Mohon tunggu...
Heriyanto Nurcahyo
Heriyanto Nurcahyo Mohon Tunggu... Guru - Guru Penulis

Berbagi untuk menjadi lebih

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Gerakan Kancaku

8 Oktober 2016   16:36 Diperbarui: 8 Oktober 2016   17:33 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Terdapat sebuah pemeo yang sangat indah untuk menggambarkan dahsyatnya efek membaca yaitu “Jika engkau bertemu orang cerdas, maka tanyalah buku apa yang telah dibacanya”.  Membaca adalah salah satu kegiatan penting dalam sebuah pembelajaran. Membaca adalah kegiatan positif yang akan mendorong proses akuisisi pengetahuan berlangsung secara berkelanjutan. Membangun budaya baca di sekolah akan mendorong lahirnya generasi-generasi baru yang lebih cerdas, trampil dan berkarakter.

SMA Negeri 1 Glenmore Banyuwangi, sebagai salah satu sekolah yang relatif masih muda (berdiri tahun 2001), menghadapi tantangan yang sangat besar dalam pengembangan karakter anak didik. Salah satu tantangan tersebut adalah rendahnya minat baca .  Kegiatan dan atau budaya membaca belum tumbuh secara baik. Hal ini ditandai oleh rendahnya pemahaman mereka atas bahan bacaan diluar materi pembelajaran. 

Sebuah angket yang penulis sebarkan pada siswa menunjukkan bahwa kurang dari 5 (lima) peserta didik disetiap kelasnya yang membaca buku non pelajaran sejak mereka belajar di sekolah (SD-SMA). Kondisi ini sangat kontraproduktif dengan upaya sekolah menumbuhkan budaya baca di kalangan peserta didik.

Permasalahan rendahanya budaya membaca diatas dipicu karena  beberapa hal. Rendahnya minat baca peserta didik diyakini sebagai pola pengasuhan di rumah yang tidak menumbuhkembangankan literasi sejak kecil. Hal ini menjadi sangat wajar karena sebagian besar (±60 %) orang tua peserta didik berlatar belakang pendidikan sangat rendah (SD dan sederajat). Kondisi ini juga diperburuk oleh tingkat pendapatan mereka yang rata-rata kurang dari Rp.50.000/hari. Sebagian besar mereka bekerja sebagai buruh tani dan pekerja lepas di beberapa perkebunan. Sehingga, sangat berat bagi orang tua peserta didik untuk menyediakan buku-buku bacaan di rumahnya.

Permasalahan kedua adalah, kurang memadainya insfrastruktur sekolah untuk mendukung penumbuhan karakter gemar membaca di sekolah. Perpustakaan yang selama ini diharapkan sebagai sumber belajar dan penyedia buku-buku bermutu bagi anak didik kurang berperan besar dalam menghadapi tantangan membaca. Koleksi buku yang sudah jadul (kadaluarsa) diyakini sebagai salah satu penghambat minat baca siswa. Perpustakaan yang semestinya menjadi salah satu pusat belajar siswa berubah fungsi tak ubahnya gudang buku usang.

Permasalahan terakhir, belum adanya inovasi-inovasi baru terkait dengan penumbuhan karakter membaca di sekolah. Selama ini, energi pendidik terkosentrasi pada pembelajaran materi yang diampuhnya. Hal-hal diluar proses belajar tidak mendapatkan tempat dalam aktifitas pembelajarannya. Karenanya, dibutuhkan inovasi untuk menumbuhkan karakter gemar membaca di sekolah. Diharapkan dengan tumbuh kembangnya karakter gemar membaca ini akan menghapus fenomena tragedi nol buku di persekolahan kita. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun