Mohon tunggu...
Fransiska Ayel Refta
Fransiska Ayel Refta Mohon Tunggu... -

mahasiswa ilmu komunikasi Untirta

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Justifikasi Sembarangan di Nada Pertama

25 Oktober 2014   02:42 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:50 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masih teringat jelas di benak saya saat pertama kali melihat penampilan seorang musisi pendatang baru ini. Begitu berbeda  mulai dari nada pertama berbunyi. Amat tidak biasa, melihatnya menarikan jemari saat bernyanyi seolah ia melebur bersama juntaian makna lirik dan lantunan nada-nada. Satu menit pertama saya merasa agak gusar dengan lagu yang ia nyanyikan. Bersamaan dengan itu pula saya memperhatikan bagaimana ia berusaha menjadi bagian dari lagu itu hingga ia benar-benar menyatu dengan keanehan yang tidak pernah saya saksikan sebelumnya. Saat itu juga saya berusaha memahami makna dari lirik lagu yang ia bawakan. Tidak banyak kata-kata yang dapat telinga saya tangkap. Hanya dapat memahami beberapa kosakata yang baru saja ia lantunkan, tidak membuat saya puas soal ‘ini lagu tentang apa sih sebenarnya?’. Anehnya setelah melihatnya turun dari panggung, saya merasa seolah tersihir oleh penampilan Lorde malam itu, yang saya saksikan di salah satu stasiun televisi swasta. Yang timbul kemudian adalah rasa penasaran ingin mengulang apa yang baru saya lihat dan dengar.

Mungkin tidak banyak di antara teman-teman sepermainan saya yang turut merasakan hal yang sama. Pengalaman yang pernah terjadi adalah ketika saya memutar lagu berjudul Royals, ‘masterpiece’ milik musisi muda berbakat dari New Zealand ini. Salah seorang teman yang mengaku cinta musik kemudian berkomentar ketus dan berkata “ganti, sih lagunya yang enak. Lagu lo mah jelek”. Saya hanya bisa tertegun. Agak jengkel memang mendengarnya tetapi saya juga berusaha memahami bahwa: mungkin telinga dia terlalu sering mendengar lagu ber-genre mainstream, lagu-lagu dengan nada nga-beat sampai-sampai bisa dengan mudahnya menjustifikasi karya orang lain dengan sebutan ‘jelek’. Saya hanya bisa menggelengkan kepala. Mungkin saat itu saya sudah measa ‘klik’ dengan jenis musik yang Lorde bawakan. Kejadian serupa tidak hanya terjadi sekali. Tetapi berkali-kali.

Sering sekali hal ini membuat saya bingung. Banyak di sekitar saya yang mengaku mencintai musik, tetapi mereka mencintai sesuatu itu dengan penuh syarat, syarat yang sesuai dengan ketentuan yang sudah mereka tanamkan. Jarang sekali saya menemukan orang yang mencintai musik tanpa syarat. “Harus lagu yang begini, lagu yang nadanya begitu, kalo enak, saya cinta musik”. Kurang lebih seperti itulah gambaran yang saya lihat pada teman-teman sepermainan saya. Bukankah itu egois? Lalu di mana rasa apresiasi mereka yang mengaku cinta musik terhadap karya orang lain? dengan justifikasi sembarangan seperti cerita di atas kah? Atau ada cara yang lebih lucu lagi selain itu?

Betapa musik begitu diagungkan oleh berbagai kalangan. Bahkan ada yang beranggapan ‘I can’t go a day without music’, karena itu pula yang saya rasakan. Berbagai macam warna musik memberikan keragaman minat pada pencintanya. Masing-masing pribadi memiliki perspektifnya mengenai musik yang bagus yang seperti apa. Selama ini saya sangat menghargai karya-karya lagu dengan kekuatan lirik yang tidak biasa. Itulah yang membuat saya jatuh cinta kepada beberapa band maupun penyanyi yang jarang dikenali masyarakat banyak. Berbeda dengan Lorde, yang sudah terlanjur tenar karena kekuatan lirik yang luar biasa di setiap lagunya maupun karena faktor umur yang tergolong masih sangat muda.

Lagu merupakan sekumpulan kalimat yang dilantunkan dengan diiringi juntaian melody yang berirama. Karena itu, apabila sebuah lagu memiliki lirik yang memberi pengaruh kuat kepada pendengar, lagu tersebut patut untuk apresiasi. Terlepas apakah melody tersebut sesuai dengan selera pendengaran masing-masing orang atau tidak. Makadari itu, tidak ada satu lagu pun yang pantas mendapatkan justifikasi tidak menyenangkan sebelum memahami makna dari tiap liriknya. Karena lirik lagulah yang sebenarnya mempengaruhi pendengar, di situlah letak kekuatan sebuah lagu. Sebaiknya pahami dulu pesan apa yang hendak disampaikan penulis lagu atau penyanyi terhadap sebuah lagu. Jangan sampai kurangnya rasa nyaman telinga dalam menerima lantunan melody di nada pertama membuat kita sembarangan menjustifikasi sebuah karya itu jelek. Setiap karya seni pasti memiliki keindahan, karena pencinta musik tidak mudah menjustifikasi sebuah lagu hanya dari satu perspektif maupun dari nada pertama lagu itu dimulai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun