Abdurrahman Wahid atau yang lebih kita kenal sebagai Gus Dur, sepulang dari bersekolah di Universitas of Bagdad pada tahun 1970-an melihat mulai adanya benih-benih intoleransi pada masyarakat. Benih-benih itu terdapat pada beberapa golongan masyarakat Indonesia.
Saat itu Gus Dur mampu melihat bahwa beberapa pihak ingin membuat  Indonesia menjadi satuwarna. Padahal Indonesia ditakdirkan berbeda karena secara sejarah dan geografis, Indonesia terdiri dari bermacam adat, pulau bahasa dan lain-lain.
Jika mengingini satu warna maka itu bisa mengambil inspirasi pada saat Islam mula-mula berkembang di jazirah Arab . Perkembangan itu kadang tak lepas dari pertumpahan darah dari beberapa suku yang ada di situ. Hal itu jelas tidak cocok diterapkan di Indonesia, meski golongan-golongan itu menginginkan itu menjadi landasan bangsa ini menjadi satu warna.
Konteks sejarah dan konteks perkembangan Islam tentu berbeda dengan kondisi sekarang dan kondisi Indonesia sendiri. Sehingga jika beberapa hal diterapkan itu akan menimbulkan intrepretasi berbeda. Â Tentu saja penerapannya tidak bisa sama persis dengan ketika zaman Nabi Muhammad masih hidup. Dimana hukum diterapkan sesuai dengan aturan dan tidak kompromis.
Kasus seperti ini bisa kita lihat saat perayaan 17 Agustus lalu, dimana ada satu sekolah Taman Kanak-kanak yang mengikuti karnaval. Di Jawa Timur. Kostum yang dikenakan oleh anak-anak itu adalah kostum perang (dengan membawa replika senapan panjang) dengan memakai cadar. Ini sempat viral di media sosial dan menimbulkan kritik dari masyarakat. Mereka berpendapat bahwa tidak seharusnya kostum seperti ini ditampilkan untuk anak-anak.
Mungkin tak ada yang salah dengan kostum ini. Namun jika disesuakan dengan konteks Indonesia mungkin akan bisa diterima oleh masyarakat.
Islam yang berkembang di Indonesia seringkali disesuaikan dengan konteks budaya Indonesia. Kita melihat bagaimana Wali Songo menyebarkan agama Islam di seluruh Jawa dan kemudian di seluruh Indonesia. Seringkali mereka menyesuaikan dengan adat setempat. Ada Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sehingga kita bisa melihat beberapa upacara yang mungkin bercampur dengan adat dan agama itu sendiri.
Karena itu, mengikuti perkembangan zaman, kaitan budaya Indonesia dan mengingat kekhawatiran GusDur soal intoleransi maka mungkin kita mulai berfikir perlunya pendidikan anti radikalisme sejak dini. Karena seringkali intoleransi yang mengarah pada radikalisme bisa tertanam dengan kuat pada bocah-bocah. Karena usia belia cenderung merekam memontum atau pengajaran dengan lebih cepat.
Pendidikan anti radikalisme itu bisa dikemas dalam berbagai bentuk. Yang penting disesuaikan dengan konteks ke-Indonesiaan kita . Tak masalah jika berbaur dengan nilai-nilai agama atau nilai-nilai kebangsaan.
Sejak kecil anak-anak kita harus didekatkan dengan keberagaman yang merupakan takdir bangsa Indonesia. Dengan selalu mengingat keberagaman sebagai pondasi penting bangsa, kita akan membawa generasi muda menjauhi benih-benih intoleransi dan radikal itu. .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H