istilah new normal menjadi adaptasi kebiasaan baru sebulan pasca kebijakan tersebut diterapkan layak mendapatkan kritik dari masyarakat. Hal ini dikarenakan pemerintah cenderung kurang berhati-hati dalam merumuskan sebuah kebijakan.Â
Hal-hal yang terdengar sepele seperti diksi yang digunakan kerap diabaikan dan kurang diperhatikan. Padahal, penggunaan diksi dalam komunikasi publik pemerintah akan sangat berpengaruh bagi efektivitas kebijakan yang diterapkan. Terlepas dari hal itu, keinginan pemerintah untuk berbenah dalam hal komunikasi publik dan mengakui kesalahan adalah hal lain yang patut diapresiasi.
Sayangnya, selang beberapa hari kemudian pemerintah kembali menunjukkan inkonsistensinya. Perubahan berbagai istilah penting yang sebenarnya sudah familier di telinga masyarakat justru dilakukan oleh Kementerian Kesehatan.Â