Mohon tunggu...
hesty Gorang
hesty Gorang Mohon Tunggu... Lainnya - Buku gudang ilmu

📝Penulis buku : Pena Pedang Penulis, Muslimah Kanan. 📝Anggota di FLP NTB 🔮Pemilik blog : Lancarberbahasa.com Penulis buku : Muslimah kanan, Jangan Menulis Nanti Keliling Dunia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hari Raya Tanpa Qurban

18 Juni 2024   05:18 Diperbarui: 18 Juni 2024   15:37 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
desain pribadi via canva

Pagi ini aku begitu lelah. Setelah selesai melakukan perjalanan panjang ke rumah enek setelah hari raya kemarin. Aku kembali melakukan perjalanan pulang untuk kembali ke kediamanku sendiri. Perjalanan panjang menuju rumah nenek memang selalu melelahkan.

Kali ini kami tidak membawa banyak barang bawaan, lebaran tahun ini pun terlihat sepi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Jalanan yang baru diperbaiki ini semakin luas dan terlihat indah dengan tanaman hias yang berjejer setiap jalan, namun panas terik matahari yang dulunya tidak terasa sekarang harus kami nikmati selama perjalanan. Wajahku berapa kali harus memilih bersembuyi di balik helm pak suami dari sengatan sinar maahari, bukan takut hitam, tapi mataku agak sedikit kurang normal jika terpapar sinar matahari secara langsung.

Motor putih PCX terus melaju dengan kecepatan sedang. Aku, anak-anak, dan suami menikmati perjalanan kami dengan melihat warga-warga yang mendatangi setiap masjid pinggir jalan yang kami lewati.

"Kok desa kita tidak pernah ada daging qurban ya sayang?"

"Siapa yang mau berqurban?"

"Yah, siapa-siapa yang mampu."

"Gimana mau berqurban, makan sehari-hari aja susah."

Ada beberapa masjid yang banyak daging qurbannya, ada yang sedikit, dan ada yang kosong. Seperti masjid di dusun kami yang tidak pernah terlihat satu hewan qurban pun di sana. Entah apa yang kami pikirkan tentang hari qurban ini, setiap tahun tidaka ada inisiatif menabung untuk qurban, termasuk saya dan suami. Saya pun berpikir, apakah setiap tahun harus seperti ini. haya merayakan dan mengharapkan daging qurban dari orang lain, kenapa kita tidak berusaha menyisihkan sedikit tabungan untuk berqurban, toh hanya sekali setahun.

Perjalanan satu jam setengah pun berakhir dengan sampainya kami di rumah nenek.

"Assalmu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam."

Nenek, dan beberapa orang sudah duduk di Barugak, tempat para tamu biasa duduk. Ada paman, bibik, ponakan, cucu, semuanya berkumpul di hari raya qurban ini. tapi, memang ada yang berbeda.

"Potong ayam berapa nek." Tanya suamiku pada nenek yang sedang mengunyah sirih pinang dengan nikmat."

"Tahun ini nenek tidak potong ayam, ayam-ayam nenek sudah mati karena penyakit." Nenek menjelaskan sambil tetap mengunyah siri pinang yang sudah mulai memerah.

"Sama, kita juga." Salah satu bibi ikut berbicara. "Tahun ini sepi, beda dengan tahun-tahun sebelumnya, ayam banyak, yang ngurban juga banyak, kita bisa makan daging sepuasnya." Lanjutnya sambil meletakkan beberapa potong jajan di dalam piring.

Suasana desa yang sepi semakin dibuat sepi dengan pendapatan ekonomi warga yang semakin hari semakin merosot. Hal-hal seperti ini sering terjadi dan membuat warga desa Bujur ini terlihat tidak bisa menikmati apa yang seharus dinikmati pada hari raya.

Jangankan untuk makan sepotong daging, punya air untuk mandi, nyuci, saja mereka harus beli. Siang ini saat kami baru tiba di tempat, kami sudah melihat air yang dibawa Truk. Setiap pengisian air mereka harus bayar 150ribu per sekali isi. Di sini ada beberapa rumah yang berjejer dan semua tong tempat penampungan air sudah kosong.

Miris memang hidup ini jika semua hal yang kita nikmati harus dibayar dengan uang, hatta untuk minum dan cebok pun harus mengeluarkan rupiah, bagaimana dengan makan, minum, dan lainnya.

Perbincangan di barugak terasa hangat. Topik di hari raya qurban bersambung dengan membahas hasil panen yang tidak bersahabat. Nenek sedikit menceritakan hasil panen jagung yang dia dapatkan.

"Tahun ini hanya dapat 5 juta, belum untuk bayar hutang dan ongkos buruh yang membantu. Saya hanya ambil untung sedikit, tapi Alhamdulillah, bisa untuk menyambung hidup."

"Bik Isah juga dapat hasil sedikit saja, tidak seperti tahun lalu. Kali ini hasil panen hanya untuk makan minum sehari-hari saja dan untuk membeli seragam si Ali yang akan masuk kelasa 1 SD." Bik Isah menceritakan pendapatannya yang juga merosot.

Kesedihan tergambar dalam wajah-wajah orang tua yang terus kuat dengan kehidupan mereka yang keras ini. Akan tetapi beginilah hidup seperti roda yang berputar, yang kadang di atas dan kadang di bawah.

Kesedihan mereka selalu disembunyikan dengan terus menikmati dan mensyukuri apa yang mereka dapatkan. Di hari qurban ini pun mereka terus berusaha tegar dan kuat. Meski hanya pelecing kangkung tanpa daging qurban kebersamaan di atas barugak ini menjadi sebuah kenikmatan yang terus dinikmati setiap tahun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun